Optimis adalah bahan bakar kehidupan. Tanpa optimis kadang timbul gundah, stres, suram, dan berbagai penyakit-penyakit jiwa dan medis di tengah-tengah keluarga. Pasangan suami istri adalah orang yang paling utama menjadikan optimis sebagai pembimbing sepanjang hidup berumah tangga dan berkeluarga. Jadikan seluruh perasaan, ungkapan dan perilaku selalu positif, meski kondisi menghimpit hidup. Anggaplah setiap musibah itu baik.
Optimis adalah menganggap baik setiap kejadian yang dialami, meski itu menyakitkan atau tidak sesuai hasrat. Maknanya ia mampu memandang dengan positif, meskipun dalam pandangannya atau pandangan orang lain sebagai suatu bencana dan petaka. Rumus dalam hal ini adalah firman Allah azza wajalla,
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
…Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Qs. An-Nisa : 19)
Misalnya, hatinya senang dan lapang saat menyaksikan yang baik, serta optimis dengan nama atau pemandangan yang bagus, sebagaimana dilakukan oleh Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan sungguh beliau percaya diri dan senang dengan nama yang baik. Pesimis berarti su’uzan (berprasangka buruk) kepada Allah ta’ala tanpa sebab yang jelas, sedangkan optimis adalah husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya. Seorang mukmin (hendaknya) selalu berhusnuzhan kepada Allah azza wajalla dalam setiap kondisi (Fathul Baariy, X : 226)/
Banyak riset membuktikan bahwa pribadi yang optimis lebih sehat daripada yang pesimis. Dengan demikian, optimis menjadi terapi berbagai penyakit akut. Bisa jadi yang paling penting bagi orang sakit adalah optimis, sebab metabolisme tubuh akan bekerja lebih baik saat optimis. Riset Amerika menguatkan bahwa pesimis dapat membunuh. Setelah penelitian, angka kematian bertambah bagi penderita penyakit jantung disebabkan beban perasaan, di sisi lain mereka terlalu pesimis dengan kondisi yang mereka jalani. (www.kaheel7.com)
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “ Tis’un Wa Tis’una Fikrah li Hayah Zaujiyah Sa’idah”, karya : Dr. Musyabbab bin Fahd al-Ashimi (ei, hal. 57)
Amar Abdullah bin Syakir