Serial Puasa (bag.5)

Alhamdulillah,  pada bagian kelima tulisan ini akan dibahas satu poin, yaitu, “Syarat Sah Puasa.”

Untuk sahnya dilakukannya puasa ada beberapa syarat :

Syarat pertama, Niat.

Yaitu beraksud, yakni, keyakinan hati untuk melakukan sesuatu dan keinginan kuat untuk melakukan hal tersebut.

Jumhur berpendapat bahwa niat merupakan syarat sah puasa. Sementara sebagian kalangan Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa niat merupakan rukun puasa dan puasa tidak sah kecuali dengan niat dan tempat niat itu di dalam hati.

Kalangan Hanafiyah mengatakan, ‘Melafazhkan niat untuk puasa adalah sunnah. Karena puasa Ramadhan merupakan ibadah maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan adanya niat. Hal itu berdasarkan hadis Umar, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات

Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niat-niatnya[1]

 

Niat pada Malam Hari untuk Puasa Wajib

Jumhur (mayoritas fuqaha) dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa puasa Ramadhan dan puasa yang wajib lainnya dipersyaratkan di dalamnya sesorang berniat sejak malam harinya, berdasarkan hadis Ibnu Juraij dan Abdullah bin Abi Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya dari Hafshah dari Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barang siapa yang tidak berniat puasa sejak malam hari maka tidak ada puasa baginya [2]

Dan dalam sebuah riwayat

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barang siapa tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya[3]

Dan oleh karena puasa tersebut adalah wajib maka membutuhkan niat sedari malam hari.

Sementara Abu Hanifah berpedapat bahwa sah puasa Ramadhan dan semua puasa tertentu seperti nazar tertentu dengan niat di siang hari; karena Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- mangirimkan utusan ke perkampungan orang-orang Anshar yang berada di sekitar Madinah pada pagi hari : (beliau bersabda) …

مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَليَصُمْ

Barang siapa berada di pagi hari dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa) maka hendaklah ia menyempurnakan sisa harinya, dan barang siapa di pagi hari dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya ia melanjutkan puasanya. [4]

Sementara ketika itu puasa Asyura merupakan puasa yang wajib dilakukan.

Pendapat yang rojih (kuat) :

Kami berpendapat bahwa yang rojih adalah pendapat Jumhur, dan bahwa puasa Ramadhan dan puasa wajib lainnya haruslah diniatkan sedari malam hari sebelum fajar ; berdasarkan beberapa hadis yang menjelaskan hal itu. Dan, puasa Asyura belum valid hukumnya wajib. Bahkan para ulama berbeda pendapat, apakah dulu puasa Asyura tersebut wajib kemudian dihapus (hukumnya) dengan puasa Ramadhan ataukan puasa Asyura tersebut disyariatkan hanya sebagai perkara yang sunnah saja ?

 

Pembaharuan Niat Puasa Ramadhan untuk Setiap Harinya

Kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah –berdasarkan pendapat yang benar dari Madazhab mereka- berpendapat bahwa niat itu wajib dilakukan untuk setiap harinya secara menyendiri, karena puasa Ramadhan merupakan puasa wajib, maka wajib berniat untuk setiap harinya secara menyendiri.

Sedangkan Malik dan satu riwayat dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa puasa Ramadhan itu cukup satu niat untuk seluruh (hari) bulan tersebut apabila seseorang berniat puasa satu bulan seluruhnya, karena ia telah berniat dalam satu masa yang layak untuk yang sejenis dengannya untuk berniat puasa.

Pendapat yang rajih (kuat)

Yang rojih (kuat) bahwa puasa yang berturut-turut seperti puasa Ramadhan dan puasa dua bulan berturut-turut cukup bagi seseorang berniat sejak awalnya, kecuali bila ia memutuskannya karena adanya uzur, maka wajib atasnya untuk memperbaharui niat tersebut.

 

Berniat Sejak Malam Hari untuk Puasa Sunnah

Dalam masalah ini, para Fuqaha berbeda pendapat, menjadi beberapa pendapat,

Pendapat pertama, Jumhur dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa puasa sunnah boleh dengan niat sejak malam hari atau di siang hari. Hal itu berdasarkan apa yang diriwayatkan ‘Aisyah, ia berkata, ‘Pada suatu hari, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengatakan kepadaku, ‘Wahai ‘Aisyah, apakah kamu punya sesuatu ? ia berkata, saya katakan, Wahai Rasulullah, tak ada sesuatu pun yang aku miliki. Beliau bersabada, ‘Kalau begitu, aku berpuasa’.[5]

Kemudian, kalangan Hanafiyah, mereka membatasi waktu niat puasa sunnah dengan adh-Dhahwah al-Kubra, dan kalangan Syafi’iyyah membatasinya-dalam satu pendapat mereka-bahwa waktunya sampai waktu zawal, dan sebagian kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat  bahwa waktunya memanjang sampai setelah zawal, dan itu adalah pendapat Mu’adz bin Jabal, Ibnu Mas’ud dan Hudzaefah. Sementara tidak dinukil dari kalangan sahabat adanya pendapat yang menyelisihinya ; karena niat itu ada pada sebagian dari siang maka menyerupai seadaannya sebelum zawal.

Pendapat kedua, Imam Malik berpendapat bahwa puasa sunnah tidak boleh dilakukan kecuali dengan niat sejak malam harinya seperti halnya puasa wajib, dan hal tersebut berdasarkan pada hadis,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barang siapa tidak berniat puasa sejak malam hari maka tidak ada puasa baginya

Hadis tersebut umum, mencakup puasa wajib dan puasa sunnah [6]

Yang rojih (kuat) :

Kami memandang bahwa yang utama adalah pendapat yang membolehkan niat untuk puasa sunnah dilakukan pada siang hari meskipun di akhirnya, dan tidak dipersyaratkan dilakukan sejak malam hari, berdasarkan riwayat dalam hal itu dari Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan hadis (yang dijadikan hujjah oleh) kalangan yang mewajibkan (niat puasa sunnah dilakukan sejak malam hari) besifat umum dikhususkan dengan hadis yang datang yang menjelasakan bolehnya melakukannya di siang hari. Wallahu A’lam. Dan karena sikap toleran tekait dengan puasa sunnah mendorong manusia untuk mencari pahala dan ganjaran kapan saja untuk melakukannya baik malam hari atau pun siang hari.

Adapun untuk puasa fardhu, maka niat wajib dilakukan sejak malam harinya karena adanya hadis yang menunjukkan hal tersebut.

 

Syarat kedua, Suci dari Haid dan Nifas

Wanita yang tengah haid atau nifas tidak sah puasanya. Karena adanya penghalang, yaitu haid dan nifas. Yang wajib dilakukan oleh keduanya adalah mengqadha setelah keduanya suci.

 

Wallahu A’lam

Sumber :

Al-Fiqhu al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, jilid 3, hal. 31-33

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Catatan :

[1] HR. Al-Bukhari, kitab Bad-i al-Wahyi , bab : Bad-i al-Wahyi 1, Muslim, kitab al-Imarah , bab sabda beliau,  إِنَّمَا الأَعْمَالُ 3530

[2] HR, an-Nasai, kitab : ash-Shiyam, 2294, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam sunan an-Nasai, 2/197, no. 2334

[3] HR. At-Tirmidzi : kitab Shiyam, 662 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Jami’ at-Tirmidzi, 3/108, no.730

[4] HR. Al-Bukhari, kitab ash-Shaum, bab : Shaum ash-Shibyan 1824, Muslim, kitab ash-shiyam , bab : Man Akala Fii Asyura Fal Yakuffa Baqiyyata Yaumihi 1919

[5] HR. Muslim, kitab Ash-Shiyam , bab : Jawazu Shaum an-Nafilah Bi-Niyyatin Min an-Nahaari 1950

[6] Bada-i’ ash-Shana-i’, al-Kaasaaniy, 2/996, Qawanin al-Ahkam, Ibnu Juzziy, hal. 35, Raudhatu ath-Tholibin, an-Nawawiy, 331, dan al-Mughniy, Ibnu Qudamah, 4/333.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *