Syarat Muhtasib Bersih dari Maksiat? (1)

Pertanyaan :

Apakah orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar disyaratkan dari orang-orang yang benar-benar telah melakukan apa yang ia seru dan menjauhi apa yang ia larang?

Jawab :

Dalam masalah ini ulama mempunyai jawaban yang rinci, karena masalah ini merupakan problem yang dijadikan kesempatan oleh setan untuk membuat seseorang berdiam diri dari amar ma’ruf nahi munkar dengan dalih bahwasanya mereka sendiri adalah orang-orang yang masih banyak berbuat kesalahan, dan mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Dan firmanNya juga :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ (٢)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ (٣)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)

Mereka juga berdalil dengan hadits yang mengabarkan orang yang diseret dan diarak dineraka karena menyeru kepada kebaikan sedangkan ia sendiri meninggalkannya, dan melarang kemungkaran namun ia sendiri melakukannya.

Untuk menjawab semua syubhat diatas, para ahli tafsir dan diantaranya Imam Al-Qurthubi berkata, “Ketahuilah –semoga Allah memberimu taufiq- bahwasanya celaan dalam ayat ini dikarenakan meninggalkan perbuatan baik, bukan karena menyeru untuk berbuat baik.”

Ibnu Katsir berkata, ”dan yang dimaksud adalah bukan celaan kepada mereka dikarena mereka menyeru kepada kebaikan walaupun mereka sendiri tidak melakukannya, namun karena mereka tidak melakukan perbuatan tersebut.”

Imam Nawawi berkata, “Ulama berkata; orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak disyaratkan dari orang-orang yang telah melakukan semua kebaikan yang ia seru atau jauh dari semua kemungkaran yang ia larang, tetapi hendaknya ia menyeru kepada kebaikan walaupun ia tidak melaksanakannya sepenuhnya, dan mencegah kemungkaran walaupun ia sendiri masih melakukannya, Karena ia memiliki dua kewajiban, yaitu; menyeru atau melarang dirinya, dan menyeru atau melarang orang lain, jika ia lalai dalam salah satunya, bagaimana boleh dia melalaikan kewajiban yang satunya lagi?”

Kemudian menanggapi orang-orang yang lebih memilih berdiam diri sehingga menyebabkan lenyapnya ihtisab, maka dalam hal ini Imam Sa’id bin Jubair berkata, “Andaikata seseorang tidak menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran sampai ia sendiri benar-benar bersih, maka tidak akan ada orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.”

Imam Malik berkata dalam mengomentari perkataan diatas, “Sungguh beliau berkata benar, dan siapakah orang yang dirinya benar-benar bersih?”

Imam Al-Qurthubi menukilkan dari Sayyidina Al-Hasan bahwasanya beliau berkata kepada Muthrif bin Abdillah:

“Nasehatilah teman-temanmu!”

Ia menjawab, “Saya takut menyeru kepada sesuatu yang saya sendiri tidak melakukannya.”

Al-Hasan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, siapa dari kita yang melakukan semua yang ia seru?, dengan alasan inilah setan berharap untuk menang, sehingga tidak ada orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.”

Dengan demikian maka berbeda antara dua macam orang; pertama, orang yang berkesinambungan dalam dosa dan maksiat, tidak peduli bahwa Allah melihat gerak-geriknya, dan juga tidak takut terhadap adzab Allah, maka orang seperti inilah yang akan ditimpa adzab Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits orang yang diarak dineraka, dan yang kedua orang yang berusaha mengendalikan hawanafsunya dan menahannya, ia tidak suka dengan keadannya dalam berbuat maksiat, ia takut adzab Allah, dan ia selalu berusaha untuk mengekang nafsunya, maka insya-allah orang tersebut tidak masuk kedalam ancaman, tetapi ia harus mempunyai tekad kuat untuk meninggalkan maksiat yang ia lakukan.

Bersambung…


Diterjemahkan dari Kitab “Kun Muhtasiban, Musabaqatun Ihtisabiyatun Wamulhaqaatuha”, Syaikh Abdullah bin ‘Ali bin Abdullah Al-Ghomidi. hal. 110-112.

Penerjemah: Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *