Perbandingan Antara Mudharabah dengan Riba

Sekilas, perniagaan (mudharabah) menyerupai riba, karena masing-masing pemilik uang pada kedua transaksi ini menyerahkan uang kepada orang lain, dan kemudian menerima kembalian yang lebih banyak. Akan tetapi hukumnya, sangat berbeda, mudharabah hukumnya halal, sedangkan riba adalah haram.

قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Mereka berkata sesungguhnya perniagaan itu serupa dengan riba, dan Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. “ (Qs. Al-Baqarah : 275)

Telah ditegaskan oleh banyak ulama bahwa tidaklah Allah ta’ala dan Rasul-Nya membedakan antara dua hal yang sekilas nampak sama, melainkan antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasarinya. Sebagaimana tidaklah syariat menyamakan antara dua hal, melainkan antara keduanya terdapat persamaan yang mendasarinya.

Dan bila kita berusaha mencari perbedaan nyata yang mendasari perbedaan hukum antara riba dan mudharabah, niscaya kita akan mendapatkan bahwa kaidah ini merupakan salah satu perbedaan utama antara keduanya.

Seorang pemakan riba berusaha mengeruk keuntungan, akan tetapi ia tidak sudi menanggung kerugian. Oleh karena itu, ia menuntut agar modal yang ia keluarkan kembali utuh dan ditambah lagi dengan bunganya, tanpa peduli dengan kerugian dan kesulitan yang menimpa penerima piutang.

Tatkala masyarakat di negeri kita telah banyak yang menyadari  akan keharaman riba, dan bahwa dosanya ditanggung oleh penerima dan pemberi secara bersamaan, sebagian pemakan riba berusaha mengelabui mereka dengan cara mengubah nama bunga menjadi bagi hasil (mudharabah). Sehingga yang terjadi bila dari usaha berhasil diperoleh keuntungan, maka pemodal berhak menerima modal secara utuh ditambah bagi hasil (baca : bunga). Akan tetapi bila terjadi kurugian, maka pemodal berhak menerima modal yang telah ia berikan secara utuh, tanpa disertai dengan bagian hasil (bunga).

Bila kaedah yang telah kita jelaskan di atas, kita terapkan pada transaksi ini, niscaya akan menjadi jelas bahwa ini adalah transaksi riba, karena pemodal tidak siap untuk ikut andil dalam menanggung kerugian. Ditambah lagi hakikat riba, yaitu sebagai tindak kezhaliman benar-benar terwujud pada transaksi ini. Hal itu dikarenakan, pengusaha (penerima modal) selain tidak mendapat keuntungan, dan jerih payahnya merugi, sehingga seluruh kucuran keringatnya tidak mendatangkan hasil, ia masih harus mengembalikan modal secara utuh kepada pemodal.

Pada tabel berikut ini, kami akan coba paparkan perbedaan antara akad piutang dengan akad bagi hasil (mudharabah) :

No Akad Piutang Akad Bagi Hasil (Mudharabah)
1 Uang sepenuhnya menjadi milik penghutang (debitur), sehingga ia memiliki hak penuh untuk menggunakan uang tersebut sesuai dengan yang ia kehendaki. Baik dibelanjakan, dihibahkan, diutangkan atau ditabungkan (dibekukan). Kreditur bukan sebagai pemilik saham, hal ini sebagaimana yang kita dapatkan diberbagai perbankan yang ada di masyarakat. Uang/modal sepenuhnya adalah milik pemodal. Pengusaha berkewajiban untuk menjaganya dan menggunakannya dalam usaha yang telah disepakati. Ia tidak dibenarkan untuk menghibahkan, menghutangkan atau membekukan(menabungkan) uang itu. Dengan demikian, perusahaan (atau saham perusahaan) milik pemodal, sedangkan pelaku usaha hanya berhak mendapatkan bagian dari keuntungan saja. (Pemilik modal adalah para pemilik saham perusahaan/bank).
2 Pemberi piutang (kreditur) tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam pengelolaan uang yang telah ia piutangkan. Pemilik modal dibenarkan untuk mengawasi pemakaian modal yang ia berikan kepada pelaku usaha. Apabila pelaku usaha menyelisihi kesepakatan, maka pemilik modal berhak menghentikan perjanjian
3 Bila debitur mengizinkan pada kreditur untuk mengelola uang tersebut, maka pada keadaan ini kreditur berstatus sebagai pegawai. Pemilik modal diizinkan untuk ikut serta mengelola modalnya, dan statusnya tidak pernah berubah, yaitu sebagai pemilik modal.
4 Debitur berkewajiban untuk mengembalikan uang piutang dengan utuh pada tempo yang telah disepakati, walaupun uang tersebut hilang dicuri orang, tanpa peduli sedikit pun apakah ada kesalahan yang dilakukan oleh penghutang dalam merawat/menyimpan atau tidak. Pengusaha tidak berkewajiban untuk mengembalikan modal bila uang hilang, misalnya jika uang dicuri orang, dengan catatan tidak ada kesalahan dari pengusaha dalam merawat/menyimpan modal tersebut.

 

5 Bila debitur menggunakan uang piutangnya untuk usaha kemudian terjadi kerugian, maka seluruh kerugian sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur. Adapun kreditur tidak berkewajiban untuk ikut menanggung kerugian sedikitpun dan dalam bentuk apa pun. Bila pengusaha merugi dalam usahanya, maka pemodal harus ikut menanggung kerugian tersebut. pemodal menanggung seluruh kerugian finansial, sedangkan pengusaha menanggung kerugian tenaga dan seluruh jerih payahnya (non finansial).
6 Bila debitur menggunakan uang itu untuk usaha, dan ia beruntung maka keuntungan sepenuhnya menjadi milik debitur. Bila dari modal, pengusaha mendaptkan keuntungan, maka keuntungan menjadi milik bersama, pemodal dan pengusaha sesuai dengan perjanjian.
7 Kreditur diharamkan untuk mensyaratkan keuntungan apapun dari piutang yang ia berikan. Pemodal dihalalkan untuk mensyaratkan keuntungan dari modal yang ia berikan kepada pengusaha.
8 Bila telah jatuh tempo dan debitur dalam keadaan kesusahan, maka pemilik uang diwajibkan untuk menunda penagihan, dan status akad hutang-piutang tetap seperti sedia kala. Bila telah jatuh tempo, usaha yang dijalankan oleh pengusaha merugi, maka pemilik modal dibenarkan untuk menarik seluruh modalnya, dengan ketentuan akad mudharabah antara mereka terputus (selesai).
9 Riba pada piutang senantiasa menyesuikan dengan jumlah besarnya piutang dan tempo pembayaran, tanpa peduli akan apa yang didapatkan oleh kreditur. Bagi hasil benar-benar sesuai dengan keuntungan bersih yang berhasil didapatkan oleh pelaku usaha. Bahkan bila terjadi kerugian, maka dana pemodal dapat berkurang atau bahkan mungkin saja hangus.

 

Wallahu a’lam

Sumber :

Riba dan Tinjaun Kritis Perbankan Syariah, Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA. Penerbit : Pustaka Darul Ilmi, hal. 154-159.

Amar Abdullah bin Syakir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *