Saudara Pembaca yang budiman, sesungguhnya perkara hati merupakan perkara agung dan kedudukannya pun sangat mulia. Hingga Allah subhanahu wata’aala menurunkan Kitab-kitab suci-Nya untuk memperbaiki hati, dan Dia utus para Rasul untuk mensucikan hati, membersihkan dan memperindahnya. Demikianlah Allah menuturkan,
يَاأَيُهَا النَاسُ قَدْ جَآءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِمَا فِى الصُدُوْرِ وَهُدَىً وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh dari penyakit-penyakit (yang berada) di dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57).
لَقَدْ مَنَّ الله عَلَى المؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُواْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتَابَ وَالحِكْمَةَ وَإِِنْ كَانُواْ مِنْ قَبْلُ لَفِى ضَلاَلِ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” Meskipun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali Imran: 164).
Ajaran paling besar yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah memperbaiki hati. Dengan hati seseorang dapat menghayati ayat-ayat Allah subhanahu wata’aala sebagaimana Dia firmankan,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ القرءان أَمْ على قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24).
Maksudnya, hatinya terkunci hingga tidak dapat memperhatikan dan merenungkannya. Dan dengan hati pulalah seseorang dapat merenungkan ayat-ayat kauniyah, yaitu ciptaan Allah yang ada di jagad raya ini dan yang ada di dalam jiwa. Allah subhanahu wata’aala berfirman,
أَفَلَمْ يَسِيرُواْ فِى الأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى القُلُوبُ الَتِى فِى الصُدُوْرِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46).
Melalui ayat ini Allah menjelaskan bahwa yang menjadi sandaran di dalam mengambil pelajaran terhadap ayat-ayat kauniyah Allah di jagat raya dan di jiwa adalah kecerdasan dan kesadaran hati. Hal lain yang menegaskan pentingnya kita memperhatikan kondisi hati, memperbaiki, mensucikan dan membersihkannya dari berbagai penyakit dan noda serta menghiasinya dengan keutamaan-keutamaan adalah bahwa Allah subhanahu wata’aala menjadikan hati sebagai pusat perhatian-Nya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ. وَأَشَارَ بِأَصْبَعِهِ إِلَى صَدْرِهِ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad atau bentuk kamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati kamu”, beliau menunjuk ke dadanya dengan telunjuknya.” (HR. Muslim no.2564)
Dasar keimanan atau kekufuran, dasar hidayah dan kesesatan, dan dasar keberuntungan dan kenistaan tergantung pada apa yang tertanam di dalam hati seorang hamba. Maka dari itu, mayoritas ulama berkeyakinan bahwa siapa saja yang dipaksa untuk menyatakan “kekufuran”, maka ia tidak berdosa selagi hatinya masih tetap teguh beriman kepada Islam dan tetap dalam kondisi beriman. sebagaimana firman Allah subhanahu wata’aala,
مَنْ كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيْمَانِهِ إِِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ وَلَكِنْ مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ الله وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ . ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُوا الحَيَاةَ الدُنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى القَوْمَ الكَافِرِيْنَ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (Qs. An-Nahl: 106-107).
Ayat ini diturunkan, sebagaimana pendapat mayoritas Ahli Tafsir, mengenai ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, disaat ia masuk Islam disiksa oleh orang-orang musyrik di Mekkah dan ia benar-benar mendapat cobaan yang sangat besar hingga beliau mau mengucapkan semacam ucapan kafir kepada Allah dan cacian terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang mereka kehendaki.
Kemudian, di lain kesempatan Ammar melaporkan peristiwa itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil menangis. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bagaimana kondisi hatimu?” Ia menjawab, “Aku masih tenang dalam beriman.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda untuk menggembirakannya dan memberinya kemudahan, “Kalau mereka kembali menyiksa kamu, maka silakan lakukan lagi”. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/ 357)).
Hal lain yang menekankan pentingnya kita memperhatikan masalah hati, bahwa hati manusia merupakan raja yang berkuasa, dia adalah pemimpin yang dipatuhi. Maka, kebaikan, keselamatan dan keistiqamahannya adalah modal segala kebaikan, faktor utama untuk meraih segala kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits yang bersumber dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda”:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal darah, apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad ini, dan apabila rusak, maka rusaklah seluruh jasad ini. Ketahuilah, ia adalah hati”. (HR. Al-Bukhari, nomor 52; Muslim, nomor 1599)
Oleh karena itu, selayaknya setiap kita untuk memilki perhatian yang tinggi terhadap urusan hati dan selayaknya pula setiap kita untuk bersungguh-sungguh menjaga hati dari noda-noda yang akan dapat mengotorinya.
Wallahu a’lam
Penyusun : Amar Abdullah
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,