Anas bin Malik-semoga Allah meridhainya- meriwayatkan dari Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, bahwa beliau bersabda, “Bagaimana suatu kaum mengangkat pandangan mata mereka ke langit dalam shalat mereka “-semakin terdengar keraslah sabda beliau tersebut, hingga beliau bersabda, “Haruslah mereka menghentikan tindakan tersebut atau (kalau tidak) niscaya penglihatan mereka disambar (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari, 2/727, hadis no. 750)
@ Ihtisab dalam Hadis :
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, Di antara metode pengingkaran (terhadap penyimpangan) adalah dengan menggunakan gaya “ancaman.”
Kedua, Seorang muhtasib hendaknya berupaya melakukan sebab-sebab yang akan mendatangkan kekhusyu’an dalam sahalat.
Ketiga, Di antara sifat seorang muhtasib (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) adalah beradab terhadap Allah.
Keempat, Di antara gaya pengingkaran adalah dengan menyebutkan secara umum (tidak tunjuk hidung).
Penjelasan :
- Di antara metode pengingkaran (terhadap penyimpangan) adalah dengan menggunakan gaya “ancaman”
Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- telah memberikan ancaman terhadap orang yang mengangkat pandangan matanya ke langit (saat Shalat) bahwa matanya akan tersambar. Ini adalah ancaman yang keras dan larangan yang tegas yang menunjukkan akan haramnya tindakan mengangkat pandangan mata ke arah langit ketika shalat. Ibnu Khuzaemah telah membuat judul untuk hadis ini dengan perkataannya : bab at-Taghlizhu fii an-Nazhar Ilaa as-Samaa-i Fii ash-Shalati (sikap keras terhadap tindakan memandang ke langit ketika shalat), oleh karena itu, seorang muhtasib hendaknya menggunakan uslub “ancaman” ketika mencegah kemungkaran, karena gaya ini akan memberikan dampak kepada jiwa dan akan memalingkannya dari perbuatan mungkar yang dilakukannya.
- Seorang muhtasib hendaknya berupaya melakukan sebab-sebab yang akan mendatangkan kekhusyu’an dalam sahalat
Seorang muhtasib hendaknya memperhatikan shalatnya dan khusyu’ saat melakukannya, dan bersungguh-sunngguh pula agar kekhusyu’annya tersebut tidak berkurang disebabkan karena sebagian tindakan seperti memandang ke arah langit, dan selayaknya pula ia mengingkari terhadap orang yang melakukan hal tersebut ketika shalat. Karena, kekhusyu’an itu merupakan inti dan ruh shalat, dan kekhusyu’an itu terwujd dengan hati dan anggota badan, dan orang yang mengangkat pandangan matanya ke arah langit dan menggerak-gerakkannya ke sana kemari hatinya tidaklah khusu’, dan demikian pula halnya dengan anggota tubuhnya, tidaklah khusyu’. Hal demikian itu karena hati dengan fikirannya akan mengikuti pandangan mata (Taudhih al-Ahkam, al-Bassam, 1/511)
- Di antara sifat seorang muhtasib (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) adalah beradab terhadap Allah
Seorang muhtasib hendaknya beradab terhadap Allah dalam kesendiriannya dan ketika bersama orang lain, dan dalam setiap urusannya. Tindakan mengangkat pandangan ke arah langit ketika shalat menafikan adab terhadap Allah, karena sesunguhnya orang yang tengah melaksanakan shalat ia tengan bermunajat kepada Allah dan dia berada di hadapan-Nya. Maka, tindakan mengangkat pandangan mata dari dzat yang dilihatnya dengan hatinya merupakan adab yang buruk di mana hal tesebut menunjukkan bahwa dirinya tidak merasa bahwa ia tengah menyembah sesembahan yang tengah melihatnya dan yang lebih dekat kepadanya dari urat leher (Taudhih al-Ahkam, al-Bassam, 1/512)
- Di antara gaya pengingkaran adalah dengan menyebutkan secara umum
Hadis ini menampakkan kepada kita salah satu bentuk gaya melakukan pengingkaran terhadap kemungkaran, yaitu dengan menyebutkan secara umum. Beliau telah melakukan hal ini terdapat orang yang melakukan tindakan mengangkat pandangan matanya ke langit ketika shalat. Ini merupakan gaya dan metode Nabi yang mulia. Beliau tidak tunjuk hidung, namun beliau jika melihat atau mendengar sesuatu yang dibencinya beliau menyebutkan secara umum, seraya mengatakan, “bagaimanakah halnya suatu kaum”, hal tersebut dapat memalingkan dari sesuatu yang dibenci bersamaan dengan itu akan tercapai maksud tanpa harus tunjuk hidung. (Lihat, ‘Ainul Ma’bud, al-Azhim Abaadiy, 13/100-3/127).
Dalam tindakan ini pun terdapat bentuk sikap lembut terhadap pelaku kemunkaran dan menutupi aibnya. Beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam bila membenci sesuatu menyebutkan ketidaksukaannya dan tidak tunjuk hidung kepada orang yang melakukan hal yang dibencinya tersebut. Ini termasuk keagungan akhlak beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam-; karena yang menjadi target dari hal itu adalah si pelaku dan semua orang yang ikut hadir dan juga selain mereka yang sampai kepadanya peringatan tersebut, dan tidak ada “cercaan terhadap pelakunya” di tengah-tengah kerumunan orang. (Syarh Muslim, an-Nawawiy, 9/176)
Wallahu A’lam
Sumber :
Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 112-113
Amar Abdullah bin Syakir