Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.. Amma Ba’du:
Allah Ta’ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah SWT. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imron: 110)
Imam Qurthubi berkata: “ Ayat ini menunjukkan sebuah pujian bagi umat ini selama mereka menegakkan perintah yang disebutkan di dalam ayat tersebut dan mereka bersifat seperti itu, namun jika meraka meninggalkan usaha untuk merubah kemungkaran bahkan bersekongkol dengan kekejian tersebut maka hilanglah pujian tersebut, dan mereka akan menoreh celaan dan hal itu sebagai sebab kehancuran mereka”. (Al-Jami’ liahkamil Qur’an: 4/173)
Dan dari Abi Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, dan jika tidak mampu maka hendaklah dia merubahnya dengan lisannya dan jika dia tidak mampu maka hendaklah dia merubahnya dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman”. (Shahih Muslim: 1/69 no: 49)
Hadits ini sebagai landasan utama dalam usaha merubah kemugkaran, oleh karena itulah para ulama memasukkannya ke dalam kelompok hadits yang menjadi landasan berbagai pokok-pokok ajaran agama, bahkan dikatakan bahwa: Kandungan hadist ini sebagian dari syari’ah, sebab syri’at ini terdiri dari dua perkara, yaitu perkara yang ma’ruf maka wajib dilakasanakan atau perkara yang mungkar maka wajib dicegah.
Hadits ini juga menjelaskan tentang tingkatan dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, yaitu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan dan hal ini wajib dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan kekuatan dengan syarat tidak mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Tingkatan ketiga adalah mengingkari dengan hati, maka hal ini menuntut bagi seorang hamba untuk meninggalkan tempat yang menjadi basis kemungkaran tersebut.
Untuk lebih jelasnya lagi, Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata:
Mengingkari kemungkaran itu memiliki empat tingkatan:
Pertama : Kemungkaran menghilang lalu kebaikan datang menggantikan nya.
Kedua : Kemungkaran menjadi sedikit sekalipun belum hilang secara keseluruhan.
Ketiga : Akan mengakibatkan munculnya kemungkaran yang sama.
Keempat : Menghilangkan kemungkaran namun akan mengakibatkan munculnya kemungkaran yang lebih buruk darinya.
Maka dua tingkatan yang pertama disyari’atkan, dan tingkatan yang ke tiga sebagai obyek untuk berijtihad, sementara yang ke empat diharamkan. (I’lamul Muwaqqi’in: 3/4,5)
Dan Imam Nawawi berkata:
“Dan ketahuilah bahwa bab ini, yaitu bab tentang pembahasan amar ma’ruf nahi mungkar telah banyak disia-siakan dalam masa yang panjang, dan tidak ada yang tersisa pada zaman sekarang ini kecuali wujud yang sangat kecil, perkara ini sangat agung, di mana suatu perkara bisa tegak dan berdiri dengannya, apabila keburukan telah merajalela maka siksa akan merata baik bagi orang yang shaleh dan buruk, dan jika mereka tidak mencegah kemungkaran maka Allah akan meratakan mereka dengan siksa dari-Nya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. Al-Nur: 63)
Dan hendaklah diketahui bahwa pahala akan didapatkan seukuran dengan usaha yang dikeluarkan, dan jangan pula dia meninggalkannya karena ikatan perasahabatan, faktor kecintaan atau mencari muka di hadapannya dan tetap dalam jabatan, sebab hubungan persahabatan, kecintaan menuntut kehormatan dan hak, di antara haknya adalah menasehati dan memberikan petunjuk bagi temannya tersebut kepada kemaslahatan akherat dan menyelamatkannya dari keburukan kemungkaran, dan teman yang sebenarnya bagi seseorang adalah orang yang berusaha dalam mengarahkan seseorang menuju akherat sekalipun hal tersebut mengakibatkan mengurangnya bagian dunia darinya …”. ( Syarah shahih Muslim: Imam Nawawi: 1/24)
Segala puji bagi Allah Ta’la Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk menegakkan agama-Nya dimuka bumi ini.
Diringkas dari terjemahan tulisan Syaikh Amin bin Abdullah As Syaqawi yang berjudul: Al Amru Bil Makruf Wan Nahyi ‘Anil Munkar.
Link: https://islamhouse.com/id/articles/276620/