Syaikhul Islam Al Anshari Al Harawi, pemilik matan Manazil As Saairin, berkata
Realisasi taubat ada tiga perkara: (1) Memandang berat suatu dosa, (2) Merasa belum sempurna taubatnya, dan (3) Mencari cari alasan atas dosa yang dilakukan
Maksud dari pembahasan ini adalah hal hal apa saja yang menjadikan suatu pertaubatan dapat direalisasikan, sah dan dapat dibuktikan. Hal ini sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulullah ﷺ kepada Haritsah, “Masing masing hak punya konsekuensi untuk direalisasikan, lantas apa realisasi dari keimananmu.” [1]
Terkait memandang berat suatu dosa, apabila seseorang menganggap remeh dosa itu, tentunya anggapan ini tidak akan membuat dirinya menyesal. Maka dari itu, ketika seseorang membesar-besarkan nilai suatu dosa, ia akan menyesal karena telah melakukannya. Orang yang kehilangan uang 1 pilis [2], misalnya, tentu dia tidak akan menyesal kehilangan uang tersebut. Namun setelah ia tahu bahwa yang hilang itu ternyata 1 dinar ia sangat menyesal dan benar-benar merasa kehilangan. Demikianlah perumpamaannya.
Kemudian, memandang berat suatu dosa hanya akan terealisasi dalam tiga perkara: (1) Mengagungkan Dzat yang memerintah, (2) Menganggap besar (tidak menyepelekan) suatu perintah, dan (3) Yakin akan adanya balasan.
Sementara, merasa belum sempurna pertaubatannya merupakan hak taubat yang harus dipenuhi oleh orang yang bertaubat. Artinya, orang itu belum yakin apakah taubatnya sudah sesuai dengan yang diharapkan apa belum. Tujuannya adalah agar orang itu merasa cemas; jangan-jangan ia belum bertaubat dengan benar; jangan-jangan taubatnya itu tidak diterima ; dan jangan-jangan ia belum maksimal dalam taubatnya. Atau, jangan-jangan ia hanya taubat karena adanya penyakit yang tidak ia rasa, seperti taubatnya orang yang lagi butuh, taubatnya orang yang jatuh bangkrut, taubatnya orang yang mempunyai jabatan dan posisi di mata manusia. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, bisa jadi seseorang bertaubat untuk mencapai haal. Dengan demikian, taubatnya itu karena haal bukan karena Allah yang Maha Agung. Ada juga manusia yang bertaubat karena sulitnya berbuat dosa, atau sekedar membersihkan apa yang ditakutinya terkait harta, kehormatan, dan jabatannya. Atau, bisa jadi seseorang bertaubat karena dorongan untuk berbuat maksiat tidak begitu kuat di hatinya, atau syahwatnya yang padam, atau ia Bertaubat dari maksiat hanya karena mengharap rezeki dan ilmu. Masih banyak lagi penyakit hati yang lainnya yang membuat pertaubatan menjadi cacat sehingga taubat itu tidak murni karena takut kepada Allah, mengagungkan Dzatnya, menjauhi larangannya, takut terjatuh dari maqam yang telah dipijaknya, takut diusir oleh Tuhannya, dan takut terhijab dari memandang Dzatnya di negeri akhirat. Dengan demikian, taubatnya orang biasa dengan taubatnya orang orang yang mengidap “penyakit hati” tidaklah sama. Demikian juga taubatnya orang orang yang tingkatan spiritualnya sudah tinggi tidak sama dengan 2 tipe orang yang bertaubat sebelumnya.
Termasuk dalam kategori merasa taubatnya belum sempurna antara lain; lemahnya tekad, hati yang tertarik perbuatan dosa pada sesekali waktu, terkenang betapa manisnya melakukan dosa hingga pada tahap setiap kali ia berdesah saat itu juga hatinya bergetar.
Termasuk dalam ketegori merasa taubatnya belum sempurna antara lain ; adanya rasa ketenteraman hati dan percaya diri bahwa dirinya benar-benar bertaubat hingga pada taraf seolah-olah dirinya mendapatkan piagam jaminan keamanan. Inilah pertanda kalau pertaubatannya itu masih disangsikan. Kemudian, tanda-tanda lain dari taubat yang disangsikan keabsahannya antara lain ; hati yang membatu, lengah dan tidak ada peningkatan amal shaleh setelah bertaubat.
Dengan demikian, taubat yang benar dan sah adalah taubat yang ditandai dengan ciri ciri berikut ini.
Pertama, menjadi lebih baik daripada sebelum bertaubat.
Kedua, rasa cemas terhadap azab dan murka Allah ﷻ yang selalu menyertainya.
Ketiga, hati yang tidak lagi menginginkan perbuatan dosa serupa dan jasad berhenti total dari dosa tersebut akibat rasa sesal dan cemas.
Keempat, hancurnya hati yang tidak dapat diserupakan dengan apa pun.
Pembaca yang Budiman. Mengenai penjelasan keempat poin ini, anda dapat melihat dan membacanya pada artikel yang berjudul “Tanda Taubat Yang Benar”.
Demikian. Wallahu A’lam
Sumber :
At Taubatu Wal Inabah, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pentahqiq : Dr. Muhammad Umar Al Hajj (ei, hal.13-14)
Amar Abdullah bin Syakir
[1] Sabda ini dicapkan Rasulullah kepada Harits bin Malik. Namun ada juga yang bilang, beliau mengucapkannya kepada Haritsah ibn Nu’man. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak (Kitab Az Zuhd, hadis no. 106) dari Ma’mar dari Shalih bin Mismar. Berikut ini redaksi hadis selengkapnya :
Rasulullah bertanya : “Hai Harits, bagaimana kabarmu?” Haris menjawab, “Aku menjadi seorang yang benar-benar mukmin. “Rasulullah bertanya lagi, “Masing-masing hak punya konsekuensi untuk direalisasikan, lantas apa realisasi dari keimananmu?” Harits menjawab, “Aku memerangi nafsu keduniawianku. Aku terjaga di tengah malam dan kehausan di siang bolong. Seolah olah aku melihat singgasana Tuhanku. Seolah-olah aku melihat Surga yang penghuninya menziarahi satu sama lain. Juga, seolah-olah aku mendengar lolongan penghuni neraka.” Maka Rasulullah berkata, “Itulah seorang mukmin yang hatinya diterangi nur dari Allah.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Bazzar (Majma’ Az Zawaid, jild 1, hal.57). Namun, Al Haitsami berkata, “Dalam sanad hadis ini terdapat Yusuf Ibn Athiyah yang riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah.”
Ath Thabrani juga meriwayatkan hadis ini dalam Al Kabir (Majma’ Az Zawaid, jild 1, hal.57). akan tetapi, dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah dan juga orang lain yang perlu diinvestigasi sehingga riwayatnya dapat dijadikan hujjah.
Abu Na’im, Ibnu Asakir, Al ‘Askari (Dalam Al Amtsal), dan Ibnu Najar juga meriwayatkan hadis ini (Kanz Al ‘Ummal, jil.13 hadis no. 36988, 36989, 36990, dan 36991)
Ibnu Hajar (Al Ishabah, jil. 1, hlm.289) berkat, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam kitab At Tafsir, juga Ibn Mandah dan Al Baihaqi dalam Asy Sya’b
[2] Mata uang pecahan dari dinar. Atau yang sekarang lebih kita kenal dengan istilah “Sen”. (Penj)