Dalam pandangan Islam, seorang suami bagaikan nahkoda dan rumah tangganya diumpamakan sebuah bahtera yang kendalinya ada di tangannya.
Sebagai seorang suami yang memegang kendali, ia pun mengemban tugas-tugas yang tidak enteng. Untuk itu, demi kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan keluarga, ia mesti menjalankan fungsinya tersebut dengan sebaik-baiknya. Ia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang menjadi hak istri dan seluruh anggota keluarganya, sebab ia adalah pemimpin, penanggung jawab utama dan tulang punggung keluarga.
Rasulullah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, rasul pembawa rahmat, mengatakan : “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin ditanya tentang yang dipimpinnya, seorang penguasa adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya…dan seorang lelaki pemimpin dalam keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang yang dipimpinnya.”(HR. al-Bukhari, no. 893 dan Muslim, no. 1829)
Bertolak dari hadis di atas, seorang suami shalih menjalankan kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya dalam kerangka ibadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Allah berfirman, artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhaki Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Qs. At-Tahrim : 6)
Suami yang shalih sadar bahwa ia telah diserahi amanat berupa seorang wanita yang menjadi pasangan hidupnya, dan ia bertanggung jawab atas diri istrinya. Sehingga berupaya kuat untuk bersikap baik dan tulus dalam memenuhi hak-hak istrinya. Ia pun tahu bahwa hal tersebut termasuk pertanda ketakwaan.
Rasulullah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah kaum Mukmin yang terbaik akhlaknya dan orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya kepada istri-istri mereka”. (HR. at-Tirmidzi)
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– juga bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dalam (mepergauli) istri (HR. Muslim)
Suami yang shaleh akan komitmen menjalankan hak-hak istrinya karena ia tahu bahwa hal itu merupakan pesan Rasulullah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam– kepada suami dan ia takut menyia-nyiakan wasiat mulia dari Rasul termulia. Pesan yang dimaksud adalah sabda Rasulullah :
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Sampaikan pesan untuk berbuat baik kepada kaum wanita (istri) (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “Ingatlah ! sampaikanlah pesan untuk berbuat baik kepada para istri, karena sesungguhnya mereka itu adalah tawanan kalian. Kalian tidak memiliki apapun dari mereka selain itu, kecuali jika melakukan kekejian yang nyata. Jika melakukan kekejian yang nyata, maka pisahkanlah mereka dari tempat tidur, kemudian pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas. Jika mereka telah mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian dan mereka juga mempunyai hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri-istri kalian adalah janganlah mereka mengizinkan siapapun juga orang yang tidak kalian sukai untuk masuk ke tempat kalian (dalam rumah kalian) dan janganlah mereka mengizinkan orang-orang yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah-rumah kalian. Sedangkan hak mereka atas kalian adalah kalian berbuat baik kepada mereka dalam masalah pakaian dan makanan mereka (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Seorang suami yang diberkahi, ia memenuhi hak-hak istrinya, dikarenakan ia mengetahui bahwa istrinya adalah amanat di tangannya, dan Allah Penguasa langit dan bumilah yang menyerahkan amanat tersebut kepadanya. Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, ketika haji Wada’ yang dipersaksikan sekumpulan manusia yang amat banyak,
فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ
Sesungguhnya kalian (kaum lelaki) telah mengambil mereka (para istri) melalui amanat dari Allah (HR. Abu Dawud)
Seorang suami yang diberkahi, tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang menjadi hak-hak istrinya dalam rangka balas budi kepada istrinya. Akan tetapi, ia menjalankan kewajibannya karena ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang tugas tersebut di hadapan Rabbnya.
Oleh sebab itu, secara logis sudah menjadi kewajiban para suami untuk mempelajari petunjuk syariat yang menerangkan hak-hak istri mereka dan selanjutnya mengajarkannya kepada anak-anak lelaki mereka.
Islam telah menjelaskan bahwa di antara hak istri adalah suami memberinya nafkah kepadanya dengan cara yang ma’ruf. Tidak kikir, dengan memberinya nafkah di bawah kebutuhan istrinya dan tidak memberinya di luar kemampuannya. Sebab Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Bagi mereka (para istri) yang menjadi kewajiban kalian untuk memberi nafkah dan kebutuhan sandang dengan cara yang ma’ruf (HR. Muslim)
Islam pun telah menjelaskan bahwa di antara kewajiban suami adalah berbuat baik kepada istrinya dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan syariat Allah, Penguasa alam semesta. Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ
Ingatlah, hak mereka (para istri) atas kalian adalah hendaknya kalian berbuat baik kepada mereka (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi)
Wallahu A’lam
Sumber :
Diadaptasi dari, “ Haqqu az-Zaujain”, karya : Dr. Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili.
Amar Abdullah bin Syakir