Suami atau Istri Tidak Memperhatikan Penampilannya Untuk Pasangan Hidupnya

Kita melihat sebagian istri acuh tak acuh dengan penampilannya di hadapan suami, utamanya bila usianya memasuki setengah abad. Ia beralasan perhiasan atau berdandan hanya pantas dilakukan di masa muda saja, atau ia mengaku terlalu sibuk mengurus anak-anak dan rumah. Juga, bahwa kewajibannya terbatas pada mengurus rumah, bukan memperhatikan suami. Padahal ia biasa berpenampilan dengan pakaian yang paling bagus apabila ingin mendatangi pesta, menghadiri suatu acara, atau menyambut tamu.

Seorang wanita yang cerdas tidak akan membiarkan suaminya mengamati usianya yang merangkak tua. Bahkan ia semakin bersemangat mempercantik diri untuk suami, seolah-olah masa mudanya kembali lagi. Sehingga suami tidak memalingkan pandangannya ke perempuan lain.



Di antara suami juga ada yang kurang perhatian terhadap kebersihan dirinya dan kerapian penampilannya di hadapan istri. Seyogyanya suami berdandan untuk istrinya dengan apa yang pantas bagi seorang laki-laki, sebagaimana ia senang melihat istrinya berpenampilan menarik untuk dirinya. Sebab, istri menyukai dari suami apa yang disukai suami dari istrinya. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – sendiri, seringkali minyak misik mengalir dari belahan rambut beliau. Kemudian pertama kali yang beliau kerjakan saat masuk rumah dan ketika bangun tidur adalah membersihkan mulut dengan siwak. Beliau menyisir rapi rambut beliau dan mengenakan baju putih karena bersih. Bahkan Anas pernah menggambarkan beliau, ia berkata, “Aku tidak pernah menjabat tangan yang lebih wangi dan lebih lembut dari tangan Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –.”



Ketika menafsirkan firman Allah,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ [البقرة : 228]

“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf …” (Al-Baqarah : 228)

Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –berkata, “Sungguh aku berhias untuk istriku sebagaimana ia berhias untuk diriku. Aku tidak suka menuntut semua hakku yang menjadi kewajibannya, akibatnya ia pun meminta seluruh haknya yang menjadi kewajibanku.”

Wallahu A’lam

Sumber :

Al-Mafatih Adz-Dzahabiyah li Ihtiwa’ Al-Musykilat Az-Zaujiyah, Nabil bin Muhammad Mahmud, ei, hal.79

Amar Abdullah bin Syakir

Subscribe Chanel Youtube Kami

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *