Dari Anas bin Malik-semoga Allah meridhainya- berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyambung puasa Ramadhan (yakni, melanjutkan puasa hingga malam hari)[1]. Maka ada beberapa orang dari kalangan kaum muslimin yang ikut juga menyambung puasanya. Sampailah hal tersebut kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda, “andai saaja bulan ini diperpanjang untuk kami niscaaya aku akan menyambung puasaku selalu, orang-orarng yang memberat-beratkan diri dibiarkan dalam tindakan mereka memberaatkan diri. (Ketahuilah, wahai orang-orang yang memberat-beratkan dirinya), kalian itu tidak seperti diriku, karena sesungguhnya aku selalu saja diberi makan dan diberi minum oleh tuhanku [2]
Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : janganlah kalian melakukan wishal ! beliau mengucapkannya sebanyak 3 kali. (Mendegar hal tersebut) Mereka berujar,” (kami melakukan wishal, karena) sesungguhnya Anda melakukan wishal, wahai Rasulullah. Beliau pun bersabda, “tidaklah kalian seperti keadaanku dalam hal tersebut, karena sesungguhnya ketika aku tengah tidur aku diberi asupan makanan dan minuman. Oleh karena itu, lakukanlah amal yang kalian mampu untuk melakukannya.[3]
- Ihtisab di dalam Hadis
Dalam kedua hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang melakukan puasa wishal (berpuasa dua hari atau lebih tanpa berbuka di malam harinya dengan mengonsumsi makanan atau minuman) .
Kedua, kesemangatan seorang muhtasib untuk meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketiga, di antara sifata seorang muhtasib adalah lembut dan penuh kasih sayang
& Penjelasan :
- Berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang melakukan puasa wishal (berpuasa dua hari atau lebih tanpa berbuka di malam harinya dengan mengonsumsi makanan atau minuman)
Para ulama –semoga Allah merahmati mereka-berbeda pendapat tentang hukum larangan melakukan wishal, apakah larangan tersebut hanya berlaku untuk wishal sehari atau dua hari saja; ataukah yang terlarang itu hanya sampai waktu sahur saja. Ibnu Hajar-semoga Allah merahmatinya berkata : dan (sebagian ulama) berdalil dengan beberapa hadis ini bahwa wishal termasuk kekhususan Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahwa selain beliau terlarang melakukan hal tersebut, kecuali dalam kasus yang diberikan keringanan dalam hal tersebut yaitu berupa izin dari beliau untuk melakukannya hanya sampai waktu sahur. Kemudian, mereka juga berbeda pendapat tentang masalah status larangan tersebuut. Ada yang berpendapat larangan tersebut bersifat pengharaman, ada juga yaang berpendapat, hanya makruh saja. Ada juga yang berpendapat, tindakan tersebut haram dilakukan bagi orang yang merasa berat, boleh bagi yang tidak merasa berat. [4]
Secara global, hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan para sahabatnya yang melakukan wishal, beliau memberikan peringatan akan tindakan tersebut, seraya mengatakan : “janganlah kalian melakukan wishal”. Lalu, ketika mereka meengatakan kepada beliau “sesungguhnya Anda melakukan wishal” sebagai ungkapan yang menunjukkan kesemangatan mereka untuk meneladani beliau, beliau pun menjelaskan kepada mereka bahwa mereka tidaklah seperti beliau. Beliau mengatakan, ““tidaklah kalian seperti keadaanku dalam hal tersebut, karena sesungguhnya ketika aku tengah tidur aku diberi asupan makanan dan minuman”. Dalam riwayat lain, beliau bersabda : “siapakah di antaarra kalian yang seperti (keadaan) diriku “ ? [5] pertanyaan ini memberikan faedah celaan yang mengharuskan orang yang mendengarnya untuk menjauhi perkara yang dilarang tersebut. Dan sabda beliau : “seperti (keadaan) ku “, yakni, “ seperti sifatku, atau seperti keadaanku di sisi rabbku [6] kemudian beliau berkata kepada mereka : “Oleh karena itu, lakukanlah amal yang kalian mampu untuk melakukannya” , yakni, ambillah dan pikullah beban yang kalian mampu [7] maka, sebagian sahabat ada yang tetap melakukan wishal. Hal tersebut sampai kepada nabi. Maka beliau terus melakukan wishal hingga mereka melihat hilal Syawwal. Lama waktu beliau melakukan wishal bersama dengan mereka adalah dua hari. Lalu, beliau bersabda : “andai saja bulan ini diperpanjang untuk kami niscaya aku akan menyambung puasaku selalu, orang-orarng yang memberat-beratkan diri dibiarkan dalam tindakan mereka memberatkan diri.” Dalam riwayat lain, [8] Sabda beliau, “ kalaulah mundur waktunya niscaya aku akan tambahkan kepada kalian”, sepertinya beliau tidak senang dengan perbuatan mereka yang enggan untuk berhenti dari melakukan wishal. Maka, seakan-akan tindakan beliau yang terus saja melakukan wishal dan membiarkan mereka tetap melakukan wishal sebagai bentuk cercaan kepada mereka untuk menguatkan warning beliau terhadap mereka, karena bilamana mereka terus saja melakukan wishal tersebut niscaya akan tampak pada mereka hikmah larangan beliau, dan demikian itu tentu akan lebih mengena pada hati mereka. Karena tindakan mereka tersebut berpotensi mengantarkan mereka jatuh ke dalam rasa bosan untuk melakukan ibadah dan akan mengakibatkan kurang maksimalnya di dalam melakukan perkara yang jauh lebih penting daripada itu, seperti shalat, membaca al-Qur’an dan lainnya. Karena kondisi sangat lapar yang terus menerus berpotensi menafikan kesemangatan di dalam menunaikan shalat dan lainnya. Dan beliau telah menjelaskan dengan tegas bahwa tindakan wishal itu merupakan kekhususan bagi beliau, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda beliau : aku dalam hal tersebut tidaklah sama seperti kalian” dan sabda beliau, “ aku tidak seperti kondisi kalian “. Hal ini ditambah dengan adanya anjuran untuk bersegara berbuka (ketika telah tiba waktunya) [9]
- Kesemangatan seorang muhtatasib untuk meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadis ini, di dalamnya terdapat kesemangatan para sahabat Nabi untuk meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- , mereka bersegera untuk melakukan apa yang dilakukan oleh nabi berupa ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah. Hanya saja Nabi menjelaskaan kepada mereka bahwa wishal merupakan kekhususan beliau sehingga tidak perlu untuk diteladani. Dan, beliaupun melarang mereka untuk melakukan hal tersebut. Ibnu Hajar –semoga Allah merahmatinya- berkata : di dalam hadits tersebut terdapat informasi validnya kekhususan beliau, dan bahwa keumuman firman Allah subhanahu wataa’ala, yang artinya, “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagaimu “ [10] dikhususkan. Dan di dalamnya juga terdapat informasi yang menunjukkan bahawa para sahabat mengembalikan kepada tindakan beliau yang dimaklumi sifatnya, bersegera kepada meneladani tindakan tersebut kecuali dalam hal-hal yang Nabi melarang mereka untuk melakukannya. Dan di dalam hadis ini juga terdapat informasi yang menunjukkan bahwa segala perkara- yang menjadi kekhususan bagi beliau tidaklah ditelaadani. [11]
- Di antara sifat seorang muhtasib adalah lembut dan penuh kasih sayang
Hadis ini juga menunjukkan kelembutan dan kasih sayang Nabi terhadap ummatnya, karena Nabi melarang mereka perkara yang akan membahayakan dan memberatkan mereka dan yang tidak mampu mereka lakukan. Seraya mengatakan “ maka lakukanlah amal yang mampu kalian lakukan” hal demikian itu agar mereka tidak tertimpa kemalasan dan kebosanan untuk melakukan ibadah dan tidak terjatuh ke dalam ketidak optimalan di dalam menunaikan sebagian kewajiban agama [12]
Maka dari itu, hendaknya seorang muhtasib bersikap lemah lembut terhadap dirinya dan terhadap orang yang ia dakwahi, hendaknya tidak membebani diri dan orang lain dengan perkara yang tidak Allah bebankan yang menyebabkan dirinya terjatuh ke dalam tindakan ghuluw (melampoi batas) dalam agama.
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bsin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.186-188)
[1] Yakni, puasa dua hari atua lebih tanpa makan dan tanpa minum di antara kedua hari berpuasa tersebut (an-Nihayah, 5/193, Syarh Muslim, imam An-Nawawi, 7/212
[2] Para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau : “aku selalu saja diberi makan dan diberi minum oleh tuhanku”, Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi bahwa beliau diberi makanan dan minuman dari sisi Allah, sebagai bentuk karomah bagi beliau di malam-malam puasanya. Dan makanan dan minuman yang berasal dari Surga tidaklah berlaku padanya hukum-hukum taklilf. Yang menjadikan batatalnya puasa adalah makanan yang biasa, adapun yang keluar dari kebiasaan seperti hidangan yang berasal dari Surga, maka tidaklah semakna dengan makanan biasa. Dan tindakan mengonsumsinya tidaklah tergolong ke dalam tindakan-tindakan mengonsumsi (makanan biasa), namun tindakan tersebut sebagai bentuk perolehan pahala, seperti tindakan makan penduduk Surga di dalam Surga. Dan karomah tidaklah membatalkan ibadah. Dengan demikian, hal tersebut tidaklah membatalkann puasa yang tengah dilakukan oleh Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pula memutus wishal beliau, dan tidak pula mengurangi pahala yang diperolehnya. Ada juga yang mengatakan, bahwa hal tersebut merupakan majaz dari konsekwensi tindakan makan dan minum yaitu, adanya “kekuatan”. Sehingga, seakan-akan beliau mengatakan, (aku diberikan kekuatan) orang yang mengonsumsi makanan dan minuman. Maknanya, bahwa Allah menciptakan di dalam (perut beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam) rasa kenyang sehingga tidak memerlukan asupan makanan dan minuman. Maka, beliau tidak merasakan lapar dan tidak pula merasakan dahaga. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau menyibukkan diri dengan taffakkur (memikirkan) keagungan Allah, jiwanya dipenuhi dengan rasa senantiasa dalam pengawasan-Nya, beliau dikenyangkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang-Nya. Beliau mendapatkan kesejukan pandangan mata dengaan kecintaan kepada-Nya, senantiasa tenggelam dalam bermunajat kepada-Nya, senantiasa menghadapkan hatinya kepada-Nya sesehingga berpaling dari makan dan minum. Dan boleh jadi asupan ini jauh lebih agung ketimbang asupan jasad, siapa yang memili ketajaman perasaan dan pengalaman akan mengetahui ketidak butuhan fisik terhadap banyaknya konsumsi makanan untuk jasad karena adanya asupan hati dan ruh, apalagi keceriaan dan kegembiraan dengan pemintaannya terhadap yang dicintatainya yang menjadikan kesejukan pandangan matanya, sebagaimana kata pujangga ini,
Yang terakhir ini, merupakan syair yang didendangkan oleh ibnu Qayyim al-Jauziyah-semoga Allah merahmatinya-. Lihat, Syarh Shahih al-Bukhari, karya : Ibnu Baththal, 4/111; Syarh Muslim, karya : imam an-Nawawi, 7/213, Fathul Baariy, karya : Ibnu Hajar, 4/244; Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya : Ibnu Katsir , 1/2301, Umdatul Qari’, karya : al-‘Ainiy, 11/72, ad-Diibaaj ‘Ala Muslim, karya : imam as-Suyuthiy, 3/202; Syarh az-Zarqaniy, 2/181. Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Bukhari,13/237, hadis no. 7241; Muslim , 7/215, hadis no. 2566.
[3] Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, 4/242, hadis no. 1966, Muslim 7/213, hadis no. 2562. Dan, Lihat, Shahih Ibnu Khuzaemah, hadis-hadis dengan no. 2068-2069-2072
[4] Fathul Baariy, 4/240. Lihat juga, Umdatul Qariy, karya : al-‘Ainiy, 11/72, Syarh Muslim, karya : imam an-Nawawi, 7/213, al-Mufhim, karya : imam al-Qurthubiy, 3/160
[5] Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, 4/240, hadis no. 1965, Muslim, 7/212, hadis 2561.
[6] Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 4/340
[7] Lihat, Fathul Baariy, Ibnu Hajar,4/245, Syarh Muslim, imam an-Nawawi, 7/213
[8] Al-Bukhari, 4/240, hadis no. 1965.
[9] Fathul Baariy, Ibnu hajarr, 4/241
[10] Qs. Al-Ahzab : 21
[11] Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 4/242
[12] Syarh Musllim, imam an-Nawawi, 7/213