Perlu diketahui bahwasannya hukum amar ma’ruf dan nahi munkar berlaku jika telah terpenuhi syarat-syarat amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Ibnu Nuhhas rahimahullah berkata dalam Tanbihul Ghafilin hal. 33, (“Disyaratkan akan wajibnya amar ma’ruf dan nahi munkar 3 syarat: Islam, Mukallaf, dan Mampu.”), dan berikut penjelasannya:
- Islam, karena tujuan amar ma’ruf nahi munkar adalah untuk menegakkan syari’at Allah dan untuk menyuruh manusia melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, dan hal ini tidak boleh dikerjakan oleh seorangpun kecuali oleh seorang muslim.
- Mukallaf, dalam artian memiliki akal dan telah baligh. Akan tetapi jika ada anak kecil yang mengingkari kemungkaran, maka hal itu diperbolehkan dan tidak boleh ada seorangpun yang melarangnya, karena perkara itu adalah ibadah dan dia berhak untuk melakukannya walaupun belum wajib atasnya. Demikian pula wajib atas budak dan wanita jika memiliki kemampuan.
- Mampu, ini merupakan syarat wajib untuk seluruh ibadah, karena Allah Azza wa Jalla telah menegaskan di dalam firmannya:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang kecuali yang sesuai dengan kemampuannnya…”
(Al-Baqarah: 287)
Dan juga sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam yang artinya: “semua perkara yang aku larang maka jauhilah dan seluruh perkara yang aku perintahkan maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian…” (Hr. Bukhari dan Muslim).
MUTIARA HADITS
مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَمُوتُوا
“Tidak ada seorangpun yang berada di tengah-tengah sebuah kaum yang diperbuat di tengah-tengah mereka kemaksiatan, mereka mampu untuk mengubahnya akan tetapi mereka tidak mau mengubahnya kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka siksaan sebelum mereka meninggal.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih sunan Abi Daud 3/819/4339)
Faidah Hadits:
- Wajibnya mengingkari perkara-perkara munkar yang dilakukan secara terang-terangan.
- Bahaya maksiat, ia merupakan sebab turunnya azab ketika tidak ada seorangpun yang mengingkarinya atau mencegahnya pdahal dia mampu.
CELAAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Allah Azza Wa Jalla berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya, lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.” (Ali-Imran: 187)
Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menafsirkan: Al-Mitsaq adalah perjanjian yang berat dan tegas. Perjanjian yang Allah ambil ini berlaku umum kepada setiap yang Allah berikan kepadanya kitab dan Allah ajarkan kepada mereka ilmu. Yaitu untuk menjelaskan kepada manusia apa yang mereka butuhkan dan tidak menyembunyikannya, tidak kikir untuk menjelaskannya, khususnya ketika mereka ditanya atau ketika terjadi hal yang mewajibkannya, setiap orang yang berilmu dalam keadaan ini, wajib menjelaskannya dan menerangkan yang haq dari yang bathil. Adapun orang yang diberi taufiq, akan menegakkannya dengan sungguh-sungguh dan mengajarkan manusia apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada mereka, karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala, dan sebagai tanda kasih sayang terhadap makhluk, juga karena takut akan dosa, karena menyembunyikan (ilmu). Dan adapun “orang-orang yang diberikan Al-Kitab dari kalangan yahudi, nasrani, dan yang serupa dengan mereka, melemparkan janji-janji ini dibelakang punggung mereka. Mereka tidak peduli dengan janji-janji tersebut. Mereka menyembunyikan kebenaran dan menampilkan kebathilan. Mereka berani melanggar keharaman Allah Subhanahu wa ta’ala, mereka meremehkan hak-hak Allah Subhanahu wa ta’ala serta hak makhluk-Nya. Dengan cara menyembunyikan tersebut, mereka juga membeli kedudukan dan harta benda dengan harga yang sedikit dari para pengikutnya serta orang-orang yang mengutamakan syahwat daripada kebenaran.” “Maka amatlah buruk tukaran yang mereka terima”
KISAH
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”. Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama”. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”. (Ali-Imran: 41-48)
Allah Subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihisallam telah melarang bapaknya dari perbuatan menyembah tuhan selain Allah, yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat serta tidak dapat memberi manfaat sedikitpun kepadanya. Dan Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihisallam sebagai suri tauladan yang baik bagi kita, dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan juga kepada kita untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihisallam, sebagaimana firman-Nya:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (An-Nahl: 123)
Dengan demikian, maka wajib hukumnya bagi setiap pribadi muslim untuk selalu melaksanakan segala yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya (amar ma’ruf nahi munkar).
DUNIA KLENIK
Masih banyak diantara kaum muslimin yang percaya pada sihir, ramalan, dukun dan dunia klenik. padahal itu termasuk bentuk keimanan pada jibt dan thagut.
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 51)
Apa yang dimaksud jibt dan thagut?
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir disebutkan perkataan ‘Umar bin Al-Khattab bahwa jibt adalah sihir dan thagut adalah setan.
Ada juga yang menyebut jibt adalah setan, juga dimaknakan syirik, juga dimaknakan ashnam (patung berhala), sebagaimana pendapat dari Ibnu ‘Abbas. Dan Asy-Sya’bi menyatakan bahwa jibt adalah kahin (dukun).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Inilah jeleknya Yahudi dan bagaimanakah hasad mereka pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin. Tingkah laku dan tabiat mereka sangat jelek. Mereka enggan beriman pada Allah dan Rasul-Nya dan lebih memilih beriman pada jibt dan thagut. Yang dimaksud adalah beriman dengan melakukan peribadahan pada selain Allah atau berhukum dengan selain hukum Allah. Maka termasuk di dalamnya adalah percaya pada sihir, ramal atau perdukunan, beribadah pada selain Allah dan taat pada setan. Semua itu termasuk jibt dan thagut.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 179)
Inilah salah satu tugas penting seorang da’i untuk mengingatkan ummat ini dari bahaya tergelincir kedalam kesyirikan. Membentengi ummat ini dengan tauhid dan aqidah yang sahihah, mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga aqidah mereka dari segala perkara-perkara yang akan mengotori bahkan merusak aqidah mereka. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan taufiq dan hidayahnya. aamiin.