Setiap keluarga pasti pernah diterpa badai persoalan rumah tangga yang cepat berlalu bila tidak ada angin yang mengombang ambingkannya. Namun, kita dapati ada sebagian wanita yang bila menghadapi satu permasalahan, mereka langsung menyebarkannya di antara keluarga dan kawan-kawan dengan dalil berkonsultasi dan meminta pendapat. Atau, dengan alasan membuat jiwa plong dan mengurai beban. Ironisnya, saat menuturkan permasalahan tersebut, mereka memuntahkan semua sisi buruk suami yang terpendam di hati mereka-tentunya dengan menyembunyikan kebaikan-kebaikan suami-. Akibatnya, terbentuklah stigma negatif terhadap suami malang itu yang dapat menyebabkan kebencian keluarga dan kawan-kawan terhadapnya.
Bisa jadi kedua suami-isti ini kembali hidup rukun, tapi gambaran buruk suami tersebut tetap melekat dalam pikiran. Aku tak habis pikir, dapatkah wanita ini menjalani kehidupan normalnya dengan tulus setelah ia menyebarkan rahasia kehidupan rumah tangganya, dan setelah kehidupannya menjadi buah bibir masyarakat ?
Di sisi lain, sering berkonsultasi dan banyaknya pendapat yang diberikan terkait suatu problem, justru mempersulit pemecahannya. Sebab, setiap orang memberi saran berdasarkan logika semata, tanpa mempertimbangkan perasaan-perasaan yang menghubungkan antara suami dan istri.
Demikian pula, sering mengadu kepada orang lain dapat membuatnya jemu dan bosan pada si pengadu, disertai munculnya keraguan terhadap setiap cerita yang dituturkannya. Selain itu, kegemaran terkadang malah mengakibatkan si pengadu sebagai bahan tertawaan, menjadikan dirinya dan kehidupan rumah tangganya sebagai sumber lelucon dan alat untuk hiburan dan menghabiskan waktu. Belum lagi cemoohan yang diarahkan kepadanya saat ia tidak ada karena telah membocorkan rahasia-rahasia kehidupan rumah tangganya sendiri; juga menudingnya bodoh, tolol, dan tidak pandai menjaga kehormatan, serta kesucian rumah tangga.
Adakalanya problem menjadi jauh lebih rumit bila permasalahan ini diceritakan kepada ibu dan ayahnya ketika ia sedang marah-marahnya dan dalam kondisi emosi yang menyala-nyala. Pasalnya, perasaan sebagai orang tua tak akan tahan melihat anak perempuannya tersakiti. Maka, perasaan ini mendorong orang tua melakukan perlawanan kepada si suami dan berdiri di hadapannya dengan wajah sangar demi membebaskan si putri.
Betapa banyak wanita yang hanya bisa menggigit jari penyesalan karena telah mengizinkan orang lain mencampuri kehidupan rumah tangganya. Di bawah ini kisah seorang istri yang menjadi contoh dalam hal kebahagiaan rumah tangga dan pergaulan baik dengan suami. Hanya saja suatu hari ia bertindak salah ketika ia telibat pertengkaran dengan suaminya lantaran permasalahan yang sepele. Namun, emosi telah menguasai kedua orang ini hingga tak ada yang mau mengalah. Maka, api pertengkaranpun berkobar membakar segalanya sampai mendorong si istri yang sedang dibakar emosi ini menelpon ayahnya yang segera datang, sementara tangisan putrinya telah menukilkan sepasang telinganya dan air matanya terbayang mengalir sederas sungai.
Si ayah melangkah cepat menuju rumah putrinya dengan murka yang meluap-luap. Perasaan sebagai orang tua bergemuruh penuh emosi di dalam dadanya. Kedua orang yang masih terhubung persaudaraan ini pun bertemu. Masing-masing tersulut amarah hingga jalinan persaudaraan di antara keduanya terbakar. Sedangkan di dalam kamarnya, si wanita telah tersadar dari mabuk amarahnya. Tetapi sayang nasi terlanjur menjadi bubur. Ia berdiri di hadapan suami dan ayahnya, terbengong-bengong dengan kesudahan menyakitkan yang tak pernah terbesit dalam hatinya ; perceraian. Dan, lima anak yang tak tahu menahu permasalahan ini menjadi korbannya.
Ada tipe wanita yang suka melaporkan berbagai permasalahn, dari yang kecil hingga yang besar, kepada ibunya hingga ia menjadi laiknya mesin yang dijalankan dengan remot ibunya. Ia tidak sanggup melakukan sesuatu apapun kecuali setelah minta pendapat ibunya. Seolah-olah kehidupannya adalah kehidupan ibunya, bukan kehidupan pribadinya. Wanita seperti ini tak mengerti bahwa suami ingin menjalin kehidupan dengan istrinya dan berinteraksi dengan pikiran-pikiran istrinya, bukan pendapat-pendapat ibu mertua. Tindakan ini salah satu faktor utama yang menyebabkan suami lari menghindari rumah.
Wanita yang berakal adalah wanita yang sanggup menjaga rapat rahasia-rahasia kehidupan rumah tangganya dan berupaya memecahkannya bersama suami, jauh dari mata-mata yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tetapi bila kondisi genting dan semua langkah pemecahan sudah habis, ia boleh mendiskusikan permasalahan dengan kawan dekat yang dipercaya memiliki kualitas agama, akhlak dan amanah yang baik, perpengalaman, dan kaya ide-ide solutif. Ia bisa mengkonsultasikan problem tersebut kepadanya. Sebaiknya, ia menyampaikan problem tersebut dengan ungkapan problem “si fulan”, tanpa menyebutkan identitas dirinya.
Wallah A’lam
Sumber :
Dinukil dari, “Ya Ma’syaran Nisa’ Rifqan bir Rijal“, Dr. Najah binti Ahmad Zhihar, ei, hal. 44-47
Amar Abdullah bin Syakir