Sedekah Paling Utama, Sedekah di Bulan Ramadhan ?

Pembaca yanng budiman…

Boleh jadi Anda sering mendengar pernyataan ini dari para  pencerramah :

أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ

Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan (al-Hadis)

  • Derajat Hadis : Lemah

Dengan redaksi yang ringkas ini, diriwayatkan oleh al-Khathib di dalam tarikhnya (13/315), Ibnul Jauziy di dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyah [sebagaimana disebutkan di dalam Talkhiish al-Waahiyaat (hal. 175), dengan no. (499)] dari jalur : Shadaqah bin Musa dari Tsabit dari Anas, beliau memarfu’kannya (kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dengan redaksi yang cukup panjang di dalam Sunannya (3/51-52) (663), demikian juga al-Baihaqiy di dalam asy-Syu’ab (3/377) (3819) dari jalur periwayatan : Shadaqah bin Musa dari Tabit dari Anas, ia berkata : [Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah ditanya, “ puasa apakah yang paling utama setelah puasa Ramadhan ?, beliau pun menjawab “ (puasa di bulan) Sya’ban untuk mengagungkan Ramadhan “ , dikatakan kepada beliau : lalu kapankan sedekah yang paling utama ? beliau menjawab : sedekah (yang dilakukan) di bulan Ramadhan]. Redaksi ini milik imam at-Tirmidzi.

Sebab kelemahan hadis ini adalah karena seorang perowi yang bernama Shadaqah bin Musa. Dia adalah Shadaqah bin Musa ad-Daqiqiy, berkunyah Abu al-Mughirah atau Abu Muhammad as-Sulamiy al-Bashriy.

Yahya bin Ma’in berkomentar tentang beliau seraya berkata : Laisa bi Syai-in. Beliau juga berkata pada kesempatan yang lain : dha’if (lemah). Dan, imam an-Nasai berkata : Dha’if (lemah)

Ibnu ‘Adiy berkata : sebagian hadis-hadisnya termasuk yang dapat dikuatkan, dan sebagian yang lainnya tidak dapat dikuatkan.

Abu Hatim berkata : Layyinul Hadits, hadisnya ditulis namun tidak dijadikan sebagai hujjah. Laisa bi qawiyy (bukan seorang perowi yang kuat)

Ibnu Hibban berkata : beliau seorang yang shaleh hanya saja bahwa meriwayatkan hadis bukan merupakan kapabilitasnya, kala meriwayatkan beliau membolak-balikan berita hingga keluar dari batas dijadikan hujjah.

Demikian pula Abu Dawud, an-Nasa-i dan ad-Daulabiy melemahkannya.

Imam at-Tirmidzi di dalam sunannya berkata : Laisa ‘indahum bi-dzaaka al-Qowiyy.

Abu Ahmad al-Hakim berkata : Laisa bil-Qowiy ‘Indahum.

Al-Bazzar berkata : Laisa bil-Haafizh ‘Indahum. Pada kali yang lain, ia berkata, “ Laisa bihi ba’sun

Saya katakan : al-Jarh Muqaddamun ‘Ala at-Ta’diil.

as-Saji berkata : Dha’iiful Hadiits.

Al-Hafizh di dalam at-Taqriib berkata, “ Shaduuqun Lahu Auhaam[1]  

Perkataan al-Hafizh “Shaduuq” dibawa kepada al-‘Adaalah dan hal tersebut karena beliau mengikuti ungkapan tersebut dengan perkataannya,”Lahu Auhaam”. Adapun tentang al-‘Adaalah, maka tidak ada isykal dalam hal tersebut padanya, adapun adh-Dhabthnya lemah menurut al-Hafizh, dan tidak ada keraguan padaku dalam hal itu.

Dan di antara hal yang menunjukkan bahwa “ash-Shidq” di sini dibawa maknanya kepada al-‘Adaalah adalah perkataan Ibnu Hibban yang lalu, ketika dia berkomentar tentang Shadaqah ini :  beliau seorang yang shaleh hanya saja bahwa meriwayatkan hadis bukan merupakan kapabilitasnya …

Hadis ini dilemahkan pula oleh imam at-Tirmidzi di dalam Sunannya (3/52), beliau berkata setelah menyebutkan takhrij hadis ini, “ ini hadis gharib, perowi yang bernama Shadaqah bin Musa laisa ‘Indahum bi-Dzaakal Qawiyy. ”

Perkataannya, “ghariib”, yakni, dha’if (lemah). Imam as-Suyuthiy menyatakan kelemahannya, sebagaimana disebutkan dalam Faidhul Qadiir (2/50)

Ibnul Jauziy mengatakan : (Hadis) Ini tidak valid, di dalamnya ada seorang perowi bernama Shadaqah bin Musa [2] . Imam adz-Dzahabiy menganggapnya cacat di dalam Talkhiishnya terhadap kitab al-Waahiyaat (hal. 175)  karena ada seorang perowi bernama Shadaqah ini.

Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albaniy juga melemahkan hadis ini di dalam Dha’if Sunan at-Tirmidzi (hal. 75) (104) dan di dalam Irwa-ul Ghalil (3/397) (889), dan mengatakan : al-Munzhiri di dalam at-Targhiib mengisyaratkan kepada kelemahan hadis ini [3]

Dan dalil yang menunjukkan kelemahan hadis ini adalah bahwa pada sebagian matannya terdapat bentuk nakarah. Yaitu perkataannya : puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan ?, Nabi menjawab : (puasa di bulan) Sya’ban untuk mengagungkan Ramadhan. Tambahan dan riwayat ini diriwayatkan secara menyendiri oleh seorang perowi yang lemah-yang saya maksud adalah Abul Mughiirah Shadaqah bin Musa- menyelisihi hadis yang shahih yaitu yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Seutama-utama puasa setelah puasa Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah al-Muharrom dan seutama-utama shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam [4]

Wallahu a’lam

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Tahdziir al-Khillaani Min Riwaayati al-Ahaadiitsi Adh-Dha’iifah Haula Ramadhan, (Hadiitsu ad-Du’a ‘Inda al-Ifthar), karya : Abu Umar Abdullah Muhammad al-Hamaadiy (Penasehat Utama di Kementrian Keadilan, Urusan Islam dan Wakaf, Uni Emirat Arab), Penerbit : Daar Ibnu Hazm (hal.106-107)

[1] Lihat, al-Kamil (5/118-122), al-Jarh Wa at-Ta’diil  (5/432), al-Majruuhiin (1/373), Tahdziibu at-Tahdziib (4/43), Taqriibu at-Tahdziib (hal. 452), al-Miizaan (3/428), Sunan at-Tirmidzi (3/52)

[2]  Dinukil dari Faidhul Qadiir, (2/50)

[3] Dan beliau menyebutkan beberapa referensi selain yang telah saya sebutkan, referensi-referensi tersebut merupakan hal yang sangat berharga.

 

[4]  Diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam shahihnya, no. 116, di dalam kitab ash-Shiyam, bab : Fadhlu Shaum al-Muharrom, Abu Dawud (2/335), (2429), at-Tirmidzi (3/117) (740), Nasai (3/229) (1612) dan yang lainnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *