Persoalan Doa Berbuka Puasa (3)

لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ, فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Untuk-Mu aku berpuasa, dengan rizki-Mu aku berbuka, oleh karena itu terimalah dariku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Maha Mengetahui

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengatakan,

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa, dengan rizki-Mu kami berbuka. Oleh karena itu terimalah dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Maha Mengetahui

  • Derajat Hadis : Hadis ini Lemah Sekali atau Maudhu’ (Palsu)

Diriwayatkan oleh ath-Thabraniy dengan redaksi yang pertama di dalam al-Mu’jam al-Kabir (12/146) (12720). Sedangkan redaksi yang kedua diriwayatkan oleh ad-Daruquthniy di dalam sunannya (2/185) (26), Ibnu Sunniy di dalam ‘Amal al-Yaumiy Wa al-Lailah (hal : 169) (480)

Semuanya melalui jalur periwayatan : Abdul Malik bin Harun bin ‘Intirah dari ayahnya dari kakeknya dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata : adalah Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka, beliau mengucapkan … (disebutkan redaksi doa di atas) .

Isnad ini ma’lul (cacat) karena perowi yang bernama Abdul Malik dan Ayahnya yang bernama Harun, disertai dengan adanya perselisihan tentang beliau.

Saya katakan : Harun ayah Abdul Malik, ia adalah Harun bin ‘Intirah. Para ulama berbeda pendapat tentangnya.

Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in menilainya sebagai seorang perowi yang tsiqqah (kredible)

Riwayat dari ad-Daruquthniy tentang Harun ini berbeda, imam adz-Dzahabiy di dalam al-Mizan menukil darinya tentang hal itu, dan beliau juga melemahkannya dan anaknya Abdul Malik ini di dalam kitab Adh-Dhu’afa karyanya, seraya mengatakan : Humaa Dha’iifaani   (keduanya perowi yang lemah)

Ibnu Hibban berkomentar tentang Harun ini : Munkarul Hadis jiddan. Ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar yang cukup banyak,  hingga –boleh jadi- sampai ke hati orang yang mendengarkan riwayat-riwayat tersebut bahwasanya beliau sengaja melakukan hal tersebut karena saking banyaknya yang diriwayatkannya yang tidak memiliki asal, yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah sama sekali apa pun kondisinya.

Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa cacat itu karena anaknya si Abdul Malik, bukan karena dirinya (yaitu, Harun), kerena anaknya (yakni, Abdul Malik) dituduh sebagai pendusta (dalam meriwayatkan). Sehingga cacat dalam hadis tersebut adalah disebabkan karena dirinya.

Imam adz-Dzahabi berkomentar tentang Harun ini : yang nampak bahwa nakarah (dalam riwayat ini) disebabkan karena perowi yang meriwayatkan darinya. Demikian pula yang dikatakan al-Albani di dalam al-Irwa : “penyakit isnad ini karena anaknya, yaitu Abdul Malik [1]

Adapun anaknya ini, ia adalah Abdul Malik bin Harun bin ‘Intirah bin Abdurrahman asy-Syaibaniy. Imam Ahmad berkomentar tentang dirinya, seraya mengatakan : Dha’iful Hadits. imam Yahya bin Ma’in berkata : Kadzdzab (pendusta).  Abu Hatim berkata : Matrukul hadits, Dzahibul Hadits.

Ibnu Hibban berkata : ia termasuk orang yang membikin-bikin hadis, tidak boleh menulis hadisnya kecuali untuk mengambil pelajaran. Dialah perowi yang dijuliki Abdul Malik bin Abi ‘Amru hingga tidak dikenal, dulu Kunyahnya Harun (ayahnya) adalah Abu ‘Amr.

Dan imam al-Bukhari berkata : Munkarul Hadis.

Saya katakan : makna ungkapan imam al-Bukhari “Munkarul Hadis”, yakni, tidak halal periwayatan darinya. Hal tersebut sebagaimana dinukil darinya oleh Ibnu al-Qathan. Imam adz-Dzahabi –di dalam al-Mizan, 1/119- berkata, ‘Ibnu Qathan menukil bahwa imam al-Bukhari berkata : setiap orang yang aku berkomentar tentangnya dengan ungkapan “Munkarul Hadis” maka tidak halal periwayatan darinya.

Imam an-Nasai berkomentar tentang perowi yang bernama Abdul Malik, “Matruukul Hadits” sementara as-Sa’diy mengatakan : Dajjaalun Kadzdzaabun.

Ibnu ‘Adiy berkata : dan Abdul Malik bin Harun memiliki beberapa hadis ghariib dari ayahnya dari kakeknya, dari shahabat yang tidak ada seorang pun yang menguatkannya.

Dan imam ad-Daruquthniy melemahkannya di dalam kitabnya “adh-Dhu’afaa[2]

Saya katakan : dengan demikian, penjatuhan adanya catat dalam riwayat ini pada seorang perowi yang bernama Abdul Malik (bukan kepada ayahnya, Harun-pen) lebih tepat karena ia perowi yang dituduh pendusta, dan kalaupun kita katakan : bahwa isnad dan matan hadis ini keduanya palsu, nampaknya tidaklah berlebihan karena si Abdul Malik ini termasuk orang yang suka memalsukan hadis.

Imam al-Haitsami juga menilai hadis ini cacat karena adanya perowi yang bernama Abdul Malik (bin Harun), beliau berkata di dalam al-Majma’ (3/159) : Diriwayatkan oleh ath-Thabraniy di dalam (al-Mu’jam) al-Kabir dan di dalam hadis tersebut ada seorang perowi bernama Abdul Malik bin Harun, ia adalah seorang perowi yang lemah.

