Sikap Menghargai dan Dampak Positifnya

Menghargai orang lain adalah perkara penting dalam hidup, baik menghargai ide, ucapan, perbuatan, bahkan perasaan maupun watak, dengan syarat tidak menyelisihi syariat Allah ta’ala. Menghargai di sini bukan berarti kesamaan, sebab ada kalanya Anda menghargai seseorang namun Anda berbeda dengannya dalam banyak hal.

Jika telah terjalin saling menghargai antara suami, istri dan anak, antara mereka dan kerabat-khususnya mertua dan ipar-, semua pasti merasa bahagia. Masing-masing akan menyadari nilai dan urgensi saling menghargai. Saling menghargai inilah yang disambut dan dimuliakan orang lain.

Adapun jika saling mencela, menjatuhkan, dan menghina sebagai cara berinteraksi, maka balasannya akan lebih buruk, permusuhan dan kebencian antar anggota keluarga akan semakin pekat. Allah ta’ala berfirman :

{وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا} [لقمان: 15]

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik… “(Qs. Lukman : 15)

Dalam ayat ini terdapat perintah bagi anak untuk memperlakukan orang tua dengan baik, meskipun mereka berusaha mengajaknya berbuat syirik. Berbeda agama adalah sesuatu dan interaksi yang baik adalah hal lain. Mungkin ini bisa dipraktekkan antara pasangan dan anak-anak [1]

Ummu Salamah –semoga Allah meridhainya- meriwayatkan bahwa ia membawa makanan untuk Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat dengan piring miliknya. Datanglah Aisyah dengan pakaian tertutup membawa batu, lalu ia memecahkan piring itu dengan batu. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- memungut dan memberikan piring itu, seraya bersabda, “makanlah, ibu kalian (Aisyah) sedang cemburu !” Beliau mengucapkannya hingga dua kali. Kemudian beliau mengambil piring Aisyah untuk dikirim ke Ummu Salamah, dan memberikan piring Ummu Salamah itu ke Aisyah (Hadist Shahih, al-Irwa’)

Pelajaran yang bisa kita ambil dari hadis ini, meskipun sikap Ummul mukminin Aisyah –semoga Allah meridhainya- memecahkan wadah makanan orang lain, bahkan di hadapan para sahabat, namun Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap menghargai rasa cemburunya, dan beliau tidak mengambil sikap keras saat menghadapi kejadian ini.

Wallahu a’lam

Sumber :

Dinukil dari “ Tis’un Wa Tis’una Fikrah li Hayah Zaujiyah Sa’idah”, karya : Dr. Musyabbab bin Fahd al-Ashimi (ei, hal. 61)

Amar Abdullah bin Syakir

[1] Hal ini bukan berarti boleh menikah beda agama. (Namun) maksudnya, adalah meskipun ada perbedaan, hendaknya tetap berinteraksi dengan baik antar pasangan- penerjemah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *