عَنْ سَلْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَكَانَ لَيْلَةَ الْبِنَاءِ ، فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ، وَلْيَأْمُرْهَا فَلْتُصَلِّ خَلْفَهُ رَكْعَتَيْنِ ، فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِي الْبَيْتِ خَيْرًا.
Dari Salman رَضِيَ اللهُ عَنْهُ berkata, bersabda Rasulullah ﷺ , “Apabila salah seorang kalian menikahi seorang perempuan maka pada malam (pertama) penggaulan, hendaklah shalat dua rakaat dan mengajak (istri)nya untuk shalat di belakangnya dua rakaat. Maka sungguh Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumah tangganya.”
Hadis dari Salman di atas hanya diriwayatkan oleh Al Bazzar (W.292) dalam musnadnya. Hadis ini berkualitas dha’if jiddan (lemah sekali) karena salah satu periwayatnya, yakni Hajjaj bin Furukh Al Wasithi memang dha’if. Al Dzahabi dan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani bahkan menilai hadis ini munkar jiddan.
Riwayat lain yang agak panjang mengenai tuntunan shalat dua rakaat adalah :
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ مَوْلَى أَبِي أُسَيْدٍ قَالَ تَزَوَّجْتُ وَأَنَا مَمْلُوْكٌ فَدَعَوْتُ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْهِمْ بْنُ مَسْعُوْدٍ وَأَبُوْ ذَرٍّ وَحُذَيْفَةُ قَالَ وَأُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ قَالَ فَذَهَبَ أَبُو ذَرٍّ لِيَتَقَدَّمَ فَقَالُوْا إِلَيْكَ قَالَ أَوْ كَذَلِكَ قَالُوْا نَعَمْ قَالَ فَتَقَدَّمْتُ إِلَيْهِمْ وَأَنَا عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ وَعَلِّمُوْنِي فَقَالُوْا إِذَا أَدْخُلَ عَلَيْكَ أَهْلُكَ فَصَلِّ عَلَيْكَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلِ اللهَ تَعَالَى مِنْ خَيْرِ مَا دَخَلَ عَلَيْكَ وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ شَرِّهِ ثُمَّ شَأْنُكَ وَشَأْنُ أَهْلِكَ
Dari Abu Sa’id mantan budak Abu Usayd berkata : “Saya menikah ketika saya masih budak. Lalu saya mengundang sekelompok sahabat Nabi ﷺ ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Hudzayfah, ia berkata : setelah shalat diiqomati, Abu Dzar pun bergegas untuk maju, lalu mereka berkata (pada Abu Sa’id) : “Kamu (yang lebih berhak) !” dan mereka menjawab : “Ya, benar!”. Ia berkata : Sayapun maju mengimami mereka padahal saya adalah seorang budak. Dan mereka mengajariku seraya berkata : “Jika istrimu datang menemuimu, maka shalatlah dua rakaat, kemudian mintalah (berdoalah) kepada Allah kebaikan istrimu dan minta pula perlindungan kepada-Nya dari keburukannya ! Selanjutnya terserah kamu dan istrimu.”
Riwayat dari Abu Sa’id maula Abi Usayd di atas hanya diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaybah (W.235H) dalam kitabnya : Mushannaf Ibn Abi Syaybah. Hadis ini berkualitas dha’if (lemah) karena semua sanadnya melalaui Abu Nadhrah dari Abu Sa’id maula Abi Usayd Malik bin Rabiah yang keduanya tidak jelas identitasnya.
Meskipun hadis ini dinilai shahih oleh Nashir Al Din Al Albani dengan alasan sudah biasa dilakukan para salaf, namun hadis ini bukanlah hadis marfu’, karena memang bukan Nabi ﷺ yang menganjurkan hal tersebut tetapi Abu Sa’id yang majhul yang menyandarkannya kepada para sahabat (mawquf). Oleh sebab itu, hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Riwayat yang hampir sama terdapat dalam Kitab Al Du’a karya Muhammad bin Fudlayl bin Ghazwan (W.195) yang menggabungkan menganjurkan shalat dua rakaat dilanjutkan dengan doa. Meskipun sebagian ulama ada yang mentsiqahkannya, bahkan Al Bukhari menggunakan Ibn Fudhayl (seorang Syi’i) ini sebagai periwayatnya, namun Abu Hatim Al Razi menilainya sebagai orang tua yang banyak kesalahannya dan bukan orang yang kuat hapalannya, sedang Ibn Sa’ad berkomentar bahwa sebagian ulama tidak berhujjah dengannya. Ini berarti, ada beberapa riwayat Ibn Fudlayl yang meragukan, khususnya hadis yang tidak popular di kalangan para ahli hadis, seperti hadis tentang tuntunan shalat dua rakaat ini. Hadis Ibn Fudlayl yang melalui Abu Al ‘Ala Al Musayyab bin Rafi’ Al Kufi (W.105) ternyata terputus (munqati’), karena menurut imam Ahmad dan Ibn Abi Hatim, ia tidak pernah mendengar hadis dari Ibn Mas’ud yang sudah wafat tahun 32 Hijriyah di Madinah. Sementara riwayat kedua yang melalaui ‘Ubaydah bin Ma’tab dari Ibrahim bin Yazid bin Qays Al Nakha’i (W.96H) pun tidak bisa dijadikan hujjah karena ‘Ubaydah ini sangat dla’if dan matruk hadisnya.
Sedang Ibrahim bin Yazid pernah satu kali digunakan oleh Al Bukhari sebagai pendukung (mutabi’) Al Sya’bi yang tsiqah, tetapi Abu Hatim dan Ali bin Madini mengatakan bahwa ia tidak bertemu dengan sahabat kecuali ‘Aisyah ketika ia masih kecil, itupun ia tidak meriwayatkan hadis dari beliau sehingga umumnya ulama tidak memuji hadisnya bahkan mendha’ifkannya. Melihat kelemahannya yang berganda, maka kedua hadis ini pun tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Tetapi ada riwayat Al Thabrani mengenai tuntunan shalat dua rakaat dilanjutkan dengan doa untuk keluarga yang disandarkan kepada Nabi ﷺ , yaitu :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ اِذَا دَخَلَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى زَوْجِهَا أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ فَتَقُوْمُ مِنْ خَلْفِهِ فَيُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيَقُوْلُ اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي اَهْلِي وَبَارِكْ لِاَهْلِي فِيَّ اَللَّهُمَّ ارْزُقْهُمْ مِنِّي وَارْزُقِي مِنْهُمْ اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَّعْتَ فِي خَيْرٍ وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ
Dari Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya Nabi ﷺ dulu pernah mengajari mereka ketika istri menemui suaminya agar membangunkan suaminya lalu berdiri di belakangnya lalu keduanya shalat dua rakaat, dan berdoa : “Ya Allah, berkahilah aku pada keluargaku dan berkahilah keluargaku pada aku. Ya Allah, karuniakanlah rezeki pada mereka dari aku, dan karunikanlah rezeki padaku dari mereka. Ya Allah kumpulkan kami apa yang telah Engkau kumpulkan dalam kebaikan, dan pisahkan kami jika Engkau pisahkan kepada kebaikan.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Al Thabrani dari Ibn Mas’ud. Menurut Al Haytsami (W.807) tidak seorang pun pernah menyebutkan hadis ini dari Ismail bin Ibrahim bin Mughirah (ayah imam Al Bukhari). Setelah meneliti Ismail bin Ibrahim beserta guru dan muridnya, memang penulis tidak menemukan bahwa ia pernah meriwayatkan hadis ini karena memang tidak mendengar hadis dari Ali bin Al Husayn (W.211) dan tidak pula meriwayatkan hadis kepada ‘Ali bin Sa’id.
Selain itu, meskipun ‘Atha bin Al Sa’ib (W.136H) pada awalnya tsiqah dan pernah satu kali digunakan Al Bukhari sebagai periwayat pendukung (mutabi’), tetapi ia mengalami ikhtilath (kekacauan hafalan) di akhir-akhir hidupnya. Para ahli hadis menyimpulkan bahwa semua riwayat hadis yang ia terima ketika hafalan belum kacau adalah shahih, sedangkan riwayat hadis yang diterima setalah hafalannya kacau khususnya ketika sampai di Bashrah maka hadisnya dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Periwayat yang menerima hadis sebelum ‘Atha bin Al Sa’ib mukhtalith, hanya tiga yakni : Sufyan Al Tsawri, Hammad bin Zayd, dan Syu’bah bin Al Hajjaj (W.165) selain dua hadis Syu’bah yang diterima dari Zadzdzan. Selain periwayat di atas—yakni setelah ‘Atha mukhtalith—termasuk periwayat hadis ini, adalah dla’if.
Sementara itu, guru sepuh ‘Atha bin Al Sa’ib yang bernama Abu ‘Abd Al Rahman ‘Abdullah bin Habib as-Sulami (W.74H), menurut pendapat Syu’bah yang dikutip Ahmad bahwa ia tidak mendengar hadis sedikitpun dari ‘Utsman dan ‘Abdullah bin Mas’ud. Hadis seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Wallahu A’lam
Sumber :
Etika Bercinta ala Nabi Sebuah Pendekatan Kritik Hadis, Syakir Jamaluddin, M.A, LPPI UMY, Cet.IV, Hal, 63-70.
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTV
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor