Sebaik-baik Perkara adalah Pertengahan

Cemburu adalah watak bawaan dalam diri manusia. Rasa cemburu suami kepada istrinya menunjukkan kejantanannya, sedang cemburu istri kepada suaminya adalah sifat yang wajar bagi perempuan. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Namun, cemburu dapat dinilai negatif dan mengganggu jika berbuah curiga atau menyakiti pasangannya.

Hendaknya suami istri memperhatikan masalah ini. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan hanya karena cemburu. Keduanya juga wajib menghindari apa pun yang dapat mengundang rasa cemburu, apalagi sengaja untuk itu. Di waktu yang sama rasa cemburu juga wajib dijaga secara objektif, terutama kecemburuan laki-laki terhadap istri, kehormatan, dan agamanya. Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللهُ وَمِنْهَا مَا يَكْرَهُ اللهُ, فَأَمَّا مَا يُحِبُّ اللهُ فَالْغَيْرَةُ فِي الرِّيْبَةِ, وَأَمَّا مَا يَكْرَهُ فَالْغَيْرَةُ فِي غَيْرِ رِيْبَةٍ

Cemburu ada yang Allah cintai, ada pula yang Allah benci. Adapun yang Allah cintai adalah cemburu karena cemas. Adapun yang Dia benci adalah cemburu tanpa ada rasa cemas (Shahih Ibnu Majah)

Cemburu karena cemas adalah tatkala seorang melihat salah satu mahramnya terjatuh dalam perkara haram, atau melihatnya di lokasi rawan fitnah. Ini termasuk cemburu terpuji yang suami istri dituntut untuk itu. Adapun cemburu tanpa ada kecemasan yaitu suami cemburu terhadap sesuatu yang tidak layak, seperti cemburu kepada putrinya saat bersama istrinya, atau saat melihat ibu mertua bersama istrinya, dan seterusnya. Termasuk cemburu yang tercela adalah istri merasa cemburu saat suami duduk bersama ibu mertua dan saudari-saudarinya, atau saat memberi perhatian kepada mereka.

Ada perbedaan mendasar antara cemburu dan curiga. Cemburu merupakan sifat wajar dalam diri seseorang, islam membolehkan bahkan menganjurkan, terutama bagi laki-laki untuk cemburu terhadap mahram-mahramnya serta agamanya. Adapun curiga, adalah penyakit hati yang mengakibatkan tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti yang jelas, atau hanya sebatas prasangka. Inilah yang menjadi sebab munculnya berbagai problematika rumah tangga yang sukar untuk dipecahkan.

Semoga Allah menyalamatkan kita semua darinya…amin

Wallahu A’lam

Sumber :

Dinukil dari “ Tis’un Wa Tis’una Fikrah li Hayah Zaujiyah Sa’idah”, karya : Dr. Musyabbab bin Fahd al-Ashimi (ei, hal. 153-154)

Amar Abdullah bin Syakir

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *