Tetap Berpuasa Meski Junub

‘Aisyah -semoga Allah meridhainya- meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta fatwa kepada beliau, sedangkan ia (‘Aisyah) mendengarkan dari balik pintu. Lelaki itu mengatakan : wahai Rasulullah, (Waktu) Shalat (Shubuh) telah masuk, sementaraa aku masih dalam keadaan junub, apakah aku boleh berpuasa ? maka Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab : aku pun pernah mendapati waktu shalat (subuh) telah masuk sementara aku masih dalam keaadaan junub, lalu aku berpuasa). Lelaki itu berkata : ya Rasullullah, Anda tidaklah seperti kami, Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah lalu dan yang akan datang. Lalu Nabi bersabda : Demi Allah, Sungguh  aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling mengetahui tentang sesuatu bagaimana aku bertakwa (kepada-Nya) [1]

  • Ihtisab di dalam Hadis

Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  poin berikut ini :

 Pertama, kesemangatan seorang muhtasib untuk meruju’ kepada para ulama dalam hal yang belum jelas baginya.

Kedua,   berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang berlebihan atau memberatkan diri ketika bertanya.

Ketiga, Seorang muhtasib hendaknya bertaqarrub (mendekaatkan diri) kepada Allah dengan  melakukan ketaatan sesuai dengan apa  yangg diperintahkan oleh pembuat syariat.

 & Penjelasan :

  • Kesemangatan seorang muhtasib untuk meruju’ kepada para ulama dalam hal yang belum jelas baginya.

Hadis ini menunjukkan bahwa para sahabata sering kali bertanya kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang berbagai hal yang belum jelas bagi mereka. Hal demikian itu mereka  lakukan agar mereka beribadah kepada Allah berlandaskan ilmu.

 Oleh kerena itu, para dai dan orang yang beramar  ma’ruf nahi munkar hendaknya merujuk kepada para  ulama syariat yang  terpercaya tentang beragam masalah yang belum jelas bagi mereka, baik yang terkait dengan persoalan dakwah  maupun ihtisab (amar ma’ruf nahi munkar), atau pun masalah-masalah syariat yang lainnya. Hal itu agar mereka mendapatkan ilmu mereka, tersinari dengan pendapat-pendapat dan arahan-arahan mereka.

 Dan hendaknya mereka juga memotivasi manusia agar bertanya kepada para ahli ilmu yang terpercaya tentang beragam maasalah yang belum jelas bagi mereka, menasehati para  pemuda khususnya untuk menghadiri majlis ilmu para ulama, karena mana kala para pemuda membentengi diri dengan cahaya ilmu niscaya mereka akan sanggup menghadapi perkara-perkara yang sulit, mampu memikul beban yang berat, dan niscaya pula akhlak mereka terdidik, akan hilang kedengkian dari  hati  mereka, hati mereka akan lembut dan mereka menjadi seperti hujan, di  mana saja turun akan memberikan manfaat.

  • Berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang berlebihan atau memberatkan diri ketika bertanya

Hadis  ini  juga menunjukkan buruknya tindakan berlebihan dan memberat-beratkan diri dalam bertanya, disyariatkannya meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, atau yang tidak ada kaitannya dengan  pembebanan syariat, karena tindakan banyak bertanya tentang hal-hal yang didiamkan oleh syariat atau dibolehkan boleh  jadi akan menjadi sebab diharamkannya sesuatu atas kaum  muslimin,  sehingga akan berakibat memberatkan, atau boleh jadi dalam jawaban yang diberikaan kepada penannya terdapat sesuaattu yang tidak disukai oleh dirinya seehingga hal tersebut berakibat buruk bagginya. [2] Allah azza wajalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (101) قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ (102)

Hai orang-orangn yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an itu sedang turun, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun

Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi  mereka), kemudian mereka  tidak percaya kepadanya [3]

Ibnu Katsir berkata : ini merupakan pengajaaran  adab dari Allah terhadap para hamba-Nya yang beriman dan sekaligus larangan bagi mereka dari tindakan menanyakan sesuatu yang tidak ada faedahnya bagi mereka dalaam pertanyaan tersebut.  Hal itu karena, bila mana dinampakkan kepada mereka perkara-perkara  tersebut boleh jadi akan menjadikan buruk terhadap mereka dan terasa berat mendengarnya. [4]

Sungguh, Nabi  -shallallaahuu ‘alaihhi wasallam-telah memberikan keringanan kepada lelaki tersebut untuk menyempurnakan puasanya  bila mana waktu shalat fajar (Subuh) telah  masuk sementara ia masih dalam keadaan junub, seraya  mengatakan : aku pun pernah mendapati waktu shalat (subuh) telah masuk sementara aku masih dalam keadaan junub, lalu aku berpuasa. Hanya saja lelaki  tersebut  melanjutkan pertanyaannya, “ya Rasullullah, Anda tidaklah seperti kami, Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah lalu dan yang akan datang.” Di sinilah kemudian beliau -shallallahu ‘alaihi wasaallam marah [5] lalu beliau bersabda, “Demi Allah, Sungguh  aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling mengetahui tentang sesuatu bagaimana aku bertakwa (kepada-Nya)”

Ibnu Khhuzaemah  telah meriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah pernah memberikan rukhshah (keringanan) dalam beberapa masalah,  namaun ada  sejumlah orang yang enggan untuk menerima keringanan yang diberikan Rasulullah  -shallallahu ‘alaihi wasallam- tersebut. Maka, beliau bersabda,  ‘bagaimanakah gerangan orang-orang yang telah aku perintahkan  mereka  dengan suatu perintah namun mereka enggan melakukannya,  demi Allah sesungguhnya akulah orang yang paling mengetahui  Allah  di antara mereka, dan  akulah pulaorang yang paling  takut kepada-Nya[6]

Imam an-Nawawi berkata : di dalam hadis tersebut terdapat dorongan untuk meneladaani Nabi-shallallahu ‘alaihi wassallam- , larangan berelebihan dalam beribadah dan buruknya tindakan  menjauhkan diri dari perkara  yang mubah karena meraagukan akan kemubahannya.  [7]

  • Seorang muhtasib hendaknya bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan melakukan ketaatan sesuai dengan apa  yang diperintahkan oleh pembuat syariat.   

Seorang muhtasib harus mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, namun haruslah pendekatan diri kepada Allah dan ketaatan tersebut sesuai dengan yang disyariatkan Allah azza wajalla dengan mengikuti sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihhi wasallam-. Sessungguhnya setiap kali bertaqarub kepada Allah, hal tersebut menjadi  sebab akan bertambahnya pengetahuan tentang  Allah subhanahu wata’ala. Semakin juga  menambah rasa takut kepada-Nya.

Imam an-Nawawi berkata : Sesungguhnya bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dan  takut kepada-Nya  haruslah berdasarkan apa yang diperintahkan oleh  pembuat syaariat, bukan berdasarkan hayalan-hayalan  jiwa dan pembebanan diri  untuk beramal yang tidak diperintahkan [8]

Sungguh Nabi-shallallahu ‘alaihii  wassallam telah bersabda, “’ Demi Allah, Sungguh  aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling mengetahui tentang sesuatu bagaimana aku bertakwa (kepada-Nya). Beliau juga telah bersabda : Demi Allah, sesungguhnya akulah orang  yang paling mengetahui Allah di antara mereka dan juga orang  yang paling takut kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa orang yang paling mengenal Allah dialah orangnya yang  paling takut kepada-Nya [9], dan tidaklah diragukan bahwa Nabi-shallallahu ‘alaihi  wasallam adalah manusia yang paling mengenal Allah dan  orang yang paling takut kepada-Nya.

Wallahu a’lam

 

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bsin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.190-192)

[1]  Diriwayatkan oleh Imam Muslim, 7/223-224, hadis no. 2588

 

[2]  Lihat, Syarh Muslim, karya : Imam an-Nawawi,  15/109

[3] Qs. Al-Maidah : 101-102

[4]  Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 2/108

 

[5] Sebagaimana  terdapat pada beberapa riwayat al-Bukhari dan Muslim dan yang lainnya di dalam kitab-kitab  sunan

[6] Shahih Ibnu Khuzaaemah 3/253, hadis No. 2015. Dan diriwayatkan imam Muslim, 15/106, hadis no. 6064

[7] Shahih Muslim, 15/106; al-Mufhim, karya : al-Qurthubiy, 6/152

[8]  Syarh Muslim, 15/106

[9] Al-Mufhim, karya : al-Qurthubsiy, 6/152

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *