Pujian Teruntuk Imam Ahli Tauhid Nabi Ibrahim Alaihissalam

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim رَحِمَهُ اللهُ berkata dalam bukunya, Miftahu Dar as-Sa’adah, halaman 147. Bab: keutamaan ilmu, bahwa sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  memuji Ibrahim kekasihnya dengan firman-Nya

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ١٢٠ شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  ١٢١

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. (Qs. an-Nahl : 120-121)

Di sini terdapat empat macam pujian. Allah memulainya dengan pujian, bahwa dia adalah Ummah yaitu suri tauladan yang diikuti. Ibnu Mas’ud berkata, “al-Ummah adalah pendidik kebaikan”. Kalimat itu mengikuti wazan Fu’lah dari al-‘Itimam, seperti al-Qudwah yaitu yang dijadikan suri tauladan.

Perbedaan antara al-Ummah dan al-Imam ada dua segi :

Pertama, Imam adalah setiap sesuatu yang diikuti, baik dengan tujuan dan perasaannya atau tidak. Di antaranya, jalan juga disebut imam. Seperti firman Allah

وَإِنْ كَانَ أَصْحَابُ الْأَيْكَةِ لَظَالِمِينَ ٧٨ فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُبِينٍ  ٧٩

Dan sesungguhnya adalah penduduk Aikah itu benar-benar kaum yang zalim maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota itu لَبِإِمَامٍ مُبِينٍ (benar-benar terletak di jalan umum yang terang) (al-Hijr : 78-79) Maksudnya, dengan jalan yang jelas yang tidak samar bagi yang melaluinya. Sementara jalan itu tidak disebut “Ummah”.

Kedua, Ummah mengandung unsur tambahan dari segi makna, yaitu yang memuat sifat kesempurnaan dalam ilmu dan amal, yang tinggal satu-satunya dalam sifat itu, dan yang mengumpulkan sifat-sifat yang terpencar pada selainnya. Seakan akan ia paling tampak karena terkumpulnya sifat itu padanya, terpencar dan tidak ada pada selainnya. Lafazh Ummah memberikan arti seperti ini, karena di dalamnya ada huruf “mim” yang terulang yang menunjukkan penggabungan makhraj dan pengulangnya. Demikian pula dhammah di awalnya, karena dhammah dari wawu begitu juga makhrajnya.

Maka, dia itu digabung ketika diucapkan. Kemudian ada huruf “ta” yang menunjukkan persatuan, seperti al-Ghurfah dan al-Luqmah. Dalam sebuah hadis dinyatakan, “Sesungguhnya Zaid bin Amr bin Nufail dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan ummah dengan sendirinya.” Maka penggabungan dan pengumpulan adalah satu kesatuan dalam arti al-Ummah. Bukti yang lain, umat disebut umat yang merupakan satu kesatuan dari umat-umat, karena mereka adalah manusia yang berkumpul atas satu agama atau satu masa.

Ketiga, firman Allah “Senantiasa patuh kepada Allah (Qaanitin) ” Ibnu Mas’ud berkata, ‘al-Qaanit’ adalah yang taat. Sedangkan al-Qunut ditafsiri dengan banyak penafsiran dan semuanya kembali kepada langgengnya ketaatan.”

Keempat, Firman Allah “dan menghadapkan diri (hanya kepada Allah) (haniifan). Al-Hanif adalah orang yang menghadap kepada Allah. Makna ini mengharuskannya berpaling dari selain-Nya, dan keberpalingan itu menunjukkan arti hanif bukan karena ia diletakkan secara bahasa.

Kelima, “Lagi yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah.” Syukur kepada nikmat-nikmat adalah berdiri di atas tiga dasar; mengakui kenikmatan, menyandarkannya kepada yang memberi nikmat dan membelanjakannya dalam hal yang Dia ridhai dan beramal sesuai dengan kewajibannya. Maka seorang hamba tidak disebut bersyukur kecuali dengan tiga hal ini.

Yang dimaksud disini adalah bahwa Allah memuji kekasih-Nya dengan empat sifat yang semuanya kembali kepada ilmu, amal yang diwajibkan, mengajarkannya dan menyebarkannya. Dengan demikian, kesempurnaan adalah kembali kepada ilmu, mengamalkannya, mengajarkan, dan menyebarkannya.

Dikatakan dalan Qurratu al-Uyun : al-Imad bin Katsir رَحَمَهُ اللهُ berkata, Allah memuji hamba, utusan, dan kekasih-Nya Ibrahim sebagai imam orang-orang hanif, karena dia terlepas diri dari orang-orang musyrik, dari agama Yahudi, Nasrani dan Majusi. Sedangkan “al-ummah” yaitu pemimpin yang dicontoh, dan “al-Qanit” yaitu yang khusyu’ dan taat, dan “al-Hanif” yaitu yang berpaling dengan sengaja dari kemusyrikan menuju tauhid.

Untuk itu Allah berfirman

وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Dan sama sekali ia tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik (kepada Allah).

Mujahid berkata, “Ibrahim adalah Ummah, maksudnya beriman seorang diri, sedangkan orang-orang waktu itu kafir. Aku berkata, “Masing-masing dari dua pendapat tersebut adalah benar, karena Ibrahim seperti itu. Pedapat Mujahid-Wallahu A’lam- ketika Ibrahim seperti itu pada masa permulaan dakwahnya, kenabiannya dan risalahnya, maka Allah memujinya karena dia berlepas diri dari orang-orang musyrik, sebagaimana Allah berfirman

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا ٤١ إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا  ٤٢

Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? (Qs. Maryam : 41-42) dan seterusnya.

Juga firman Allah

وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ ٨٣ إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ  ٨٤

Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh) (lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci (Qs. ash-Shaffat : 83-84) dan seterusnya. Wallahu A’lam

Ini adalah permulaan dakwahnya dan pada waktu itu tidak ada orang muslim di muka bumi selain dia, dan tentang itu ada hadisnya.

Firman Allah

وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)

Ibrahim telah berpisah dari orang-orang musyrik dengan hati, lisan dan anggota badan, menginkari kemusyrikan mereka kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya, dan memecahkan berhala-berhala serta bersabar terhadap apa yang menimpanya karena Dzat Allah. Inilah pengamalan tauhid yang merupakan dasar dan inti agama.

Sebagaimana firman Allah ta’ala

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِي

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam (Qs. Al-Baqarah : 131)

Anda banyak menjumpai orang yang mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ   dan mengaku Islam, namun ia melakukan syirik kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya dengan cara berdoa kepada yang tidak memberi bahaya dan tidak memberi manfaat dari orang-orang yang sudah meninggal, yang tidak ada (ghaib), thaghut, jin, dan lain-lainnya. ia mencintai dan membela mereka, takut dan berhadap terhadap mereka, mengingkari orang yang mengajak kepada beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan beribadah kepada selain-Nya, menuduh bahwa itu adalah bid’ah yang sesat, memusuhi orang yang mengamalkannya dan mencintainya, memusuhi orang yang mengingkari syirik dan membencinya, dan sebagian mereka tidak menganggap bahwa tauhid adalah ilmu dan tidak memperdulikannya kerena kebodohan tentangnya dan tidak ada cinta kepadanya. Maka hanya Allah yang memberi pertolongan.

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

 

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *