Imam Ibnu Qayyim –semoga Allah merahmatinya -mengatakan :
Allah ta’ala mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga hal.
Pertama, hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam hukuman zina yang ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari negerinya selama satu tahun.
Kedua, Allah melarang hamba-hambaNya untuk merasa kasihan kepada para pelaku zina sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina itu. Sebab, Allah mensyari’atkan hukuman tersebut didasarkan pada kasih sayang dan rahmatNya pada mereka. Allah itu sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah Allah untuk memerintahkan berlakunya hukuman ini. Oleh karenanya janganlah kasih sayang yang ada di hati kalian itu mencegah kalian untuk melaksanakan perintah Allah.
Hal ini -walaupun sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud) yang disyari’atkan- namun disebutkan dalam hukuman zina suatu kekhususan, karena memang sangat penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai perasaan marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada pezina ketimbang kepada para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal itu. Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka itu membuat tidak diberlakukannya hukuman Allah ta’ala.
Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul? Penyebabnya yaitu karena perbuatan zina ini bisa terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya (melampiaskan libido. pent) dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara hati manusia itu secara tabiat, punya perasaan kasihan pada orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di antara mereka yang siap memberikan bantuan pada mereka, walaupun sebenarnya bentuk dari percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal seperti ini sudah tidak dipungkiri lagi. Dan hal itu memang sudah diakui oleh orang-orang.
Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi dengan adanya suka sama suka dari kedua belah pihak, bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan lainnya yang membuat jiwa orang-orang itu geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh, sehingga timbullah perasaan kasihan yang mungkin akan menghambat ditegakkannya hukuman Allah ta’ala. Ini semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu dapat dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu perintah Allah dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap orang yang dijatuhi hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Allah dalam perintah dan rahmatNya.
Ketiga, Allah ta’ala memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk ataupun rajam, pent) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mukmin, bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hukuman tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr” (membuat jera pelaku dan membuat takut orang lain melakukannya). Hukuman bagi pezina yang “muhshan” (sudah berkeluarga) diambil dari hukuman Allah terhadap kaum Nabi Luth’ yang dilempar dengan batu. Yang demikian itu karena perbuatan zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth’) adalah sama-sama perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang bertentangan dengan hikmah Allah di dalam penciptaan perintahNya. Kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh praktek liwath (homosex) itu sungguh sulit untuk dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut lebih pantas dan lebih baik untuk dibunuh saja; sebab dia itu mengalami kerusakan yang tidak bisa diharapkan untuk baik kembali selamanya. Semua kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah menyerap habis rasa malu dari mukanya, sehingga dia tidak akan malu lagi kepada Allah, juga kepada makhlukNya. Hati dan jiwa orang tersebut sudah dipengaruhi oleh sperma pelaku liwath seperti berpengaruhnya racun dalam tubuh seseorang.
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “ Walaa Taqrabuu az-Zina” (ei), Imam Ibnu Qayyim Al-jauziyah
Amar Abdullah bin Syakir