Natal
Toleransi sering dijadikan alasan sebagian masyarakat Muslimin untuk turut berpartisipasi dalam perayaan hari-hari besar agama lain. Padahal, Hari Raya adalah masalah agama dan aqidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam sabda beliau kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu pada hari Idul Fitri:
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا
”Setiap kaum memiliki hari raya, dan ini (Idul Fitri) adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, turut merayakannya berarti ikut serta dalam bagian ritual ibadah mereka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al-Albani).
Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma beliau pernah berkata:
“Barangsiapa lewat di negeri non Arab, lalu mereka sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.” (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I/723-724).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—rahimahullah—berkata:
“ apabila seorang Muslim menjual kepada mereka pada hari-hari raya mereka segala yang mereka gunakan pada hari raya tersebut, berupa makanan, pakaian, minyak wangi dan lain-lain, atau menghadiahkannya kepada mereka, maka itu termasuk menolong mereka mengadakan hari raya mereka yang diharamkan. Dasarnya adalah kaidah yang mengatakan tidak boleh menjual anggur kepada orang kafir yang jelas digunakan untuk membuat minuman keras. Juga tidak boleh menjual senjata kepada mereka bila digunakan untuk memerangi kaum Muslimin. Kemudian beliau menukil dari Abdul Malik bin Habib dari kalangan ulama Malikiyyah, “Sudah jelas bahwa kaum Muslimin tidak boleh menjual kepada orang-orang Nashrani sesuatu yang menjadi kebutuhan hari raya mereka, baik itu daging, lauk-pauk atau pakaian. Juga tidak boleh memberikan kendaraan kepada mereka, atau memberikan pertolongan untuk hari raya, karena yang demikian itu termasuk memuliakan kemusyrikan mereka dan menolong mereka dalam kekufuran mereka.” (Al-Iqtidhaa 229-231).
Maka jelas kita bertasyabbuh, meridhai dan berpartisipasi dalam kegiatan mereka, apabila kita bersukaria, berpesta, memakan makanannya, berpartisipasi dalam acara non Muslim, memberi hadiah, memberi ucapan selamat, menjual kartu selamat, menjual segala keperluan hari raya mereka, baik itu lilin, pohon natal, makanan, kalkun, kue dan lain-lainnya.
Tahun Baru
Pada malam Tahun Baru orang-orang seakan secara serempak mengabaikan sisi moral dan kesusilaan. Bunyi terompet diselingi gelak tawa (bahkan dengan minuman keras) bersahut-sahutan di setiap tempat. Sepeda motor mengepulkan asap hingga mirip ‘dapur berjalan’ meraung-raung.
Mobil-mobil membunyikan klakson sepanjang jalan. Cafe, diskotik dan tempat-tempat hiburan malam sesak padat. Orang-orang ‘tumpah’ di jalanan dengan satu tujuan: merayakan Tahun Baru.
Sebenarnya Tahun Masehi adalah tahun yang baru bagi bangsa Indonesia, karena ia tidak memiliki akar kultur dan tradisi dalam sejarah bangsa ini. Ada beberapa faktor yang dapat mendukung Pendapat ini:
Pertama, latar belakang sosioal-historis. Berlakunya tahun Masehi tidak bisa dipisahkan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristen, yang dianut oleh masyarakat Eropa. Kalender ini baru diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap atas seluruh rakyat Hindia Belanda.
Kedua, karena latar belakang teologis. Sebagaimana diketahui, kalender Gregorian diciptakan sebagai ganti kalender Julian yang dinilai kurang akurat, karena awal musim semi semakin maju, akibatnya, perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325, tidak tepat lagi.
Jadi secara historis dan kultural bangsa kita pun, tahun baru Masehi tidak perlu dirayakan. Terlebih lagi jika ditinjau dari sisi aqidah al wala’ wal bara’ (loyalitas dan pelepasan diri) dalam agama Islam.
Sedangkan kalender Hijriyah, disebut sebagai kalender Islam (at-taqwim al-hijri), karena ditetapkan sejak hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ia ditetapkan sebagai tahun Islam setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat atas inisiatif Khalifah kedua, Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu pada tahun 638 M (17 H). Hijrah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditetapkan sebagai awal kalender Islam, menyisihkan dua pendapat lainnya, yaitu hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan hari wafat beliau.
Sejak kedatangan Islam hingga awal abad ke-20, kalender Hijriyah berlaku di nusantara. Bahkan raja Karangasem, Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah (1894 M).
Meski demikian, hal ini tidak bisa secara otomatis dijadikan sebagai justifikasi pentingnya merayakan tahun baru Hijriyah yang juga tinggal menghitung hari. Mengingat sejauh ini tidak ditemukan teks agama yang menganjurkan perayaan tahun baru Hijriyah.
Fatwa Ulama Menyikapi Hari Raya Non Muslim
Fatwa Syaikh Muhammad Ibn Shalih al Utsaimin—rahimahullah:
Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’ (kesepakatan ulama). Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya Ahkamu Ahlidz-dzimmah, beliau berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah haram, menurut kesepakatan.
Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya.
Maka dalam hal ini, bisa jadi orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibenci dari pada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya.
Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan Allah.” Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim—rahimahullah).
Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk meridhai syiar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena Allah tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya:
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar 39: 7).
Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman, artinya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maaidah: 3)
Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (Muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai Allah, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syariatnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85).
Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk dari pada hanya sekadar memberi selamat kepada mereka, di mana di dalamnya akan menyebabkannya turut berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur kerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtidha’ Ash Shirathal Mustaqiim, “Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka menyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada mereka. Bisa jadi hal itu sangat menguntungkan mereka guna memanfaatkan kesempatan untuk menghina/merendahkan orang-orang yang berfikiran lemah”. Akhir dari perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah—rahimahullah. (Majmu’ Fatawa, Fadlilah asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, III/44-46 No.403).
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet