Wajibkah Mengingkari Kemungkaran Ketika Yakin Tidak Akan Berguna?

Diantara syarat wajib mengingkari suatu kemungkaran adalah adanya harapan bahwa pengingkaran tersebut ada manfaatnya dan yang diingkari tersebut bisa berubah menjadi lebih baik. Jika memang tidak ada manfaatnya dan tidak ada harapan untuk menjadi lebih baik sama sekali, maka gugurlah kewajiban untuk mengingkari kemungkaran kecuali mengingkarinya dengan hati, ia tetap wajib dalam keadaan apapun.

Dan hal tersebut bisa terjadi misalnya ketika kita menghadapi seseorang yang memiliki pemahaman yang salah terhadap agama sedang ia merasa benar dan diperkirakan bahwa berdialog dengan dia hanya  akan sia-sia dan tak akan bisa merubah pendiriannya, begitu juga dengan orang yang buta oleh hawa nafsunya, atau gila dengan dunia. Atau ketika berada di lingkungan dimana kerusakan dan kemaksiatan tersebar dimana-mana dan orang-orang baik sangat sedikit sedang jika kita berbaur dengan orang-orang rusak tersebut walaupun dengan niat memberi nasehat kita bisa kalah pengaruh dengan mereka, bukan kita mempengaruhi mereka dengan yang baik tetapi justru mereka yang mempengaruhi kita kepada yang jelek. Dalam keadaan seperti itu kita justru diperintahkan untuk menjauh dari mereka, karena bergaulnya kita dengan mereka sedang mereka tidak bisa diharapkan lagi kebaikannya hanya akan membahayakan keimanan kita.

Diantara dalil yang menunjukkan akan hal itu adalah berikut:

  1. Firman Allah subahanhuwa ta’ala:

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (٩)

Oleh sebab itu berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9).

  1. Sabda Rasuullah shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi:

بلْ ائْتَمِرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنَاهَوْا عَنْ الْمُنْكَرِ حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا وَهَوًى مُتَّبَعًا وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ وَدَعْ الْعَوَامَّ

Teruskanlah olehmu perbuatan amar makruf nahi munkar sampai engkau menyaksikan kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang (selalu) dituruti, kehidupan dunia yang diutamakan, serta setiap yang memiliki pendapat bangga dengan pendapatnya sendiri, (pada saat demikian) Hendaknya kamu hanya bergaul dengan orang-orang yang searah denganmu dan jauhilah orang-orang yang awam….” (HR. Abu Dawud)

  1. Dalam hadits yang lain beliau bersabda:

إِّذَا رَأَيْتَ النَّاسَ مُرِجَتْ عُهُودُهُمْ وَ خُفَّتْ أَمَانَاتُهُمْ وَ كَانُوْا هَكَذَا وَ شَبَكَ بَيْن أَصَابِعِهِ ، قُلُتُ:”فَمَا تَأْمُرْ لِيْ؟ فَقَال َ((الْزَمْ بَيْتَكَ وَ أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَ خُذْ مَا تَعْرِفُ وَ دَعْ مَا تُنْكرُ وَ عَلَيْكَ بِأَمْرِ الْخَاصَّةِ وَ دَعْ عَنْكَ أَمْرَ الْعَامَّةِ))

Jika engkau lihat manusia, ketika itu perjanjian-perjanjian mereka dilanggar dan amanah mereka diremehkan, serta keadaan mereka seperti ini (beliau mengaitkan jari jemarinya).” Aku bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Maka beliau bersabda, “Tetaplah di rumahmu, tahanlah lidahmu, ambillah apa-apa yang engkau ketahui dan tinggalkanlah hal yang engkau ingkari, kerjakanlah perkara yang khusus bagimu, serta tinggalkanlah urusan orang banyak.” (HR. Abu Dawud).

  1. Penafsiran sejumlah ulama baik dari kalangan sahabat atau yang datang setelah mereka tentang penafsiran firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk…” (QS. Al-Maidah: 105)

Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “ayat ini turun untuk kaum yang akan datang setelah (masa) kami yang jika mereka berkata-kata (menasehati) perkataan mereka tidak diterima.”

Dari Jubair bin Nufair bahwasanya sejumlah sahabat berkata, “jika engkau melihat kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang (selalu) dituruti, serta setiap yang memiliki pendapat bangga dengan pendapanya sendiri, disaat yang seperti itulah engkau harus mengurusi dirimu sendiri, dan orang-orang yang sesat tidak akan mengganggumu selama engkau berada pada jalan petunjuk.” (Tafsiir Ibnu Rajab Al-Hambali 1/462, dan Jami’ul Ulum wal Hikam 2/253)

Makhul berkata, “pengamalan untuk ayat ini belum datang masanya, (sampai nanti datang zaman) ketika orang yang menasehati merasa takut (terancam), dan orang yang dinasehati ingkar (terhadap nasehat yang ditujukan padanya), maka pada saat itulah hendaklah engkau mengurus dirimu dan mereka yang sesat tidak akan membahayakanmu selama engkau berada pada jalan petunjuk.” (Tafsiir Ibnu Rajab Al-Hambali 1/462, dan Jami’ul Ulum wal Hikam 2/253)

Imam Al-Auzai rahimahullah berkata, “Serukanlah (kepada kebaikan) bagi orang yang menurutmu akan menerima(seruan)mu.

Dan diriwayatkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah ketika membaca ayat ini beliau berkata, “ini dapat ditujukan kepada orang yang tidak mampu amar ma’ruf, atau ia takut kepada sesuatu yang dapat membahayakannya (jika ia nahi mungkar), dan perkatan Ibnu Umar menunjukkan bahwa orang yang yakin bahwa nasehatnya tidak ada harapan untuk diterima, tidak wajib baginya (untuk menyampaikannya).” (Tafsiir Ibnu Rajab Al-Hambali 1/462).

Kesimpulannya, mengingkari kemungkaran adalah wajib sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing sebagiamana yang telah diperintahkan oleh Allah subahanhu wa ta’ala dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Namun, ketika kita mengetahui dengan sangat yakin bahwa nasehat dan pengingkaran kita tidak akan bermanfaat apa-apa, apalagi akan memberikan pengaruh buruk untuk iman kita, maka boleh bagi kita untuk tidak mengingkari dengan perbuatan dan lisan, dan wajib mengingkarinya dengan hati. Dan dalam permasalahan ini terdapat perselisihan yang tajam diantara ulama.

Dipetik dari kitab ‘Dirasah Ta’shiliyah Limalamihittaghyiir’ karya sheikh Shadiq bin Muhammad Al-Hadi, hal. 118-122

Wallahu a’lam bisshowab

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *