Saudaraku… nabi shallallohu ‘alaihi wasallam pernah suatu kali bersabda, Alloh azza wajalla berfirman,
كل عمل بن آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به والصيام جنة فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث يومئذ ولا يسخب فإن سابه أحد أو قاتله فليقل إني امرؤ صائم والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله يوم القيامة من ريح المسك وللصائم فرحتان يفرحهما إذا أفطر فرح بفطره وإذا لقي ربه فرح بصومه
“Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa,sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberi pahala atasnya. Puasa itu adalah perisai, maka pada saat berpuasa hendaknya seseorang diantara kamu tidak melakukan rafats dan tidak juga membuat kegaduhan. Jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan,”Sesungguhnya aku berpuasa”. Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kesturi di hari kiamat. Dan bagi orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan, yaitu ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan Rabbnya, ia gembira dengan puasanya” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151; dan ini lafadh Muslim).
Saudaraku… perhatikan,
فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث
(maka pada saat berpuasa hendaknya seseorang diantara kamu tidak melakukan rafats).
Inilah hal pertama, seorang yang berpuasa ia tidak selayaknya melakukan rafats. Apa itu rafats? yaitu : berjima’ (di siang harinya) dan berbicara keji.
Ini adalah pendidikan akhlaq yang luar biasa, bagaimana seorang muslim menahan dirinya dari melakukan rofats saat ia berpuasa.
Berjima’ dengan pasangan yang sah menurut agama merupakan suatu kenikmatan yang tak seorang pun mengingkarinya.
Namun demikian, pada saat seseorang berpuasa dirinya dilarang melakukannya di siang harinya. Ia dilatih untuk menundukkan nafsunya dalam rangka mentaati Allah dan Rosulnya shallallohu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan kepadanya.
Jika ia mampu mengendalikannya, berarti ia telah berakhlaq baik kepada Tuhannya yaitu dengan tidak melanggar apa yang menjadi larangannya meskipun nafsunya menginginkannya.
Keberhasilannya dalam mengendalikan nafsunya saat ia berpuasa dengan tidak melakukan hubungan suami istri di siang harinya menunjukkan akan akhlaqnya yang mulia pula yaitu bersabar untuk tidak bermaksiat kepadaNya.
Ini juga menjadi indikasi kesabarannya dalam menanti saat yang tepat untuk melakukan hubungan intim dengan pasangannya tersebut pada waktu yang tepat sebagaimana instruksi tuhan-Nya, yaitu di malam hari.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَة
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu …” (QS. Al Baqoroh : 187)
Wallahu a’lam. Bersambung, insyaa Alloh
Artikel : www.hisbah.net
Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net | Dakwah Al-Hisbah | Hisbah.Or.Id