Pertama, perkara tersebut disepakati kemungkarannya.
Artinya, kemunkarannya ditetapkan berdasarkan nash syara’ yang tegas dan jelas, atau berdasarkan kaidah-kaidah yang qath’i setelah melalui penyelidikan. Perkara tersebut adalah sesuatu yang jelas-jelas keharamannya dimana pelakunya berhak mendapat siksa, baik berupa melakukan sesuatu yang dilarang, maupun meninggalkan sesuatu yang diperintahkan, baik yang termasuk dosa kecil maupun dosa besar.
Kedua, kemunkaran dilakukan secara terang-terangan atau dapat dilihat berdasarkan bukti-bukti yang jelas dan benar.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran …” Mencegah kemungkaran harus berdasarkan penglihatan mata, bukan karena mendengar dari orang lain.
Ketiga, adanya kemampuan bertindak untuk mengubah kemungkaran.
Hal ini juga berdasarkan hadits yang sama. Siapa yang tidak mampu mengubah dengan tangan dan lisannya, maka cukuplah baginya menolak kemungkaran dengan hatinya. Biasanya yang mempunyai kemampuan ialah penguasa di wilayah kekuasaannya, misalkan suami terhadap istri, ayah terhadap anak-anaknya, ketua sebuah organisasi terhadap anggotanya, dan pemerintah terhadap rakyatnya.
Keempat, tidak dikhawatirkan akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Misalkan, pencegahan terhadap sebuah kemungkaran menimbulkan fitnah yang dapat memicu pertumpahan darah. Hal ini didukung oleh hadits Nabi Saw., “Kalau bukan karena kaummu baru terentas dari kemusyrikan, niscaya saya bangun Ka’bah di atas pondasi yang dibangun Ibrahim” (HR Bukhari).
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet