Kembali
(Serial Kisah Pertaubatan, bag.4)
Bila engkau tinggal di dunia ini, engkau akan dikejutkan oleh kematian para kekasihmu
Namun kematian dirimu, meski aku berusaha untuk tidak mempedulikan, lebih mengejutkan bagiku
—
Seorang wanita terjatuh di atas lantai dan tak sadarkan diri.
Kejadian itu bukan untuk pertama kali. Ia mengalami goncangan jiwa yang berkepanjangan semenjak ia menikah beberapa tahun yang lalu.
Sebelumnya orang-orang menyatakan kepadanya bahwa calon suaminya itu adalah lelaki yang baik. Ia mempunyai kepribadian yang baik. Engkau akan mudah mempengaruhi dirinya agar mengejar ketertinggalan dalam persoalan agama dan agar ia selalu menjaga shalat jama’ah.
Wahai putriku, sesungguhnya adik perempuanmu sudah lebih dahulu menikah daripadamu. Aku yakin, inilah yang terbaik bagimu.
Ibuku turut menyokong dengan menyatakan bahwa lelaki yang melamar ini adalah orang yang berada dari kalangan keluarga yang baik dan pekerjaannya bagus.
Berbagai manifestasi yang serba wah itu sama sekali tidak perlu buat diriku.
Aku hanya menanyakan tentang agamanya. Semua itu tidak berguna buat diriku. Aku hanya menginginkan seorang lelaki yang shaleh, yang membantuku berbuat kebajikan dan taat kepada Allah. Karena lelaki semacam itu, bila mencintaiku, pasti akan memuliakan diriku. Kalau tidak ia akan melepaskan diriku dengan cara yang baik. Betapa sering kita mendengar kisah-kisah yang mengharukan ketika suami menzhalimi istrinya dan percekcokan yang terjadi di antara mereka, akibat jeleknya akhlak dan agama mereka.
Aku memimpikan seorang suami yang akan membangunkan diriku untuk shalat di tengah malam.
Aku juga berdoa kepada Allah di tengah malam dengan berlinang air mata, agar menganugerahkan kepadaku seorang suami yang menolongku berbuat ketaatan dan hidup bersamanya dalam keridhaan Allah, berjalan seiring menuju kepada Allah, mengikuti jejak Rasulullah dan para sahabat beliau yang mulia.
Aku memimpikan seorang lelaki yang akan mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islam yang benar.
Seolah-oleh aku sedang berdiri di depan pintu memandangi suamiku itu bersama anakku menuju masjid. Aku membayangkan seandainya suara suamiku mengetuk telingaku ,”Berapa juz al-Qur’an yang sudah engkau hafal ? Berapa juz pula yang sudah engkau baca ?” Aku membayangkan seandainya aku bersama anakku yang masih kecil berdiri di hadapan Ka’bah sambil berdoa. Aku akan melahirkan sebanyak-banyaknya keturunan, selama itu memberi pahala buat diriku.
Aku akan melahirkan ke dunia ini seorang anak yang akan bertauhid kepada Allah. Semakin lama aku membayangkn hal itu, selama itu pula aku merasakan nikmat dengan mimpi-mimpi tersebut.
Bagaimanapun, segala puji bagi Allah. Aku berharap pahala dan bersabar terhadap suamiku ini. Pada awalnya, seolah-olah ia adalah orang yang rajin shalat. Seiring dengan berjalannya waktu, tampak ia amat berat melakukan shalat.
“Apa yang engkau inginkan ?” Tanyanya. “Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” “Aku mau shalat,” jawabku. “Waktu masih sangat pagi sekali.” Demikian dengan cepat ia memberi tanggapan bila aku membujuknya untuk melakukan shalat berjamaah agar ia tidak meninggalkannya. Aku merasa bahwa ia akan berubah dengan desakanku untuk mencari yang lebih utama. Paling tidak, itulah optimisme diriku.
Aku sungguh khawatir terhadap teman-temannya yang jahat. Suamiku pernah menceritakan kepadaku sebagian di antara mereka. Aku memikirkan satu cara yang mungkin lebih berpengaruh daripada sekedar nasehatku saja.
Kenapa aku tidak memperkenalkannya kepada seorang pemuda shalih, agar ia bisa terpengaruh olehnya ? Suami teman wanitaku adalah seorang pemuda yang baik, konsekwen dalam Islam dan insya Allah juga orang yang shaleh. Aku segera menelpon teman wanitaku itu dan ia pun segera menyambut baik buah pikiranku tersebut, bahkan turut memberi dorongan kepada suaminya. Akhirnya temanku datang berkunjung bersama suaminya.
Hatiku sungguh berbunga-bunga. Semoga Allah menanamkan rasa cinta pada diri suamiku kepadanya. Semakin lama waktu kunjungan mereka, semakin berdetak jantungku dibuatnya.
Aku kembali dan menemuinya dengan tergesa. Aku duduk dan menekankan jari-jari tanganku dengan kuat. Menanti ia mengucapkan sesuatu. Aku memandangi kedua belah matanya. Ia berkata, “Ia orang yang lembut dan baik hati sekali.” Namun suamiku tampaknya tidak juga bersemangat untuk bertemu dengan mereka dan pergi mengunjungi mereka, sebagaimana janjinya untuk membalas kunjungan mereka.
Aku sudah berusaha dengan berbagai cara dan jalan, untuk membantunya agar tetap shalat berjamaah di masjid. Sekarang tekadku semakin bertambah, setelah melahirkan anak baginya. Aku menghabiskan waktu malam yang panjang seorang diri bersama anakku. Aku terus mendoakan dirinya agar mendapatkan hidayah.
Aku sengaja melakukan shalat malam di kamar kami, di sisinya. Dengan harapan semoga Allah memberi hidayah kepada hatinya. Terkadang dia terbangun dan melihatku shalat. Pada waktu siang, kulihat ia terpengaruh juga oleh shalatku dan lamanya shalatku itu.
Sore harinya, ia memintaku untuk menyiapkan pakaian-pakaiannya, karena ia akan bepergian ke suatu kota untuk urusan bisnis. Aku tidak bisa membedakan apakah ia berkata jujur atau sebaliknya. Umumnya, bila ia bepergian, ia tidak pernah menghubungi kami. Terkadang ia memang menelpon dan meninggalkan nomer kamar tempatnya menginap dan nomer telponnya. Bila ia menghubungi, aku akan tahu di mana ia berada. Namun, seringnya aku tidak mengetahui ke mana ia pergi. Hanya saja aku tetap berprasangka baik kepadanya sebagai seorang muslim.
Selama perjalanannya, aku mengkhususkan doa untuknya. Di hari kedua perjalanannya, ia menelpon kami,”Ini nomer telponku.” Alhamdulillah, aku merasa tenang karena ia masih berada di Kerajaan Saudi Arabia. Selama tiga hari kemudian, tidak ada terdengar lagi suaranya. Namun pada hari keempat, kembali terdengar suaranya, namun aku hampir tidak mengenalinya. Suara yang mengandung kedukaan. “Apa yang menimpamu ?!” Tanyaku. “Aku akan kembali malam ini juga, insya Allah. ” Jawabnya.
Pada malam setelah kerdatangannya, aku tidak dapat tidur karena ia menangis terus menerus. “Sebenarnya apa yang terjadi denganmu ?” Ia menangis seperti anak kecil. Akupun akhirnya ikut menangis, sementara aku tidak mengetahui apa yang terjadi dangannya. Beberapa saat kemudian, ia terdiam lama, lalu memandangku, sementara air matanya jatuh berderai…
Ia mengusap air matanya yang terakhir, kemudian ia bercerita, “Mahasuci Allah, seorang teman kerjaku…kami pergi bersama-sama untuk menyelesaikan sebagian pekerjaan kami. Kami tidur di dua kamar yang saling bersebelahan, dan hanya dibatasi oleh sebuah tembok. Sore itu kami makan bersama. Di hadapan meja hidangan, kami terlibat pembicaraan. Kami banyak tertawa dan sama sekali tidak punya keinginan untuk tidur. Kami berjalan-jalan di tempat perbelanjaan selama dua jam dengan berjalan kaki dan tanpa berhenti, sementara mata kami tidak terpejam dari pandangan-pandangan yang haram.
Kemudian kami kembali dan berpisah ke kamar masing-masing dengan niat untuk kembali menyelesaikan pekerjaan keesokan harinya. Aku tertidur dengan nyenyak. Aku shalat Subuh pada pukul setengah delapan. Kuhubungi temanku lewat telepon untuk membangunkannya, namun tidak ada jawaban. Aku mengulanginya lagi, kerena kemungkinan ia sedang di kamar mandi. Aku meminum segelas susu yang sudah tersedia. Kemudian aku menelponnya sekali lagi, namun tidak ada jawaban.
Hari sudah menunjukkan pukul delapan. Kami sudah terlambat dari jam kerja yang ditetapkan. Aku mengetuk pintunya, namun tidak ada jawaban. Aku segera menghubungi bagian informasi hotel, kalau-kalau ia sudah keluar. Namun mereka mengatakan bahwa ia masih ada dalam kamarnya. Kami harus membuka pintu untuk melihatnya.
Keadaan tampaknya mengkhawatirkan. Mereka mengeluarkan kunci cadangan kamar itu. Kami pun memasuki kamar. Ternyata ia tertidur. “Hai Shalih”, panggilku. Aku mengulang memanggilnya. Aku mengeraskan suaraku lagi sambil mendekatinya. Ia tidak bergerak sama sekali.
Hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa ia sudah meninggal sejak semalam akibat serangan jantung mendadak. Kemana kesehatannya selama ini ? Kebugarannya, masa mudanya ? Tadi malam kami baru saja berjalan-jalan, ia tidak mengeluhkan sakit apa pun. Tidak ada penyakit, dan tidak ada keluhan apa pun. Aku kembali memikirkan. Ini adalah kematian mendadak yang tidak diketahui kapan akan datang. Bahkan terkadang tanpa tanda-tanda.
Aku bertanya kepada diriku sendiri, “Mengapa bukan aku yang bernasib seperti Shalih ? Apa bekalku untuk menghadap Allah ? Mana amalanku ? Tidak ada sama sekali. Aku segera menyadari bahwa aku telah melalaikan hak-hak Allah. ”
Suamiku terdiam, lalu ia menangis dan aku pun ikut menangis. Kami menangis bersama-sama. Aku memuji Allah atas hidayah tersebut. Setelah itu kami betul-betul merasa hidup bahagia, sebagaimana yang aku mimpikan, atau lebih baik dari itu…
Seminggu kemudian…
Suamiku amat berterima kasih kepadaku, karena semangat dan usahaku untuk membimbingnya. Ia menyatakan bahwa insya Allah kami akan pergi menjalankan umrah dan tinggal di Makkah pada akhir pekan, untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan kami dengan komitmen penuh. Hampir saja aku terbang kerena riangnya. Sejak menikah, aku belum pernah pergi ke Makkah.
Pada waktu Dhuha hari itu juga, aku berangkat ke tanah haram …jumlah orang sedikit, karena kala itu musim panas sehingga tidak begitu ramai. Allah telah mengabulkan apa yang selama ini aku impikan.
Bersama anakku, aku berdiri di depan Ka’bah, namun aku tidak mampu mendoakannya, karena aku terus menangis dan menangis, sehingga hatiku serasa terputus…
Keesokan harinya. Hari ini, insya Allah aku melakukan thawaf wada’ dan pergi meninggalkan al-Haram untuk siap-siap pergi.” Apa yang engkau bawa ?” Ternyata kitab Ibnu Rajab, Jami’ al-Ulum Wa al-Hikam, kitab Ibnul Qayyim, Zaad al-Ma’ad Fii Hadyi Khair al-Ibad, juga al-Wabil ash-Shayyib oleh Ibnu Qayyim, yang lainnya Kitab al-Jawab al-Kafi Liman Sa-ala an Dawa asy-Syafi, ada pula mushaf al-Qur’an dengan ukuran kecil yang tidak pernah lepas dari sakuku…
Wahai kekasihku ! Inilah rambu-rambu jalan kita menuju Akhirat …
Ia terus mengulang-ulang Firman Allah berikut, sambil membawa tasnya,
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ . رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).”
(Qs. Ibrahim : 40-41)
Wallahu A’lam
Sumber :
“Az-Zaman al-Qaadim”, karya : Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim (ei, hal. 33-39).
Amar Abdullah bin Syakir