Disunnahkan mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal dan itu sebanding dengan puasa selama setahun.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al Anshariy رَضِيَ اللهُ عَنْهُ bahwa Rasulullah ﷺ bersabda
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti puasa selama setahun.
Dari Tsuaban رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
Barang siapa berpuasa Ramadhan, maka puasa sebulan itu sama dengan sepuluh bulan dan dengan puasa enam hari setelah Idul Fithri (di bulan Syawwal), maka itu melengkapi puasa setahun.
Imam An Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/238),
“Para ulama mengatakan bahwa itu sebanding dengan puasa setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan Ramadhan sama dengan puasa sepuluh bulan, sedang puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadis marfu’ dalam kitab An Nasai.”
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughniy (4/438),
“Kesimpulan dari hal itu adalah bahwa puasa enam hari pada bulan Syawwal disunnahkan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama dan hal itu diriwayatkan dari Ka’ab Al Ahbar, Asy Sya’bi dan Maimun bin Mihran dan ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i.”
Puasa enam hari ini dinyatakan sunnah oleh Asy Syafi’i, Ahmad[1] dan ulama yang sependapat dengan mereka. Dalil mereka adalah hadis shahih yang menegaskan hal itu. Sedangkan yang melarang puasa ini adalah Al Hasan Al Bashri رَحِمَهُ اللهُ.
Dari Isra’il bin Abi Musa dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata, ‘Apabila disebutkan puasa enam hari bulan Syawwal di dekat Al Hasan Al Bashri, maka ia berkata, ‘Demi Allah, Allah telah ridha puasa satu bulan ini (Ramadhan) sebagai puasa untuk satu tahun penuh.’[2]
Ibnu Rajab dalam Latha’if Al Ma’arif, hal. 398, setelah menyebutkan Atsar dari Al Hasan Al Bashriy mengatakan
“Barang kali pengingkarannya itu ditujukan terhadap orang yang meyakini puasa enam hari wajib dan menurutnya puasa Ramadhan telah cukup menjadi kewajiban untuk satu tahun. Lahiriyah perkataannya memang menunjukkan itu.”
Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Malik menyatakan makruh, Abu Yusuf berkata
Para ulama kalangan Hanafiyah memandang makruh mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa lain (puasa enam hari bulan Syawwal) karena dikhawatirkan akan disamakan dengan puasa wajib.[3]
Imam Malik berkata dalam Al Muwatho’ (1/330),
Imam Malik tidak melihat seorang ulama pun dan fuqaha yang melakukan puasa ini dan beliau juga tidak mendengar itu dari seorang pun dari kaum salaf. Para ulama telah memakruhkannya dan mereka takut itu termasuk bid’ah. Mereka juga takut orang yang tidak mengerti akan menyamakannya dengan puasa Ramadhan ketika mereka melihat ulama membolehkannya dan melakukannya.
Saya katakan, “Ini mendorong orang untuk menentang nash yang shahih dan jelas dalam menganjurkan puasa syawwal.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Syarh Al ‘Umdah (2/559),
“Imam Ahmad mengingkari orang yang memakruhkan puasa Syawwal karena takut ada puasa selain Ramadhan yang disamakan dengan puasa Ramadhan. (Imam Ahmad mengingkarinya) karena keutamaan dan anjuran puasa ini telah dijelaskan dalam sunnah. Kekhawatiran akan disamakan dengan puasa Ramadhan bisa terjadi bila dilakukan di awal Ramadhan tanpa ada pemisah antara puasa Ramadhan dan puasa lainnya. Sedangkan bila dilakukan di akhir Ramadhan, maka di antara keduanya telah dipisahkan oleh hari Raya. Dan larangan Rasulullah terhadap puasa hari Raya menunjukkan bahwa larangan itu memang khusus berlaku pada hari itu saja, sedang hari-hari setelahnya adalah hari yang dibolehkan dan diizinkan berpuasa. Sebab bila beliau mau, tentu beliau akan melarang puasa di semua hari (bulan Syawal) sebagaimana beliau melarangnya di awal bulan Ramadhan dalam sabdanya
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
Jangan mendahului puasa Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari.
