Terkadang suami istri mendapati kekeliruan dan kekhilafan dari pasangannya, ada yang sengaja maupun tidak disengaja. Supaya rumah tangga berjalan lebih baik maka perlu perpura-pura lupa akan hal itu semua. Ini termasuk hikmah dan ketajaman akal.
Tidak dibenarkan mendalami dan merinci setiap kesalahan. Bahkan sebaiknya, kadang ia melihat kesalahan pasangannya lalu memalingkan pandangan darinya, atau kadang mendengar ucapan tidak enak namun tidak menghiraukannya, dan seterusnya.
Ajakan untuk berpura-pura lupa bukan berarti diam dari kesalahan atau tanpa diluruskan jika itu berulang-ulang. Harus meluruskan sikap-sikap yang salah saat itu terjadi, atau setelah terjadi beberapa lama, baik terhadap pasangan maupun anak-anak, dengan cara yang mendidik.
Pura-pura lupa hanya terpuji saat interaksi dengan orang lain, khususnya dengan pasangan dan anak-anak, serta umumnya pada orang lain. Adapun pura-pura lupa dalam masalah agama dan kehormatan, maka tidak dibenarkan, terlebih jika meninggalkan kewajiban dan terjerumus dalam keharaman. Imam syafi’I berkata, “ orang cerdas yang berakal adalah cerdas dan pandai berpura-pura. “
Umar bin Utsman al-Makki berkata, “Muru’ah itu dengan berpura-pura lupa dari ketergelinciran saudara-saudaranya.” (Shifatush Shafwah, II)
Utsman bin Zaidah berkata, “Kesejahteraan itu ada sepuluh bagian, Sembilan darinya ada dalam sikap pura-pura lupa. Maka aku sampaikan itu kepada Ahmad bin Hanbal, lantas beliau berkata, “Kesejahteraan itu ada sepuluh bagian, seluruhnya ada dalam sikap pura-pura lupa.” (Syu’abul Iman, Baihaqi VI/330)
Seorang penyair berkata :
Aku menutup mata dalam banyak hal
Padahal aku mampu memandangnya
Aku terpejam bukan karena buta, namun mungkin
Kerena pura-pura buta, dan seseorang mampu terpejam meski ia melihat
Aku diam dalam banyak hal yang jikalau aku mau tentu telah kukatakan
Bukan karena ada yang memerintah ucapku
Aku mensabarkan diri dengan kesungguhan dan potensiku
Dan aku teliti terhadap seluruh akhlak orang
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “ Tis’un Wa Tis’una Fikrah li Hayah Zaujiyah Sa’idah”, karya : Dr. Musyabbab bin Fahd al-Ashimi (ei, hal. 90)
Amar Abdullah bin Syakir