Perbaiki Bahasa Berdakwahlah dengan Hikmah

Menuntut ilmu kemudian mengamalkannya adalah sebuah keharusan, karena jika tidak maka orang yang berilmu tadi akan terancam kesengsaraan dihari kelak bilamana amalannya menyelisihi ilmunya. Namun mendakwahkan apa yang kita ketahui juga sebuah keharusan, meski terkadang kita belum optimal dalam mengamalkannya. Akan tetapi, berdakwah kepada oranglain tidaklah seperti berinteraksi dengan diri sendiri yang bisa sesukanya kita kendalikan, mendakwahi orang lain haruslah dengan perasaan, agar dakwah tidak berubah menjadi dakwaan atas oranglain, agar dakwah diterima seperti diterima dengan senang hatinya sebuah hadiah, oleh karena itu, sebelum menyampaikan koreksi atas kelakuan orang lain hendaklah seorang muslim memperhatikan cara dan metode yang digunakannya, tidak serampangan tanpa melihat kondisi.

Dan salah satu yang paling pertama untuk diperhatikan adalah cara menyampaikan, karena lisan itu tajam, dapat melukai jika diberikan tanpa disarungi. Sehingga yang terjadi berikutnya bukanlah mengundang simpatik, melainkan penolakan yang keras, bukan karena isi yang disampaikan salah, namun karena caranya yang tidak tepat, karena manusia makhluk emosional, ego untuk membela diri dapat mengaburkan pandangannya dari melihat kebenaran, maka dari itu jangan sampai kita menyakiti padahal ingin mendekati, ibaratnya layaknya seseorang yang bersalaman karena ingin berkenalan, namun menjadi dingin karena misalnya terlalu keras dalam menggenggam hingga menyakiti lengan orang tersebut, antusias boleh, namun jangan berlebihan.

Maka dari itu tak heran Allah Ta’ala sampai menurunkan firman-Nya:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali Imran: 159)

Dan ayat ini juga sebagaimana tips yang diberikan oleh Allah Ta’ala dalam berdakwah, yaitu:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An Nahl: 125)

Namun bukan berarti dalam berdakwah tidak ada yang namanya ketegasan, tegas ada, namun juga melihat kondisi, misalnya kepada orang yang sudah mengetahui hukum suatu perkara haram, kemudian ia tergelincir kepadanya, atau kepada orang yang sudah mendapatkan penjelasan yang tidak dapat dibantah lagi olehnya namun ia tetap bersikukuh diatas kesalahan karena kesombongan, atau dalam menjatuhkan vonis hukum, maka dalam kondisi seperti diatas, tentu ketegasan adalah pilihan yang tepat.

Namun jika yang dihadapi adalah orang yang awam, atau baru saja mengenal dakwah, atau orang lupa dan tidak sengaja, tentu pendekatan yang dilakukan adalah dengan cara yang sopan dan santun, sehingga teguran tidak membuatnya malah lari dari kebenaran karena alasan pribadi.

Jadi, dalam beramar makruf nahi munkar juga memakai seni dan cara, tidak serampangan, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abu Bakar Al Khallal:

(لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر، إلا من كان فيه خصال ثلاث: رفيق بما يأمر رفيق بما ينهى، عدل بما يأمر عدل بما ينهى، عالم بما يأمر عالم بما ينهى)

“Belum boleh melakukan amar makruf nahi munkar kecuali setelah memiliki tiga kriteria: lembut dalam menyeru dan lembut ketika melarang, adil ketika menyeru dan adil ketika melarang, dan mengetahui ilmu apa yang ia seru dan ia larang”.

Terakhir jangan sampai lisan kita menjadi perusak imej dakwah, dan menjadi bahan lawan untuk menjelek-jelekkan dunia dakwah. Karena kewajiban berdakwah adalah sesuai kemampuan, dan juga mempertimbangkan faktor kemaslahatan dan kemudharatan, yang mana jika kesanggupan kita malah justru memperburuk, tentu harus ditahan terlebih dahulu sampai mendapatkan saat yang tepat, karena segala sesuatu memiliki proses, tidak instan, karena tingkatan iman setiap orang berbeda-beda, sehingga berbeda pula kesiapan setiap orang dalam menerima kebenaran, apalagi itu menyangkut keyakinan dan kebiasaan yang sudah mendarah daging.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

“من كان يؤمن بالله و اليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت” (رواه البخاري ومسلم)

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan har akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. (HR Bukhari-Muslim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *