Perkara Makruh, Sebuah Kemungkarankah?

Secara konsekuensi perkara makruh tidaklah termasuk ke dalam cakupan kemungkaran, karena perkara makruh sejatinya boleh namun ia berada dibawah yang  lebih baik darinya yaitu perkara mubah. kesimpulan ini diambil dari hadits berikut:

Dari Usamah bin Zaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.” (HR. Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989)

 

Dalam hadits ini jelas terlihat bahwa yang diazab tersebut dikarenakan ia malah melakukan kemungkaran yang ia larang orang lain darinya.

Kemudian timbul soal, berarti kemungkaran apa yang dimaksud oleh hadits diatas? Jawabannya adalah alah perkara yang haram. Kesimpulan ini karena secara asal melakukan amalan makruh tidak dihukum dengan azab, karena yang diazab adalah pelaku dosa, dan makruh bukan perbuatan dosa.

 

Akan tetapi penjabaran ini tidak bermaksud untuk menyepelekan urusan perkara makruh, namun tetap pelaku perkara makruf dinasehati untuk meninggalkannya dan melakukan hal yang lebih baik derajatnya, yaitu mubah kemudian sunnah kemudian yang wajib. karena Allah berfirman:

 

((وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ))

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Ali Imron 104.

Jadi menurut ayat diatas bahwa seruan kepada kebaikan mencakup seruan untuk meninggalkan perkara makruh diwaktu yang sama.

Setelah kita memahami Hadits dan Ayat diatas bahwa perkara makruh tidak termasuk kemungkaran, akan tetapi juga tidak berarti menyepelekan anjuran untuk melakukan hal yang lebih baik dari perkara makruh tersebut.

Untuk itu hendaklah diperhatikan kelak dalam prakteknya bahwa terdapat perbedaan pada metode dalam menasehati seorang oknum agar ia meninggalkan perkara makruh dan metode ketika melihat kemungkaran, karena pelaku kemungkaran sejatinya pelaku dosa sehingga berhak untuk mendapatkan perilaku yang tegas, sedangkan pelaku kemakruhan tidak terjatuh pada suatu dosa namun sejatinya ia hanya meninggalkan apa-apa yang lebih afdhol, untuk itu pendekatan yang dilakukan kepada pelaku kemakruhan lebih lembut, yaitu dengan nasehat dan arahan.

Wallahu A’lam

 

Muhammad Hadhrami Bin Ibrahim

 

Rujukan:

حديث من رأى منكم منكراً فليغيره بيده دراسة تأصيلية لملامح التغيير وضوابطه في الإسلام ص ٦٥-٦٦
تأليف: أبي عبد الرحمن صادق بن محمد الهادي

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *