Tak Perlu Mencari-cari Kemungkaran Untuk Dirubah, Cukup Rubah yang Tampak Saja

Merubah kemungkaran adalah amalan mulia yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,  namun mengingkari kemungkaran juga perlu pemahaman bagaimana cara mengingkari kemungkaran menurut syariat dan sesuai dengan tuntunan nubuwah.

Hadits yang sangat terkenal tentang mengingkari kemungkaran adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu’anhu:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

 “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49).

Hadits ini adalah salah satu hadits yang paling banyak dirujuk oleh para ulama dalam memahami amar ma’ruf nahi mungkar dalam syariat islam. Walau hanya terdiri dari kalimat yang begitu singkat, namun ia begitu kaya makna.

Diantara yang dipetik oleh para ulama dari hadits ini adalah perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi من رأى منكم منكرا “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran” jadi perintah mengingkari kemungkaran adalah kemungkaran yang tampak dan terlihat, sedangkan kemungkaran yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka tak perlu kita cari.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “kata ini من رأى منكم منكرا)) menunjukkan bahwa mengingkari kemungkaran berhubungan dengan penglihatan, sehingga seandainya kemungkaran itu tertutup dan dia tidak melihatnya tetapi ia mengetahuinya, maka menurut yg tertulis dari pendapat Imam Ahmad dalam banyak riwayat bahwasanya ia tidak wajib untuk menoleh kepadanya, dan tidak harus memeriksa alat yang digunakan untuk menutup dirinya. Dan dalam riwayat yang lain dari pendapat Imam Ahmad mengatakan bahwa orang yang mengingkari kemungkaran boleh menyingkap kemungkaran yang tertutup jika ia yakin akan keberadaannya. Jika ia mendengarkan suara nyanyian atau alat musik dan ia mengetahui tempatnya maka boleh ia mengingkarinya, karena kemungkaran tersebut telah tampak, dan orang tersebut sudah tahu tempatnya, ia sama dengan orang yang melihatnya. Imam Ahmad juga mengemukakan; jika seseorang tidak mengetahui tempat adanya kemungkaran maka ia tidak wajib apa-apa, sedangkan memanjat dinding untuk mengingkari orang-orang yang diketahui berkumpul dalam kemungkaran maka dilarang oleh para ulama seperti Sufyan Ats-Tsauri dan yang lainnya, dan perbuatan seperti itu masuk kedalam kategori perbuatan ‘memata-matai’ yang dilarang. Pernah ada yang mengatakan kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “sesungguhnya jenggot si fulan meneteskan arak,” maka Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu menjawab, “Allah melarang kita memata-matai (orang lain).” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/254).

Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Imam Ahmad berpendapat tidak boleh membuka kemungkaran yang ditutupi sebagaimana tidak boleh berterang-terangan dalam melakukan suatu kemungkaran. Dan beliau (Imam Ahmad) memerintahkan untuk berprasangka baik kepada sesama muslim.” (Al-Ahkamus Shulthaniyah, karangan Abu Ya’la Hal.296).

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu pernah memanjat dinding rumah seseorang, ketika sampai didalam Umar melihatnya sedang dalam berbuat maksiat, maka dengan segera Umar mengingkarinya, maka orang tersebut menjawab,

“wahai Amirul Mukminin, jika aku telah melanggar satu perintah Allah, maka sesungguhnya engkau telah melanggar tiga perintahNya,”

Umar bertanya, “apa itu yang telah saya langgar?”

orang tersebut menjawab,” yang pertama Allah berfirman وَلَا تَجَسَّسُوا ‘Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain’ (QS. Al-Hujurat: 12) sedang engkau telah mencari-cari kesalahanku, kedua Allah berfirman وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ‘Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya’ (QS. Al-Baqarah: 18) sedang engkau masuk dari atas dinding, dan ketiga Allah berfirman لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا “Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur 28) sedang engkau belum mengucapkan salam.”

Maka kemudian Umar meninggalkannya dan menyuruhnya agar bertaubat. (Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Al-Ghazali 2/325).

Kesimpulannya, kemungkaran atau kemaksiatan yang wajib kita ingkari adalah yang tampak terlihat, sedangkan yang tak tampak maka tidak boleh kita cari-cari, karena Al-qur’an melarang kita untuk memata-matai dan mencari-cari kesalahan orang lain. Begitu juga perintah dalam hadits diatas adalah perintah bagi siapa yang melihat kemungkaran, sedang yang tidak melihatnya maka tidak wajib.

Wallahu a’lam bisShowab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *