Syaikh Al Albani Rahimahullah menuliskan standarisasi Hijab Syar’i didalam kitabnya Hijab Al Mar’ah Al Muslimah hal 54-67:
Pertama: Menutupi seluruh bagian tubuh kecuali bagian yang dikecualikan.
فهو في قوله تعالى : { يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما } .
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Ahzab: 59)
Pada ayat diatas, menjelaskan kewajiban untuk menutup perhiasan dan tidak menampakkan bagian apapun darinya didepan non mahram, kecuali apa yang terlihat tanpa sengaja dan segera ditutup setelahnya.
Berkata Al Hafizh Ibnu Katsir:
أي : لا يظهرن شيئا من الزينة للأجانب إلا ما لا يمكن إخفاؤه.
“Yaitu tidak menampakkan perhiasan apapun didepan non mahram kecuali apa yang tidak dapat disembunyikan“.
Kedua: Bukan kain yang terhias
Sebagaimana firman-Nya:
{ ولا يبدين زينتهن }
“Tidak menampakkan perhiasan mereka“.
Larangan diatas mencakup pakaian luar jika ia terhias dengan hiasan yang dapat menarik perhatian lelaki yang memandangnya, sejalan dengan firman-Nya:
{وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى }
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS Al Ahzab:33)
Ketiga: Tebal tidak menerawang
Karena maksud menutup tidak tercapai dengannya, bahkan pakaian yang tipis menerawang semakin menambah daya tarik seorang wanita.
Keempat: Lebar, Longgar tidak ketat sehingga membentuk lekuk tubuh.
Karena maksud dari hijab agar tidak menimbulkan fitnah atau daya tarik, dan maksud tersebut tidak akan terpenuhi kecuali dengan pakaian yang lapang dan longgar, adapun yang ketat atau bodypress, betul ia menutup kulit akan tetapi disatu sisi ia malah menampakkan bentuk tubuh dan seolah menggambarkannya untuk mata lelaki, maka inilah titik kerusakannya sehingga wajib untuk dihindari.
Kelima: Hijab untuk aktivitas diluar rumah tidak diberi wewangian.
Dijelaskan oleh banyak hadits bahwa wanita dilarang untuk memakai wewangian jika keluar rumah.
Salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا من ريحها فهي زانية “
“Wanita mana saja yang memakai minyak wangi kemudian melalui pada suatu kaum supaya mereka mencium bau parfum itu maka perempuan itu telah berzina” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad. Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ , no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Adapun sebab larangan maka jelas bahwa wewangian dapat memancing hawa nafsu orang yang menciumnya, apalagi jika itu dari tubuh seorang wanita.
Keenam: Tidak menyerupai pakaian lelaki.
Bahkan beberapa hadits sahih menyebutkan bahwa wanita yang memakai pakaian menyerupai lelaki dan sebaliknya itu terlaknat, seperti:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم التمشبهين من الرجال بالنساء والتشبهات من النساء بالرجال
“Allah melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR.Al-Bukhari).
Ketujuh: Tidak menyerupai pakaian khas orang kafir.
Telah jelas ketetapannya didalam islam bahwasanya tidak boleh hukumnya bagi kaum muslimin dan muslimat untuk menyerupai kaum kuffar, baik itu di ibadah mereka, perayaan bahkan pakaian yang menjadi ciri khas mereka.
Kedelapan: Bentuknya tidak menimbulkan sensasi atau “syuhrah”.
Sebagaimana hadits dari ibnu Umar ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِى الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan).
Apa itu syuhroh, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menerangkan dalam Syarhul Mumthi’:
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.
“Mengikuti kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhroh (suatu yang tampil beda). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhroh. Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.” (Hal 109/6)
Melihat standar diatas, maka dengan sederhana dapat kita katakan untuk muslimah yang bingung apakah hijab yang ia kenakan selama ini sudah sesuai syar’i atau belum:
“Jika pakaian aktivitas luar anda dapat digunakan untuk shalat langsung tanpa harus menggantinya dengan mukena, maka pakaian anda sudah syar’i, jika tidak, maka jujurlah dengan diri sendiri untuk segera berhijrah ke jalan yang benar“.
Dikutip dengan perubahan dari:
https://islamqa.info/ar/6991