Asy Syaukani berkata dalam Nail Al Authar (4/282),
“Abu Hanifah dan Malik berkata, ‘Makruh hukumnya puasa Syawwal.’ Mereka berargumentasi bahwa mungkin itu akan dianggap puasa wajib. Ini adalah pendapat yang bathil yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang memiliki akal pikiran, apalagi seorang ulama seperti mereka dalam menentang sunnah yang shahih dan jelas. Kemudian pandangan seperti itu akan berlaku pula pada semua puasa yang dianjurkan agama dan tak seorang pun yang mengatakan demikian. Sementara imam Malik berargumentasi dalam memakruhkannya sebagaimana yang ia katakan dalam Al Muwatha’ bahwa ia tidak pernah melihat seorang pun dari kalangan ulama yang melakukannya. Padahal sangat jelas bahwa bila manusia tidak mengamalkan sunnah, tidak berarti itu dapat menolak sunnah.”
Ibnu Abdil Bar dapat memahami pernyataan imam Malik, di mana dia berkata[4],
“Imam Malik tidak mengetahui hadis Abu Ayyub sebagai salah satu hadis penduduk Madinah. Sebab mengetahui secara mendalam terhadap ilmu tertentu tidak mungkin dilakukan. Apa yang dimakruhkan imam Malik telah beliau jelaskan, yakni, ditakutkan puasa itu akan disamakan dengan puasa wajib Ramadhan oleh orang awam. Imam Malik termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam masalah Agama.
Sedangkan puasa enam hari bulan Syawwal untuk mendapatkan keutamaannya dan seperti apa yang dijelaskan dalam hadis Tsauban, maka itu tidak dimakruhkan oleh imam Malik insya Allah. Sebab puasa adalah perisai dan keutamaannya diketahui oleh orang yang menahan makan, minum dan nafsunya karena Allah. Ia juga sebuah amal kebajikan, sedang Allah telah berfirman, وَافْعَلُوا الْخَيْرَ “Dan kerjakan kebajikan.” (Al Hajj : 77). Imam Malik tentu mengetahui itu.
Imam Malik tidak memakruhkan puasa Syawwal melainkan karena kekhawatirannya bila itu dilakukan langsung (setelah Ramadhan) orang awam akan menganggapnya termasuk puasa wajib Ramadhan. Saya kira Imam tidak buta terhadap hadis ini –wallahu a’lam– karena itu adalah hadis penduduk Madinah yang diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Tsabit. Bahkan dikatakan Imam Malik meriwayatkan darinya. Jadi jika imam Malik tidak tahu hadis itu tentu beliau tidak mengingkarinya. Dan saya kira juga Syaikh Umar bin Tsabit termasuk orang yang tidak diterima oleh imam Malik. Apalagi imam Malik tidak menerima hadis yang diriwayatkannya dari sebagian gurunya karena ia tidak percaya dengan hafalannya pada sebagian riwayatnya. Atau mungkin juga imam Malik memang tidak tahu hadis tersebut. Sebab jika dia tahu, tentu dia tidak mengatakan demikian (mengingkari puasa Syawwal). Wallahu A’lam
Apakah syarat puasa enam hari harus dilakukan secara berurut ?
“Tidak disyaratkan dilakukan secara berurut. Sehingga boleh saja dilakukan langsung setelah berbuka (pada hari raya), atau terpisah antara keduanya, atau dilakukan berurutan, atau secara acak. Sebab Nabi ﷺ bersabda
وَأَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ
Dan dia mengiringinya dengan berpuasa enam hari bulan Syawwal
Dalam satu riwayat
سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
Enam hari bulan Syawwal
Rasulullah ﷺ menjadikan bulan Syawwal semuanya waktu untuk berpuasa tanpa mengkhususkan sebagian dari sebagian yang lain. Seandainya beliau menentukan sebagian saja, tentu beliau mengatakan, “enam hari pada awal bulan” atau “enam hari pada akhir bulan”.
Mengiringi Ramadhan dengan puasa enam hari bisa dilakukan di awal Syawwal dan bisa pula di akhirnya. Sebab pasti antara puasa tersebut dan puasa Ramadhan terpisah dengan hari raya, padahal hari itu juga termasuk bulan Syawwal.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa puasa Syawwal pasti tidak menyatu dengan puasa Ramadhan (karena terpisah dengan hari raya). Kemudian karena melakukannya di awal bulan lebih kuat karena lebih dekat dengan Ramadhan dan lebih bersambung, dan melakukan di akhirnya juga kuat karena menghindari menyatukan puasa Ramadhan dengan puasa selainnya, atau menjadikan hari raya kedua seperti yang dilakukan sebagian orang, maka keduanya adalah seimbang (di awal bulan atau di akhirnya) [5]
Inilah pendapat imam Ahmad yang beliau kemukakan dalam catatan beberapa masalah putranya Abdullah :
“Nabi ﷺ mengatakan, ‘Enam hari dari bulan Syawal’, maka bila seseorang berpuasa enam hari tersebut, ia tidak peduli apakah dilakukan secara acak atau berurutan.” [6]
Kalangan Syafi’iyyah berpendapat puasa enam hari sunnah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dikatakan An Nawawi,
“Para sahabat kami berkata, ‘Disunnahkan puasa enam hari bulan Syawwal berdasarkan hadis ini.’ Mereka juga berkata, ‘Atau disunnahkan berpuasa secara berurut mulai awal syawwal. Namun jika dilakukan secara acak, atau ditunda hingga akhir bulan, maka itu juga dibolehkan dan orang yang melakukannya telah menjalankan sunnah sesuai keumuman makna hadis dan kemutlakannya. Dan ini tidak ada perbedaan di kalangan madzhab kami, sebagaimana ini menjadi pendapat Ahmad dan Abu Dawud [7]
Saya katakan :
“Tidak ada dalil yang menunjukkan disunnahkan berpuasa secara berurutan kecuali sesuai keumuman perintah bersegera melakukan kebajikan dan masalah ini sifatnya longgar sebagaimana dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Wallahu A’lam.
Masalah :
Bolehkah mendahulukan puasa puasa enam hari bulan Syawal dari mengqadha puasa Ramadhan?
Jawabannya adalah : Barang siapa melakukan puasa enam hari bulan Syawwal sebelum mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal, maka ia tidak mendapatkan keutamaannya sebagaimana yang dijelaskan Nabi, yakni sama dengan puasa setahun. Sebab dalam hadis Tsauban hal itu dijelaskan secara rinci, bahwa satu bulan sama dengan puasa sepuluh bulan dan puasa enam hari setelah berbuka melengkapi menjadi setahun. Sedangkan orang yang masih berhutang puasa Ramadhan belum menyempurnakan puasa sebulan. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaik Ibnu Utsaimin, di mana beliau berkata dalam Syarh Al Mumti’ (6/448),
“Di sini ada satu masalah yang perlu dijelaskan. Yaitu bahwa puasa enam hari bulan Syawal tidak boleh didahulukan dari mengqadha puasa Ramadhan. Jika itu terjadi, maka puasa tersebut menjadi sunnah mutlak dan pelakunya tidak memperoleh pahala seperti yang dijelaskan Nabi dalam hadisnya
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti puasa selama setahun.
Hal itu karena bunyi hadis tersebut adalah : Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, dan ini sangat jelas. Sebagian pengkaji ilmu mengira bahwa masalah perbedaan tentang sahnya melakukan puasa sunnah sebelum mengqadha puasa wajib berlaku pula pada masalah ini. Padahal masalah ini tidak berlaku pada kasus yang satu ini, karena hadisnya jelas menyatakan bahwa tidak ada puasa enam hari kecuali setelah mengqadha puasa Ramadhan.
Wallahu A’lam
Sumber :
Shiyam At Tathwwu’, Fadhail wa Ahkam, Usamah Abdul Aziz
Amar Abdullah bin Syakir
[1] Lihat Al Baihaqi dalam Ma’rifat As Sunan wa Al Atsar (3/450) ; An Nawawi dalam Syarh Muslim, (3/238) ; Abdullah bin Ahmad dalam Masa’il Ahmad, hal. 193; Syaikhul Islam dalam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, 2/556)
[2] Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh At Tirmidzi (3/124) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (3/97) melalui jalan Al Husain bin Ali Al Ju’fi dari Isra’il bin Abi Musa dari Al Hasan.
[3] Bada’i Ash Shana i’, 2/78
[4] Al Istidzkar (10/259)
[5] Syarh Al ‘Umdah oleh Ibnu Taimiyyah, 2/559
[6] Masa’il Abdullah, hal. 193
[7] Al Majmu’ (6/379)