Sekilas Tentang Nasab dan Kehidupan Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam

(Sebelum diangkat menjadi Nabi dan sebelum menerima wahyu)

Pembaca budiman, bukan suatu yang asing ditelinga kita ketika kita mendengar “ Nabi Muhmmad shallallohu ‘alaihi wasallam “ disebutkan, karena siapapun tahu bahwa beliau adalah nabi terakhir yang diutus oleh Alloh azza wajalla sebagai rahmat bagi alam semesta,


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Qs.al Anbiya : 107)

Hanya saja, sangat boleh jadi ada atau bahkan banyak di antara kita yang tidak mengetahui tentang nasab dan kehidupan beliau sebelum pengangkatan beliau sebagai seorang nabi. Oleh karena itulah, berikut ini kami ingin berbagi dengan anda mengenai dua hal ini. Selamat membaca !

Dia adalah Muhammad putra Abdillah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Hakim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Al-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Iyas bin Mudhar bin Nazar bin Ma’di bin ‘Adnan dari suku Arab, sedang suku Arab adalah anak-cucu Nabi Ismail putra Ibrahim ’alaihis salam.

Ibunya adalah Aminah putri Wahab bin Abdi Manaf bin Zuhrah, sedangkan Zuhrah adalah saudara kandung kakek Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdullah ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengannya dan tinggal di rumah keluarga istri selama tiga hari, dan tidak lama kemudian ia hamil dan tidak merasakan beban dan tidak mengidam sama sekali semasa hamil sebagaimana biasanya wanita-wanita yang berbadan sehat.

Ketika sang ibu mengandungnya pernah bermimpi sebagaimana kita singgung di muka.

Nabi dilahirkan oleh ibunya dalam bentuk yang sempurna, tampan dan berbadan sehat. Ia dilahirkan pada tahun gajah bertepatan dengan tahun 571 Masehi.

Ayahnya meninggal dunia disaat Nabi masih di dalam kandungan ibunya. Kemudian ia dipelihara oleh kakeknya Abdul Muththalib dan sempat disusui oleh ibunya selama tiga hari, lalu kakeknya menyusukannya kepada seorang wanita bernama Halimah al-Sa’diyah.

Sudah menjadi tradisi bangsa Arab menyusukan anak-anak mereka kepada wanita-wanita di perkampungan, dimana faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan badan yang sehat terpenuhi di sana.

Halimah al-Sa’diyah pernah menyaksikan suatu keajaiban yang terjadi pada bayi manis ini, di antaranya ialah: Sesungguhnya Halimah datang ke kota Mekkah bersama suaminya dengan menunggangi seekor keledai kurus yang jalannya sangat lambat. Dan sekembalinya dari Mekkah Halimah meletakkan bayi (Muhammad) di pangkuannya sedangkan keledai berjalan dengan sangat cepat hingga meninggalkan binatang-binatang tunggangan lainnya di belakang, yang membuat setiap orang yang melintasi jalan tersebut keheran-heranan.

Halimah menceritakan bahwa payudaranya tidak dapat mengeluarkan air susu dan membuat bayinya selalu menangis kelaparan. Tetapi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetek padanya air susu keluar dengan deras hingga dapat menyusui anak kandungannya sendiri dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga keduanya kenyang.

Halimah juga menjelaskan tentang tandusnya tanah di perkampungannya, yaitu qabilah Bani Sa’ad. Namun setelah ia mendapat kehormatan menyusui bayi tersebut tanah di perkampungannya berubah menjadi subur dan banyak menghasilkan ternak dan kondisi berubah menjadi lapang dan penuh kemudahan setelah sebelumnya diselimuti oleh kesulitan dan kefakiran.

Setelah dua tahun kemudian Halimah membawanya kembali kepada ibu dan kakeknya di Mekkah, akan tetapi Halimah bersikeras meminta kepada ibu si kecil (Nabi) agar ia tetap bersamanya untuk kedua kalinya, karena merasakan berkah dari keberadaan si kecil bersamanya. Aminah pun akhirnya menyetujui permintaan Halimah. Halimah kembali ke kampung halamannya dengan si kecil itu dengan penuh riang gembira.

Setelah dua tahun berikutnya Halimah mengembalikan si anak kepada ibunya di Mekkah. Pada saat itu usianya sudah empat tahun. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diasuh oleh ibu kandungnya sendiri hingga sang ibu tercinta wafat pada saat Nabi baru berusia enam tahun.

Kemudian Nabi diasuh oleh kakeknya Abdul Muththalib selama dua tahun, lalu sang kakek wafat. Dan menjelang kematiannya kakek berwasiat kepada anaknya Abu Thalib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) agar mengasuh keponakan. Maka Abu Thalib pun mencurahkan perhatian kepadanya sebagaimana perhatiannya kepada keluarga dan anak-anaknya sendiri. Akan tetapi karena kefakirannya, ia hidup dalam kesederhanaan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah merasakan nikmatnya kemewahan. Barangkali itu semua merupakan perhatian (inayah) dari Allah kepada Nabi mulia ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah terbiasa menggembala kambing bersama saudara-saudaranya sesusuan tatkala berada di perkampungan Bani Sa’ad. Maka dari itu ketika berada di Mekkah ia mengembala kambing milik penduduk kota Mekkah dan dari upah mengembala ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari hingga tidak terlalu membebani pamannya dalam menafkahinya.

Kemudian ia pergi dalam perniagaan bersama pamannya ke negeri Syam pada saat usianya baru 12 tahun lebih 2 bulan 10 hari. Di sanalah Buhaira (seorang pendeta) melihatnya lalu memberikan khabar gembira kepada pamannya Abu Thalib dan menyuruhnya waspada akan penganiayaan orang-orang Yahudi terhadapnya setelah ia melihat tanda cap kenabian di antara dua pundaknya.

Kemudian untuk kedua kalinya Nabi pergi ke Syam untuk memperdagangkan harta benda Khadijah putri Khuwailid. Khadijah memberinya upah yang lebih dari yang biasa diberikan kepada orang lain, karena perniagaan itu membawa keuntungan yang berlipat lipat, bahkan datang dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Khadijah adalah sosok wanita tercerdas lagi paling sempurna pada suku Quraisy, hingga di masa jahiliyah ia dijuluki “al-Thahirah” (wanita suci), karena kehormatan, harga diri dan keutamaan-keutamaan lahiriah yang tampak pada kepribadiannya.

 Tatkala pembantunya Maisarah bercerita kepadanya tentang akhlaq mulia dan kepribadian luhur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memperhatikannya disaat kepergiannya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ke Syam dan tentang apa yang dikatakan oleh Buhaira (pendeta) kepada pamannya Abu Thalib pada kepergian pertamanya ke negeri Syam, maka Khadijah tertarik kepada Nabi dan berharap jika ia menjadi pendamping hidupnya. Khadijah adalah seorang janda yang ditinggalkan mati suaminya. Tak lama kemudian, pernikahan antara keduanya pun terlaksana. Nabi pada saat itu berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah mendekati 40 tahun.

Nabi tidak pernah menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup dan tidak ada yang lebih ia cintai seperti cintanya kepada Khadijah. Khadijah wafat sepuluh tahun sesudah kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi selalu mengenangnya, bersedekah atas namanya dan memberikan hadiah kepada teman-teman akrab Khadijah. Dia istri yang darinya Nabi dikaruniai seluruh anak-anaknya selain Ibrahim, karena Ibarahim adalah anak dari istrinya Mariyah al-Qibthiyah.

Demikianlah sekilas tentang nasab dan sejarah hidup beliau sebelum diangkat menjadi Nabi dan sebelum menerima wahyu. Allohu a’lam


Artikel : www.hisbah.net

Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net | Dakwah Al-Hisbah | Hisbah.Or.Id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *