Puasa Sarana Pengampunan Dosa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ–صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: “مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” [رواه البخاري ومسلم].

Dari Abu Huroiroh-radhiyallohu ‘anhu- bahwa Rosululloh -shallallohu ‘alaihi wasallam- bersabda, “barangsiapa berpuasa Romadhan karena iman dan mengharapkan pahala (dari Allah) niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu (HR. al-Bukhori dan Muslim) [1]

*                      *                      *

Hadis ini menunjukkan keutamaan puasa Romadhan dan besarnya pengaruhnya di mana ia termasuk sebab diampuninya dosa dan penghapusan berbagai macam keburukan.

Dan diriwayatkan pula dari Abu Huroiroh-radhiyallohu ‘anhu-, dari Rosululloh -shallallohu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

“اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ”.

Sholat lima waktu, jum’at ke jum’at berikutnya, Romadhan ke romadhon berikutnya, adalah penghapus kesalahan yang terjadi antara kedunya sepanjang dosa-dosa besar dijauhi [2]

Nas-nas yang ada menunjukkan bahwa pengampunan dosa yang dijanjikan dipersyaratkan 3 hal :

Pertama, seseorang berpuasa Romadhan berdasarkan keimanan, yakni : keimanan kepada Alloh dan rosulNya, dan membenarkan kewajiban puasa dan apa-apa yang Alloh ta’ala janjikan bagi orang-orang yang berpuasa berupa pahala yang besar.

Kedua, seseorang berpuasa dalam rangka ihtisaban, yakni : mencari pahala dan ganjaran (dari Allah), yaitu dengan melakukannya penuh dengan keikhlasan untuk wajah Alloh ta’ala, tak ada unsur riya, bukan karena ikut-ikutan, dan bukan pula karena ikut-ikutan agar tidak menyelisihi orang-orang, atau motivasi-motivasi yang lainnya. Hendaknya ia berpuasa dengan kerelaan hati tidak merasa terpaksa untuk melakukannya, dan tidak merasa berat melewati hari demi harinya, bahkan (seharusnya) mengisi sepanjang hari-hari yang dilewati dengan ketaatan agar mendapatkan pahala yang besar.

Ketiga, hendaknya seseorang menjauhkan diri dari dosa-dosa besar. Yaitu, setiap dosa yang berkonsekwensi adanya penegakkan had di dunia, atau (pelakunya) diancam di akhirat, atau dosa tersebut berkonsekwensi mendapatkan murka dan selainnya. Di antara contoh dosa besar tersebut yaitu, menyekutukan Alloh, memakan riba, memakan harta anak yatim, zina, sihir, membunuh jiwa (yang tidak dibenarkan membunuhnya), durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan hubungan silaturrahim, persaksian palsu, yaminul ghomuus[3], melakukan kecurangan dalam transaksi jual beli dan dalam transaksi muamalah yang lainnya, dan lain-lain. Alloh ta’ala berfirman,

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). [4]

Maka, bila mana seorang hamba berpuasa Romadhan sebagaimana mestinya, niscaya Alloh mengampuni dosa-dosa kecilnya disebabkan karena puasa yang dilakukannya, begitu pula dihapuskan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya apabila dosa-dosa besar dijauhi dan ia telah bertaubat dari dosa besar yang pernah dilakukannya.

Hadis yang kedua memberikan faedah bahwa setiap nas (teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits) yang berisi tentang informasi adanya penebusan dosa disebabkan karena amal sholeh, seperti (karena) wudhu, puasa Romadhan, puasa pada hari arofah, dan pada Asyuro dan selainnya, maka yang dimaksud dengan dosa yang diampuni adalah dosa kecil karena ibadah yang agung tersebut, yaitu sholat lima waktu, (sholat) jum’at, (puasa) Romadhan. Bila mana ia tidak menjadikan terhapusnya dosa besar, maka bagaimana halnya dengan amal sholeh yang dibawahnya ?

Oleh karena itu, mayoritas ulama berpandangan bahwa dosa-dosa besar tidak dapat terhapuskan dengan amal sholeh, bahkan pelakunya diharuskan bertaubat atau ditegakkan padanya hukuman terkait dengan dosa besar yang disebutkan tentang hukumannya. Wallohu a’lam

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya segera bertaubat dari seluruh dosa, baik dosa yang besar maupun dosa yang kecil pada bulan yang utama ini. Mudah-mudahan Alloh mengampuni dosanya. Dan siapa yang melumuri hidupnya dengan kemaksiatan dan dosa, baik  yang dilakukan oleh pendengarannya, penglihatannya, lisannya, atau anggota badannya maka sungguh ia telah menyia-nyikan kesempatan untuk mensucikan diri dan pengampunan dosa di bulan ini. Dengan demikian, ia tidak layak mendapatkan pengampunan dosa yang dijanjikan. Bahkan sangat boleh jadi ia mendapatkan doa malaikat Jibril –‘alaihis salam-, seperti yang diriwayatkan kepada kita oleh seorang sahabat yang mulia Abu Huroiroh-radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah naik mimbar, lalu beliau mengucapkan, Aamiin, Aamiin. Dikatakan kepada beliau, ‘wahai Rosulullah, Anda naik mimbar, lalu anda mengucapkan, “ Aamiin” , “ Aamiin”, “ Aamiin”. (Mengapa Anda melakukan hal tersebut ?-pen), beliau pun menjawab,

“إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامَ أَتَانِي فَقَالَ: مَنْ أَدْرَكَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَدَخَلَ النَّارَ فَأَبْعَدَهُ اللهُ. قُلْ آمِيْنَ فَقُلْتُ آمِيْنَ . . . اَلْحَدِيْثُ”.

Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam mendatangiku, lalu mengatakan, ‘barangsiapa mendapati bulan Romadhan, namun dosanya tidak diampuni, niscaya ia masuk Neraka. Lalu Allah menjauhkannya. Jibril berkata, ucapakanlah “Aamiin”. maka, aku pun mengucapkan, “Aamiin”…al-Hadis [5]

Maka dari itu, hendaklah orang yang berpuasa bersemangat melakukan perkara yang menjadi sebab mendapatkan ampunan dan keridhoan, menjaga puasa dan qiyamullail dan menunaikan perkara-perkara yang diwajibkan. Dan, hendaknya pula ia menjauhkan diri dari sebab-sebab dijauhkan dari rahmat Alloh dan diharamkan dari mendapatkan kebaikan, berupa perbuatan maksiat, dosa pada bulan Romadhan dan diluar bulan Ramadhan, agar ia menjadi orang yang beruntung.

Dan di antara tanda yang menunjukkan hal itu adalah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya waktu-waktu di bulan Romadhan dengan ketaatan dengan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnul Qoyyim –rahimahullah-mengatakan,   ‘adalah termasuk petunjuk beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam’  pada bulan Ramadhan yaitu memperbanyak melakukan berbagai bentuk peribadatan… beliau adalah orang yang dermawan, dan kedermawanan beliau bertambah pada bulan Romadhan, beliau banyak bersedekah, banyak melakukan kebaikan, banyak membaca al-Qur’an, sholat, dzikir, dan I’tikaf. Adalah beliau mengkhususkan ibadah pada bulan Romadhan, tidak seperti halnya yang beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Hingga terkadang beliau melanjutkan ibadah tertentu pada waktu-waktu di bulan tersebut malam dan siang harinya. [6]

Ya Allah, berilah ampun kepada kami atas semua bentuk pelanggaran dan ketergelinciran. Dan tutupilah setiap kesalahan kami. Maafkan kami pada hari pertanyaan-pertanyaan diajukan. Ya Alloh terimalah puasa dan qiyamullail kami. ampunilah dosa dan kesalahan kami. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad…

 

Sumber :

Diterjemahkan dari  اَلصَّوْمُ مَغْفِرَةٌ لِلذُّنُوْبِ (ash-Shaumu Maghfiratun Li adz-Dzunuubi) dalam أَحَادِيْثُ الصِّيَامِ : أَحْكَامٌ وَآدَابٌ Hadis Seputar Puasa ;Hukum dan Adab, Abdullah bin Sholeh al-Fauzan. Dengan gubahan

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

 

 

[1]HR. al-Bukhori, 1/92, Muslim, 759, dan sabda beliau, مِنْ ذَنْبِهِ (dosanya), zhohirnya menunjukkan pengampunan dosa tersebut, baik dosa kecil maupun dosa besar. Dan, karunia Alloh itu luas. Akan tetapi, yang masyhur dari mazhab-mazhab para ulama bahwa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil sebagaimana akan datang pembahasannya.

[2] HR. Muslim (233)

[3] Yaminul ghomuus, yaitu al-Yamiin al-Fajiroh (sumpah yang keji) yang dimaksudkan dengan sumpah tersebut untuk merampas harta seseorang muslim. Disebut dengan yaminul ghomuus karena hal tersebut menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa sehingga ia masuk ke dalam Neraka.

[4] Qs. An-Nisa : 31

[5] HR. Ahmad, 2/246,254, Ibnu Khuzaemah, 3/192, al-Baihaqi,4/204, dari jalur Abu Huroirah –radhiyallahu ‘anhu, dan ini adalah hadits shohih. Asalnya adalah dalam riwayat Muslim, no,2551, hadis ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, di antaranya, Ibnu Abbas, Anas, Jabir bin Samurah, Malik bin Khuwairits, dan selain mereka.

[6] Zaadul Ma’ad, 2/32

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *