Dari ‘Aisyah-semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat dengan mengenakan Khamishah [1] yang bercorak, maka beliau bersabda : corak-corak ini telah menyibukkan aku. Bawalah ia pergi kepada Abu Jahm [2] dan datangkanlah kepadaku an-bijaniyyah [3]
- Ihtisab di dalam Hadis
Dalam hadis di atas terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, Hendaknya seorang muhtasib berusaha melakukan hal-hal yang dapat membantu atau menyebabkan kekhusyu’an dalam shalat dan hendaknya pula ia memotivasi orang lain untuk melakukannya.
Kedua, hendaknya berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap para pengurus masjid yang seringkali kita jumpai mereka berlebih-lebihan di dalam mendekorasi mihrab-mihrab dan tembok-tembok masjid dengan tulisan dan pahatan.
Ketiga, termasuk sifat seorang muhtasib adalah khusnul khuluq (berakhlak baik)
- Penjelasan :
- Di dalam hadis ini terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya khusyu’ ketika shalat dan melakukan sebab-sebab yang dapat mewujudkannya, menjauhkan diri dari segala hal yang akan menyibukkannya dalam shalat, dorongan untuk menghadirkan hati kala shalat, mentadabburi (bacaan yang dibaca), menghalangi pandangan dari tindakan melihat kepada hal-hal yang akan menyibukkannya, menyingkirkan hal-hal yang dikhawatirkan akan menyibukkan hatinya. Kesemuanya ini merupakan upaya agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang terlarang. [4]
Oleh sebab itu, maka kaum muslimin -pada umumnya- dan seorang muhtasib -secara khusus- hendaknya bersemangat untuk melakukan sebab-sebab yang akan menimbulkan kekhusyu’an ketika shalat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Tidak disangsikan bahwa semakin kecil rasa was-was muncul di dalam shalat maka shalatnya akan semakin sempurna, dan yang dapat membantu untuk mewajudkan hal tersebut adalah dua hal ; kuatnya hal yang mendorongnya dan lemahnya perkara yang akan menyibukkannya.
Adapun yang pertama, yaitu kesungguhan seorang hamba untuk dapat mengerti dan memahami apa yang dikatakan dan dilakukannya, mentadabburi bacaan, dzikir dan doa, dan menghadirkan hati bahwa dirinya tengah bermunajat kepada Allah seakan-akan ia melihatnya. Karena sesungguhnya seorang yang tengah shalat ia bermunajat kepada Rabbnya.
Kedua, adapun hilangnya perkara yang tiba-tiba saja muncul adalah dengan bersungguh-sungguh di dalam upaya menolak perkara yang akan menyibukkan hati berupa lintasan-lintasan pikiran yang tidak ada hubungannya dengan shalat, dan (dengan) memikirkan hal-hal yang akan memalingkan hati dari maksud pelaksanaan shalat. Karena banyak munculnya was-was itu tergantung kepada banyaknya syubhat dan syahwat pada diri seseorang, dan bergelantungannya hati dengan perkara-perkara yang disukai yang memalingkan hati untuk mencarinya …[5]
- Sesungguhnya pemberian hiasan dan ornamen pada masjid merupakan hal yang menyelisihi sunnah, karena tindakan tersebut tergolong israf (berlebih-lebihan) dan pemubadziran, dan karena tindakan tersebut sangat berpotensi menjadi pikiran orang tengah shalat akan tersibukkan dari shalat. Dan setiap hal yang akan dapat menghilangkan kekhusyu’an hukumnya terlarang. Hadis di atas merupakan salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut.
Oleh karena itu, seorang muhtasib hendaknya mengingkari terhadap para pengurus masjid yang berlebih-lebihan di dalam menghiasi dan memberikan ornamen pada masjid, karena sesungguhnya masjid-masjid itu tidaklah dibangun melainkan untuk sebagai tempat beribadah kepada Allah yang tidak akan dapat terwujud dengan baik melainkan dengan kekhusyuan. Karena, bilamana kekhusyu’an itu hilang jadilah ibadahh itu seperti halnya tubuh yang tidak bernyawa.
Imam an-Nawawi [6] berkata, “di dalam hadis tersbut terdapat petunjuk tidak disukainya tindakan menghiasi dan memberikan ornemen pada mihrab-mihrab masjid dan dinding-dindingnya, dan memahatnya dan tidakan yang lainnya yang termasuk ke dalam kategori hal-hal yang akan menyibukkan hati.
- Sesungguhnya Abu Jahm pernah memberikan hadiah kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- berupa Dan termasuk bentuk akhlak mulia beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah menerima hadiah. Maka, beliau pun menerima hadiah tersebut dan menggunakannya untuk shalat. Hanya saja, khamishah tersebut bercorak yang menyebabkan pandangan mata tertuju kepadanya. Khamishah tersebut telah melalaikan Nabi dalam shalatnya. Maka dari itu, beliau memerintakan agar khamishah tersebut dikembalikan kepada Abu Jahm. Dan agar hati Abu Jahm tidak terselip sesuatu (kekecewaan) karena pengembalian hadiahnya tersebut dan untuk menenangkan hatinya tersebut, maka Nabi-shallallahu ‘alaihi wasalllam- memerintahkan agar mendatangkan pakaian yang lainnya milik Abu Jahm yang tidak bercorak. Ini merupakan bagian dari kebagusan akhlak Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk memberitahukan kepada Abu Jaham bahwa beliau sejatinya tidak menolak hadiah yang diberikan kepadanya. Maka dari itu, seorang muhtasib hendaklah meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu, dan mengambil petunjuknya.
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.87-89 dengan gubahan)
[1] Khamishash adalah pakaian yang berkotak-kotak yang terbuat dari bahan wol/bulu domba. Syarh Muslim, 5/46; dan lihat juga an-Nihaayah 2/81
[2] Beliau adalah Abu Jahm ‘Amir-ada yang mengatakan selain itu- bin Khudzaefah bin Ghanim al-‘Adawi, masuk Islam pada waktu penaklukan kota Makkah. Beliau termasuk orang yang ikut serta membangun Ka’bah di zaman Jahiliyah. Kemudian, beliau diberi panjang umur hingga dapat membangun kembali Ka’bah bersama dengan Abdullah bin Zubair. Rentang waktu antara kedua pembangunan Ka’bah tersebut lebih dari 8 tahun. Beliau termasuk orang yang piwai dalam mengetahui silsilah nasab. Nabi pernah mengutusnya sebagai pembenar. Namun beliau tidak memiliki periwayatan hadis. Lihat, al-Isti’ab, 4/32/33, Siyar A’lam an-Nubala, 2/556-557)
[3] An-bijaniyah, adalah pakaian yang berbahan tebal yang tidak memiliki corak. Syarh Muslim, 5/46. Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, 2/273-274, hadis no. 752, Muslim, 5/46, hadis no. 1238
[4] Lihat, Syarh Muslim, an-Nawawi,5/46, al-Mufhim, al-Qurthubi, 2/163; Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/57, Taisiirul ‘Allam, al-Bassam, 1/289
[5] Majmu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah, Abdurrahman bin Qasim, 32/605 dengan penyesuaian
[6] Syarh Muslim, an-Nawawi, 5/46. Dan lihat juga, al-Mufhim, al-Qurthubiy, 2/163