Ibnu al-Mulaqqin di dalam Khulashatu al-Badr al-Muniir 1/327 berkata tentang hadis Ibnu Abbas : Di dalam isnadnya ada seorang perowi bernama Abdul Malik bin Harun bin ‘Intirah. Mereka telah meninggalkannya, dan as-Sa’diy telah berkata : Dajjaalun Kadzdzaabun.

Dan al-Hafizh di dalam at-Talkhiish 2/802 setelah menyebutkan yang meriwayatkannya, beliau berkomentar : bisanadin dha’ifin (dengan sanad yang lemah).

Syaikh al-Albaniy –di dalam Irwa-ul ghalil (4/37)-  memberikan catatan terhadap komentar al-Hafizh al-Haitsami dan Ibnu Hajar  yang mengatakan bahwa hadist tersebut “lemah” saja, seraya berkata : hal tersebut merupakan sikap pemudahan darinya dan dari orang-orang yang sebelumnya, karena sejatinya mereka hendaknya mengatakan, “lemah sekali”. Hal demikian itu karena dikhawatirkan orang akan terpedaya dengan zhahir perkataan mereka, sehingga hadis tersebut[3] akan dikuatkan dengan hadits Anas berpatokan dengan kaidah “ hadis yang lemah dapat dikuatkan dengan banyaknya jalan, padahal di antara syarat kaidah ini adalah masing-masing jalur (yang dijadikan sebagai penguat) tersebut tidaklah terlalu parah kelemahannya. Dan inilah yang tidak terpenuhi dalam jalur periwayatan ini setelah dikaji secara mendalam. Selesai perkataan beliau.

Saya katakan : Hal tersebut telah terwujud di mana pentahqiq kitab al-Adzkar karya imam an-Nawawi [4] sebagai ta’liq terhadap pernyataan imam an-Nawawi ketika berkomentar tentang hadis Mu’adz bin Zuhrah bahwa Abu Dawud meriwayatkannya secara mursal, al-Muhaqqiq –di dalam hasyiyah kitab al-Adzkar (hal. 275) berkata : akan tetapi hadis tersebut mempunyai beberapa syawahid yang menguatkan riwayat tersebut.

Saya katakan : mana di antara syawahid tersebut yang layak untuk menguatkan hadis ini, karena semua jalur periwayatannya adalah wahiyah tidak layak dalam bab al-i’tibar, dengan demikian keberadaan jalur-jalur periwayatan tersebut seperti ketidakadaannya, karena keadaan para perowinya tidak ada yang selamat dari kelemahan yang parah.

Atas karunia Allah-subhanahu wa ta’ala– bahwa di sana ada sebuah hadits lain yang isnadnya hasan yang diucapkan kala berbuka puasa. Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam sunannya (2357) bersumber dari Abdullah bin Umar bin Khaththab –semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ »

Adalah Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– kala berbuka mengucapkan : telah hilang rasa dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah.

Ini hadis isnadnya hasan, berkata al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam at-Talkhiish al-Habiir (2/802) : imam ad-Daruquthniy berkata : Isnadnya hasan.

Demikian pula al-‘Allamah al-Albaniy menghasankannya di dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/59) dan di dalam Irwa-ul Ghalil (4/39) dan lihat takhrijnya secara panjang lebar di dalam at-Talkhiish al-Habiir (2/802) dan Irwa-ul Ghalil 4/39)

Maka bila didapati seperti isnad yang hasan ini, sementara yang derajatnya hasan merupakan hujjah di dalam masalah hukum dan ibadah, maka tidak perlu untuk beramal dengan hadits yang lemah yang telah lalu takhrijnya. Maka, hendaknya Anda-wahai seorang muslim- mengambil dan mengamalkan hadis yang valid dari Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, hal inilah yang akan membuahkan ganjaran dan pahala. Adapun yang lemah, maka hendaknya Anda tinggalkan, karena tidak ada faedah yang dihasilkan darinya.

Wallahu a’lam

Penullis : Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Tahdziir al-Khillaani Min Riwaayati al-Ahaadiitsi Adh-Dha’iifah Haula Ramadhan, (Hadiitsu ad-Du’a ‘Inda al-Ifthar), karya : Abu Umar Abdullah Muhammad al-Hamaadiy (Penasehat Utama di Kementrian Keadilan, Urusan Islam dan Wakaf, Uni Emirat Arab), Penerbit : Daar Ibnu Hazm (hal.80-82)

[1] Silakan lihat, apa yang disebutkan sebelumnya tentang Harun bin ‘Intirah di dalam al-Majruuhiin (3/93), al-Miizaan (7/62), dan Dhu’afaa karya ad-Daruquthniy (hal. 289)

[2]  Lihat, apa yang telah disebutkan tentang Abdul Malik bin Harun di dalam : al-Majruuhiin, 2/133, al-Jarh Wa at-Ta’dil (5/374) Dhu’afaa ad-Daruquthniy (hal.289), al-Kamil karya : Ibnu ‘Adiy (6/529), al-Miizaan karya adz-Dzahabiy (4/414), dan adh-Dhu’afaa Wa al-Matruukiin, karya : Ibnul Jauziy (2/153)

 

[3]   Yakni, hadis Ibnu Abbas yang kita tengah mentakhrijnya

[4] Cetakan Daar al-Huda, tahqiq dan ta’liq : Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth semoga Allah menjaganya dan memberikan taufiq kepadanya. Alangkah baiknya jika beliau merenungkan jalur-jalur periwayatan dan penguat-penguat hadis ini sebelum beliau menyatakan ungkapan tersebut. Kami memohon taufiq dan arahan yang benar kepada Allah untuk kami dan beliau.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *