Untuk Mereka yang Memiliki hati (Serial Kisah Pertaubatan, bag.7)

Untuk Mereka yang Memiliki hati

(Serial Kisah Pertaubatan, bag.7)

Ia terus mengucapkan ingin pergi dan selalu
menyebut-nyebutnya
Hingga unta tertambat di depan pintu rumahnya
Terus menguntitnya dengan gigih dan terus terjaga
Dengan penuh persiapan tak terganggu
angan-angan belaka

Hingga kini aku masih terus ingat. Waktu kecil dahulu aku pernah dimasukkan ke rumah sakit selama seminggu karena kram kedinginan yang menimpaku. Setelah keluar dari rumah sakit, aku mendengar dokter memberitahukan kepada orang tuaku bahwa kesehatanku sekarang sudah membaik. Tetapi penyakit ini akan berperangruh juga di masa mendatang.

Tahun demi tahun pun berlangsung. Aku pun beranjak dewasa, dan kemudian menjadi seorang ayah.

Kadang-kadang aku merasa lelah hanya karena sedikit tenaga yang kukeluarkan. Aku pergi ke rumah sakit untuk chek up kesehatan. Ternyata terbukti bahwa aku mempunyai kelemahan di bagian katup jantung, sehingga harus menjalani operasi jantung.

Kelemahan itu berasal dari penyakit kram yang menimpaku beberapa tahun yang lalu, yang kemudian berkembang menjadi reumatik jantung.

Aku berusaha membujuk dokter supaya memberiku obat dan waktu istirahat saja, sehingga tidak perlu operasi. Tetapi dokter itu memberitahuku, “Anda baru merasa perlu dioperasi setelah beberapa bulan. Anda akan yakin sendiri nanti. “

Ternyata terbukti setelah beberapa bulan, aku mulai terlihat lemah dan pucat sekali. Aku memutuskan untuk ridha terhadap takdir Allah. Aku menyerahkan urusan ini kepada Allah semata.

Setelah menjalani pemeriksaan lengkap dan berbagai urusan lainnya, terjadilah kesepakatan waktu untuk datang ke rumah sakit dan menjalankan opname, yakni satu hari sebelum operasi.

Setelah itu, pada hari pertama, para karib kerabatku datang berkunjung. Aku sungguh senang dan tentram. Aku duduk sebentar kira-kira satu jam dengan dokter bedah yang akan melakukan operasi terhadap diriku…

Pada malam sebelum operasi dilakukan, aku tidur dengan nyenyak. Aku sama sekali tidak memikirkan apa-apa. Bersamaan dengan adzan Subuh, aku terbangun. Aku dengarkan suara adzan itu. Lantunannya masuk ke dalam lubuk hati, menggetarkan jiwaku. Hatiku berbisik, mengusik ketenangan. Aku tidak tahu, apa yang sedang terjadi pada diriku ? Operasi ini berat. Mungkin saja ini adalah hari terakhirmu di dunia. Dan mungkin ini adalah adzan terakhir yang engkau dengar.” Berbagai bisikan datang dari berbagai penjuru.

Di mana aku selama ini ? sebuah pertanyaan yang menyebabkan air mata mengalir dari kedua mataku. Hari-hari yang lalu telah pergi bagai mimpi. Di mana upaya menghadapi alam akhirat. Lihatlah, kini kematian telah mendekat…
Ketika aku mengangkat pandanganku, tiba-tiba kulihat seorang perawat laki-laki sudah berada di dekat kepalaku. “Ada apa dengan Anda ?” Aku tidak menjawab. Kerena memang aku tidak memiliki jawaban. Akan tetapi perawat itu dapat menangkap kegelisahan dan kegoncanganku. Bisa jadi ia memang sudah memperkirakan hal itu. saat itu pula ia sudah memegang jarum bius. Aku mengeluarkan tanganku. Aku juga tahu bahwa aku akan menyerahkan jantungku untuk dioperasi.

Dan sebelum itu semua, aku juga sudah menyerahkan urusanku kepada Allah. Dadaku akan dibelah. Jantungku akan berhenti berdetak selama operasi berlangsung. Usai dioperasi nanti, akan dikirimkan ke tubuhku aliran listrik untuk mengaktifkan jantung kembali dan menjadikannya kembali berdenyut. Bila tidak bereaksi juga, kembali diulang kejutan listrik tersebut. Bila tidak juga berhasil, aku akan digotong ke liang kubur.

Pengetahuanku mengenai hal itu secara mendetail membuat diriku memandang kehidupan ini demikian hina dan murah. Bagaimana selama ini aku menyia-nyiakan umurku.
Beberapa saat setelah disuntik, aku tak sadarkan diri. Kemudian aku baru tahu bahwa operasi terhadap jantungku itu berlangsung selama delapan jam terus-menerus.

Aku bersyukur kepada Allah, ternyata jantungku kembali bereaksi ketika mendapatkan kejutan listrik pertama kali.
Sepulang dari rumah sakit, setiap hari aku menghisab hari-hari ku. Aku selalu ingat kejadian itu, yang menyebabkan air mataku berderai sementara aku terbaring di atas kasur kematian. Bagaimana aku akan menghadap Allah ? Apa bekalku menghadap-Nya ?

Setiap kali aku ingat kejadian itu, semakin bertambah pula ketaatan dan taqarrabku kepada Allah. Setiap aku berbuat lalai dan malas, aku segera ingat kejadian itu. Aku bersyukur kepada Allah bahwa ternyata aku dapat memasuki kehidupan dari awal lagi.

Wallahu A’lam
Sumber :
“Az-Zaman al-Qaadim”, karya : Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim (ei, hal. 44-46).

Amar Abdullah bin Syakir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *