Saya teringat perkataan salah seorang guru saya, beliau berkata:
نحن دعاة ولسنا حكاما
“Kami adalah para dai, dan bukan para hakim.”
Saat itu kami sedang berbincang-bincang membahas tentang beberapa permasalahan dalam agama, salah satunya adalah tentang dakwah dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia dakwah, akhirnya kami sampai kepada pembicaraan tentang realita dakwah pada zaman sekarang. Dan diantara hal yang sangat menyedihkan adalah ketika dakwah disalahgunakan menjadi ajang untuk menghukumi orang lain sebagai orang fasiq, sesat, dan lain-lain atas nama dakwah. Padahal tugas kita hanyalah menyampaikan, sedangkan bagaimana perihal pribadi orang lain maka kita serahkan kepada Allah yang maha tahu tentang keadaannya.
Mengawasi ataupun menghakimi sama sekali bukan tanggung jawab kita, Allah subahanhu wa ta’ala berfirman:
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ عَلَيْكَ إِلا الْبَلاغُ
“Jika mereka berpaling, maka (ingatlah) Kami tidak mengutus engkau sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)…” (QS. Asy-Syura: 48).
Ini adalah firman Allah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa tugas rasul hanyalah menyampaikan risalah dan bukan mengawasi. Lantas, bagaimana dengan kita? Pantaskah kita untuk mendahului dengan menghukumi seseorang dengan hukum tertentu yang rasulpun tidak melakukannya kecuali atas wahyu dari Allah?
Allah subahanhu wa ta’ala berfirman:
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (
١٥)
“(Ingatlah) ketika kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (QS. An-Nuur: 15).
Menghukumi seseorang bukan tidak boleh sama sekali, tetapi banyak sekali syarat yang harus dipenuhi baik dari sisi orang yang menghukumi atau dari sisi orang yang dihukumi. Misalnya, Orang yang menghukumi harus orang yang memiliki ilmu agama yang cukup untuk menjadi sebagai penimbang, hukum apa yang layak untuk orang yang dihukumi tersebut, selain itu ia juga harus betul-betul tahu tentang keadaan orang yang dihukuminya dan lain sebagainya.
Pernah ada seseorang mendatangi Sayidina Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu (untuk suatu perkara) dan ia membawa seseorang untuk menjadi saksi. Umar berkata, “datangkanlah kepadaku orang yang benar-benar mengenalmu (untuk menjadi saksi). Setelah saksi tersebut datang, Umar menanyakan kepadanya, “apakah engkau merekomendasikannya? apakah engkau begitu mengenalnya?” saksi tersebut menjawab, “iya” Umar kembali bertanya, “lalu bagaimana engkau bisa mengenalnya? Apakah engkau tetanggannya sehingga engkau melihat keluar masuknya dia?” ia menjawab, “tidak” Umar bertanya lagi, “apakah engkau pernah berinteraksi dengannya dengan uang dinar dan dirham sehingga engkau bisa tahu kejujuran orang ini?” ia menjawab, “tidak” Umar bertanya lagi, “apakah engkau pernah berperjalanan jauh dengannya sehingga engkau bisa mengetahui akhlaqnya?” ia menjawab, “tidak” kemudian Umar berkata, “mungkin kamu pernah melihatnya rukuk dan sujud di masjid sehingga engkau datang kesini untuk merekomendasikannya” akhirnya orang tersebut mengaku, “Iya wahai amirul mukminin.” Maka Umar berkata, “pergilah kamu karena engkau tidak mengenalnya, dan engkau wahai orang yang meminta persaksian, datangkanlah kepadaku orang yang mengenalmu karena orang ini tidak mengenalmu.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam ‘As-Sunan Al-Kubro 10/125)
Demikianlah persyaratan Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu bagi orang yang mengaku tahu tentang seseorang, tak cukup sekedar melihatnya beribadah kemudian mengatakannya sebagai orang baik, atau melihatnya bermaksiat kemudian mengatakannya sebagai orang fasiq.
Tidak semua orang bisa dihukumi dengan dzahir perbuatannya, Karena bisa jadi satu perbuatan yang sama namun dilakukan oleh orang yang berbeda, hukum masing-masing orang berbeda. Jika ada dua orang tidak sholat dzhuhur, yang pertama Karena lupa, sedang yang kedua Karena mengingkari akan kewajiban sholat dan meyakini bahwa sholat tidak wajib, hukum masing orang berbeda walaupun keduanya sama-sama meninggalkan sholat. Orang yang yang meninggalkan sholat Karena lupa, wajib menunaikan sholat yang ia tinggalkan ketika ia ingat, dan dia tetap sebagai seorang muslim. Sedang orang yang meninggalkan sholat Karena mengingkari kewajiban sholat maka ia telah melakukan suatu kekufuran. Jika ia mengetahui itu lalu sengaja ia mengingkari dan meninggalkan sholat tanpa memiliki udzur yang dapat diterima maka ia telah kafir, Karena perintah shalat jelas disebutkan dalam Al-Qur’an sedang ia mengingkarinya.
Kesimpulannya, kita diperintahkan untuk menuntut ilmu dan berdakwah, dan bukan untuk menghukumi orang lain sebagai orang shaleh atau fasiq, baik atau jelek, muslim atau kafir dan sebagainya, Karena itu adalah urusan antara seorang hamba dengan rabbnya. Dalam berinteraksi sehari-hari kita mengedepankan baik sangka dan menjauhi buruk sangka terutama kepada sesama muslim.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS. Al-Hujurat: 12).
Wallahu a’lam
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,