Teguran Nabi Terhadap Orang yang Memberatkan Diri Sendiri

Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya-meriwayatkan bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melihat seorang yang sudah tua renta dipapah oleh kedua anak lelakinya. Maka, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya (kepada kedua anaknya tersebut), “apa-apaan ini ?” mereka pun menjawab : beliau bernazar untuk berjalan kaki ke Ka’bah. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap penyiksaan orang ini terhadap dirinya sendiri.” Perowi berkata, lantas Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan lelaki yang sudah lanjut usia tersebut untuk naik kendaraan.


(HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, 4/93, hadis no. 1865, Muslim, 11/104, hadis no. 4223)


Uqbah bin ‘Amir-semoga Allah meridhainya-meriwayatkan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang saudarinya yang bernazar untuk berjalan menuju ke Ka’bah (dalam rangkan menunaikan ibadah haji), maka beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap nazar saudarimu tersebut, hendaknya ia naik kendaraaan dan menyembelih hadyu seekor unta.


(HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, 3/388, hadis no. 3296, Ahmad,1/239, al-Baihaqiy, 10/79. Hadis ini dishahihkan sanadnya oleh syaikh al-Albani sebagaimana ta’liq beliau terhadap shahih Ibnu Khuzaemah, 4/347)

 

 Ihtisab  dalam Hadis :


Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  poin berikut ini :


Pertama
, berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap orang yang bernazar untuk berjalan kaki menuju ke Baitullah sementara sejatinya orang tersebut tidak mampu melakukannya.


Kedua, Larangan
bersikap keras terhadap diri dan membebani diri dalam beribadah.

 

 Penjelasan :

  • Berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap orang yang bernazar untuk berjalan kaki menuju ke Baitullah sementara sejatinya orang tersebut tidak mampu melakukannya.


Seorang muhtasib hendaknya mengingkari terhadap orang yang dilihatnya membebani diri atau memberatkan dirinya untuk melakukan ibadah melampoi batas kemampuannya. Karena, sesungguhnya agama itu mudah. Dan, sungguh Allah ta’ala telah berfirman,

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ


Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs. al-Baqarah : 185).


Dan, Dia juga telah berfirman,

 

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ


Maka bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kesanggupan kalian (Qs. at-Taghabun : 16)


Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mengingkari lelaki itu yang bernazar untuk berjalan kaki menuju Ka’bah sementara sejatinya ia tidak mampu karena kondisi dirinya yang telah lanjut usia. Maka, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah butuh terhadap penyiksaan diri orang ini terhadap dirinya sendiri.” Dan beliau pun memerintahkannya agar naik kendaraan. Demikian pula ketika Uqbah bin Amir bertanya kepada beliau tentang saudarinya yang bernazar untuk berjalan kaki menuju ke Ka’bah, beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengatakan kepada Uqbah, “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap nazar saudarimu, hendaknya ia naik kendaraan dan hedaknya pula ia menyembelih unta sebagai hadyu.

 

  • Larangan bersikap keras terhadap diri dan membebani diri dalam beribadah.


Tidak selayaknya seseorang membebani dirinya untuk melakukan sesuatu yang disangkanya sebagai ibadah, padahal Allah tidak pernah membebankan kepada seorang hamba untuk melakukan hal tersebut. Allah azza wajalla telah berfirman,

 

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ


Allah tidak hendak menyulitkan kamu (Qs. al-Maidah : 6)


Dan, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda,

 

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ


Tidak boleh membahayakan diri, dan tidak boleh pula menimbulkan bahaya pada orang lain (HR. Ibnu Majah)


Ibnu Rajab-semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Dan di antara perkara yang masuk ke dalam keumuman sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- “Tidak boleh membahayakan diri.” adalah bahwa Allah tidak pernah sama sekali membebani hamba-hamba-Nya untuk melakukan tindakan yang akan membahayakan mereka. Sesungguhnya, apa yang Dia perintahkan kepada hamba-hamba-Nya merupakan perkara yang akan memberikan kebaikan kepada urusan agama dan urusan dunia mereka, dan apa yang Dia larang merupakan hal yang akan merusak urusan agama dan dunia mereka. Dia juga tidak pernah memerintahakan kepada hamba-hamabaNya dengan sesuatu yang akan membahayakan badan mereka… (Jami’ al-‘Ulum Wal Hikam, 223-224)

 

 


Wallahu A’lam


Sumber :


Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 228-229


Amar Abdullah bin Syakir

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *