Saudaraku… pembaca yang budiman, salah satu hal penting dalam pelaksanakan solat adalah “niat” apa itu niat?, apa hukumnya?, apakah niat termasuk rukun ataukah syarat?, di manakah tempatnya niat? apakah di keraskan ataukah tidak? inilah bahasan pertama kita dalam rubrik fiqih ini. Selamat memabaca!
apa itu niat?
Niat adalah maksud atau keinginan kuat dalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi syar’i niat berarti keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
apa hukumnya?
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Niat adalah fardhu, shalat tidak sah tanpanya, Ibnul Mundzir dalam kitabnya al-Asyraf dan kitab al-Ijma’, Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini, Qadhi Abu ath-Thayyib, penulis asy-Syamil, Muhammad bin Yahya dan lain-lainnya menukil ijma’ ulama bahwa shalat tidak sah tanpa niat.”
Jadi para ulama telah berijma’ bahwa shalat tanpa niat tidak sah, ijma’ ini berdasar kepada hadits Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.”
Apakah niat termasuk rukun ataukah syarat?
Setelah para ulama bersepakat bahwa niat adalah wajib dan bahwa shalat tidak sah tanpanya, mereka berselisih pendapat tentang apakah niat itu rukun shalat ataukah syarat sahnya shalat? Ada yang berkata yang pertama dan ada yang berkata yang kedua, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/276 berkata, “Yang shahih lagi masyhur adalah bahwa ia syarat bukan rukun.” Pilihan Imam an-Nawawi inilah yang shahih karena niat dilakukan di luar atau sebelum shalat, sesuatu yang harus dipenuhi sebelum sesuatu lebih dekat dinamai syarat daripada rukun, karena rukun lazim ada di dalam sesuatu. Penulis sendiri tidak melihat faidah khilaf yang berarti karena pihak yang mengatakan bahwa niat merupakan rukun dan pihak yang mengatakan bahwa niat merupakan syarat menyepakati bahwa ia wajib dan shalat tidak sah tanpanya.
Di manakah tempatnya niat?
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya, bagaimanan dia akan melakukan kalau tidak ada niat di dalam hatinya?
Dari sini maka niat dalam shalat cukup di dalam hati tidak perlu dan tidak dianjurkan untuk dilafazhkan dengan lisan, tidak perlu ada lafzah, ushalli fardha al-maghribi dan sepertinya. Dalam matan al-Muhadzdzab (fikih madzhab asy-Syafi’i) dikatakan, “Tempat niat adalah hati, jika dia berniat dengan hatinya tanpa lisannya maka itu sudah cukup, dan di antara kawan-kawan kami ada yang berkata, ‘berniat dengan hati dan berlafazh dengan lisan’. Dan ini bukan apa-apa, karena niat adalah maksud dengan hati.”
Kita melihat penulis al-Muhadzdzab mengomentari pendapat sebagian kawannya yang mengatakan, ‘Berniat dalam hati dan melafazhkan dengan lisan.’ Ini berarti dia menggabungkan antara niat hati dan lafazh dengan lisan, ini berarti ada talaffuzh dengan niat, penulis al-Muhadzdzab berkata tentangnya, “Bukan apa-apa.”
Asal usul talaffuzh dengan niat adalah kekeliruan dalam memahami ucapan Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- yang terjadi pada salah seorang ulama madzhab asy-Syafi’i Abu Abdullah az-Zubairi, orang ini -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Tidak cukup baginya sehingga dia menggabungkan antara niat hati dan talaffuzh lisan, karena asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam haji, ‘Jika dia berniat haji atau umrah, maka sudah cukup baginya walaupun dia tidak bertalaffuzh, ia tidak seperti shalat, ia (shalat) tidak sah kecuali dengan an-nutqi(ucapan)’.”
Perkara ini telah diluruskan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/277, dia berkata, kawan-kawan kami berkata, “Orang yang berkata ini keliru, maksud asy-Syafi’i dengan ucapan dalam shalat bukan itu, akan tetapi maksudnya adalah takbir. Seandainya dia bertalaffuzh dengan lisannya tetapi tidak berniat dengan hatinya maka shalatnya tidak sah dengan ijma’.”
Dari pelurusan Imam an-Nawawi ini kita mengetahui bahwa Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- tidak menganjurkan talaffuzh bin niyyah (melafazhkan niat), dan bahwa perkara ini datang dari sebagian pengikut madzhab asy-Syafi’i yang keliru memahami ucapan sang Imam, dari sini sudah saatnya dan sudah sepantasnya para pengikut madzhab kembali kepada pendapat sang Imam karena ia adalah pendapat yang benar.
Dalil-dalil yang menetapkan tidak adanya talaffuzh dalam niat
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam membuka shalat dengan takbir.” Jadi sebelum takbir tidak ada talaffuzh dengan niat, karena jika ada maka Aisyah akan menyampaikannya.
Abdullah bin Umar berkata, “Aku melihat Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam membuka shalat dengan takbir, beliau mengangkat…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Jika sebelum takbir ada sesuatu ucapan, tentu Ibnu Umar akan menyampaikannya.
Demikian pula dengan pelajaran shalat Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki yang shalat dengan buruk, “Jika kamu shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah al-Qur`an yang termudah bagimu…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Mana talaffuzh dengan niat? Adakah Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam lupa mengajarkannya kepada laki-laki ini yang membutuhkan ilmu tentang shalat?
Imam Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/201 berkata tentang masalah ini, “Jika Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam berdiri shalat beliau berkata, ‘Allahu Akbar’ beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya, tidak bertalaffuzh dengan niat sekalipun, beliau tidak berkata, ‘Saya shalat karena Allah begini menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Tidak pula beliau berucap, ‘Sebagai pelaksanaan atau qadha’ dan tidak pula, ‘kewajiban waktu’. Ini adalah sepuluh bid’ah, tidak seorang pun yang menukil satu lafazh pun darinya dari beliau, tidak dengan sanad shahih maupun dhaif, tidak dengan sanad maupun mursal, bahkan tidak dari seorang sahabat beliau, tidak seorang pun dari kalangan tabiin yang menyatakannya, begitu pula dengan para Imam yang empat, akan tetapi yang terjadi adalah kekeliruan sebagian kalangan mutaakhkhirin dalam memahami ucapan asy-Syafi’i dalam shalat, ‘Ia tidak seperti puasa, dan seseorang tidak masuk ke dalamnya kecuali dengan dzikir.’ Maka dia menduga bahwa dzikir di sini adalah bertalaffuzh dengan niat, padahal maksud asy-Syafi’i dengan dzikir adalah ucapan Allahu Akbar, bukan lainnya, bagaimana mungkin asy-Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dalam satu shalat pun, tidak pula dilakukan oleh para khulafa’ Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau, ini adalah petunjuk dan sirah mereka, jika ada orang yang bisa menghadirkan satu huruf dari mereka maka kami menerimanya, dan tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah selain apa yang mereka terima dari peletak syariat Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam.” Allohu a’lam.
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet