Dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulamiy, ia berkata : … ketika aku melaksanakan shalat bersama Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, ada salah seorang jama’ah yang bersin, maka aku pun mengatakan kepadanya : يَرْحَمُكَ اللهِ . Tiba-tiba sekelompok orang yang tengah ikut shalat berjama’ah memandangiku dengan sorot pandangan mata mereka yang tajam. Maka, aku pun berkata (kepada mereka) : semoga kalian kehilangan anak-anak kalian, mengapa kalian memandangiku seperti itu ? ia (Mu’awiyah) berkata : lalu mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka.
Lalu, ketika aku melihat mereka berusaha mendiamkan diriku (dari berkata-kata), aku diam saja, tidak memberikan komentara apa pun. Lalu, selesai shalat, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-memanggilku. Maka, demi Ayah dan Ibuku, aku belum pernah melihat seorang pendidikpun sebelum beliau tidak pula setelah beliau yang paling bagus pengajarannya daripada beliau.
Demi Allah, beliau tidak memukulku, tidak pula menghardikku, tidak pula mencaci maki diriku, beliau hanya mengatakan (kepadaku) : sesungguhnya shalat (yang kita lakukan) tadi, tidak layak terdapat di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia, namun shalat itu berisi, takbir (pengagungan kepada Allah), tasbih (memahasucikan Allah) dan bacaan al-Qur’an (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh Muslim, 5/23, hadis no. 1199)
@ Ihtisab dalam Hadis :
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, Di antara sifat seorang muhtasib adalah berakhlak baik, lemah lembut terhadap orang yang belum mengerti.
Kedua, berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap orang yang berbicara di dalam shalat dengan pembicaraan yang tidak termasuk bagian dari dzikir atau bacaan shalat.
Ketiga, Seorang muhtasib hendaknya berupaya melakukan sebab-sebab yang akan mendatangkan kekhusyu’an dalam sahalat.
Penjelasan :
Hadis di atas menunjukkan bentuk kelembutan Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap orang yang belum mengerti. Dan, hadis ini juga menjelaskan kebagusan pengajaran Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, juga kebaikan dakwah dan bimbingan beliau, karena Mu’awiyah bin Hakam tidaklah mengatakan apa yang dia katakan dengan disengaja, ia mengatakan hal itu karena ketidaktahuannya.
Oleh karena itu, Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak berlaku keras kepadanya dan tidak pula beliau menjelek-jelekannya. Beliau hanya mengajarinya dan membimbingnya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, dan beliau menjelaskan bahwa di dalam shalat itu tidak layak dilakukan percakapan sesama, yang layak hanyalah munajat yang dipersembahkan kepada Allah.
Cara nabi inilah yang menjadikan Mu’awiyah bin al-Hakam mengatakan : Maka, demi Ayah dan Ibuku, aku belum pernah melihat seorang pendidikpun sebelum beliau tidak pula setelah beliau yang paling bagus pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak memukulku, tidak pula menghardikku, tidak pula mencaci maki diriku, beliau hanya mengatakan (kepadaku) : sesungguhnya shalat (yang kita lakukan) tadi, tidak layak terdapat di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia, namun shalat itu berisi, takbir (pengagungan kepada Allah), tasbih (memahasucikan Allah) dan bacaan al-Qur’an.
Maka, sepantasnya, para da-i dan muhtasibin (orang-orang yang beramarma’ruf nahi munkar) meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam berdakwah, dalam memberikan pengajaran dan bimbingan kepada orang lain. Imam an-Nawawi mengatakan ketika memberikan penjelasan terhadap hadis ini, “di dalamnya terdapat anjuran untuk berakhlak dengan akhlak beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- berupa sikap lembut dan kasih sayang terhadap orang yang belum mengerti, kebagusan pengajaran beliau dan sikap lembutnya, dan bagaimana cara beliau mendekatakan kebenaran kepada pemahaman orang yang belum mengetahui (hukum)(Syarh Muslim, 5/24)
- Berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap orang yang berbicara di dalam shalat dengan pembicaraan yang tidak termasuk bagian dari dzikir atau bacaan shalat
Para ulama telah sepakat akan batalnya shalat orang yang sengaja bercakap-cakap ketika shalat, bukan untuk kemashlahatan shalat, orang tersebut mengetahui keharaman tindakannya tersebut. Dan, mereka berbeda pendapat jika yang melakukan hal tersebut adalah orang yang bodoh (tidak mengetahui hukum), orang yang dipaksa, dan orang yang tidur, orang yang memberikan peringatan kepada orang yang buta, dan orang yang bercakap-cakap (dalam shalat) untuk kemaslahatan shalat (Lihat, Taudhiih al-Ahkam, al-Bassam, 1/466, Tuhfatul Ahwadzi, al-Mubarakfuriy, 2/366)
Oleh karenanya, seorang muhtasib hendaknya mengingkari orang yang bercakap-cakap di dalam shalatnya dengan sesuatu yang bukan dari shalat, bukan pula untuk kemaslahatannya. Akan tetapi, hendaknya ia berusaha untuk meneladani Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam cara melakukan pengingkaran, cara membimbing dan mengarahkan serta memberikan pengajaran.
Hendaknya tidak bersikap keras dan tidak pula mencela. Karena, pada galibnya tidaklah seseorang bercakap-cakap di dalam shalat dengan sesuatu yang bukan bagian dari shalat, melainkan ia seorang yang belum tahu tentang hukum batalnya shalat (karena tindakan tersebut), atau ia lupa, atau ia seorang yang masih kecil seperti anak-anak. Oleh karenanya, hendaknya seorang muhtasib memberikan dorongan kepada manusia untuk memperhatikan persoalan Shalat dan bagaimana berupaya agar dengan khusyu’ kala mengerjakannya, dan meninggalkan segala hal yang berpotnesi akan dapat membatalkan atau mengurangi (kesempurnaan) shalatnya.
- Seorang muhtasib hendaknya berupaya untuk melakukan sebab-sebab yang akan mendatangkan kekhusyu’an dalam sahalat.
Seorang muhtasib hendaknya berupaya dengan sungguh-sungguh agar dapat khusyu’ ketika mengerjakan shalatnya, dan secara penuh menghadapkan dirinya, tidak menyibukkan diri dari hal yang tidak termasuk bagian dari shalat. Ia mengerjakan shalatnya dengan hati yang hadir dan penuh kekhusyu’an, menghadirkan hal-hal yang akan dapat mengantarkan kepada kedua hal tersebut, dan meninggalkan hal-hal yang akan menafikannya atau mengurangi(kesempurnaannya) berupa perkataan dan perbuatan. Allah ta’ala berfirman,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (Qs. Al-Baqarah : 238)
Firman-Nya, وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ yakni, jika kamu mengerjakan shalat maka diamlah, janganlah berbicara kepada orang lain hingga kamu selesai mengerjakannya. Al-Qanith, adalah orang yang mengerjakan shalat yang tidak bercakap-cakap (dengan orang lain). Ada yang mengatakan, bahwa qunuut dalam ayat ini (maknanya) adalah khusyu’ di dalam mengerjakannya. Dan mereka juga mengatakan : Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’, merendahkan diri, tidak melakukan tindakan yang tidak berguna dan tidak pula bermain-main (lihat, Tafsir ath-Thabariy, 3/571)
Wallahu A’lam
Sumber :
Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 109-111
Amar Abdullah bin Syakir