Berlibur, refreshing dan jalan-jalan hukum asalnya boleh-boleh saja, karena memang pada dasarnya salah satu kebutuhan jiwa adalah beristirahat dari penatnya pekerjaan dan kesibukan. Namun, ada satu hal penting yang harus diperhatikan saat hendak berliburan, yaitu selektif dalam memilih lokasi; bukan hanya tentang keindahan tempat atau bagusnya tempat tersebut, namun apakah tempat tersebut telah menjadi sarang kemaksiatan sehingga kemungkaran terjadi disana terang-terangan atau tidak, jika jawabannya iya, maka hendaklah mencari opsi lain, mengapa? Karena hukum Nahi Mungkar tidaklah asing lagi ditelinga kaum muslimin, yaitu wajib, berdasarkan hadits Nabi Shalallahu’Alaihi Wa Sallam:
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
[رواه مسلم]
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)
Berangkat dari hadits diatas, Ulama menyimpulkan bahwa kemungkaran yang terlihat harus diingkari sesuai kemampuan, jika memiliki kuasa maka laranglah dengan tangan, jika memiliki pengaruh maka cegahlah dengan lisan atau teguran, namun jika tidak memiliki keduanya, maka minimal seorang muslim tetap mengingkari kemungkaran tersebut dengan hatinya, dan tidaklah cukup mengingkari dengan hati bagi yang mampu menggunakan lisannya, dan tidaklah cukup lisan semata bagi mereka yang ditangannya terdapat kekuasaan untuk mencegah dan melarang.
Oleh karena itu, barangsiapa yang berada di suatu tempat yang terjadi padanya kemungkaran namun ia tidak meresponnya, dan tetap berada di tempat tersebut, maka layaknya ia seperti pelaku kemungkaran tersebut, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu’Alaihi Wa Sallam:
«من شهد المعصية وكرهها كان كمن غاب عنها ومن غاب عنها ورضيها كان كمن شهدها»
“Barangsiapa yang melihat kemaksiatan dan ia membencinya maka seakan ia tidak melihatnya, dan barangsiapa yang meskipun tidak melihatnya namun ridho terhadap kemaksiatan tersebut maka ia seperti orang yang melihatnya”. (HR Abu Dawud)
Berkata Imam Al Qurthuby:
قال القرطبي: “فدل بهذا على وجوب اجتناب أصحاب المعاصي إذا ظهر منهم منكر؛ لأن من لم يجتنبهم فقد رضي فعلهم، والرضا بالكفر كفر”. تفسير القرطبي ٤١٧/٥
“Maka ini menunjukkan kewajiban untuk menjauhi para pelaku maksiat apabila tampak dari mereka suatu kemungkaran; karena barangsiapa yang tidak menjauhi mereka maka berarti ia ridho dengan apa yang mereka kerjakan, dan ridho terhadap kekufuran sama dengan kufur”. (Tafsir Al Qurthuby 417/5)
Dan Berkata Ibnu Taimiyah:
قال ابن تيمية: “ولا يجوز لأحد أن يحضر مجالس المنكر باختياره لغير ضرورة.
“Tidak boleh bagi seseorang untuk hadir di majlis (acara) yang padanya kemungkaran dengan kemauan sendiri tanpa ada keharusan”.
Pernah suatu kali dihadapkan kepada Umar bin Abdul Aziz sekelompok orang yang meminum khamar, maka ia perintahkan untuk mencambuk mereka, kemudian ada yang mengatakan kepadanya bahwa diantara sekelompok orang tersebut ada yang sedang berpuasa, maka Umar bin Abdul Aziz pun berkata:
“Kalau begitu, mulailah (pencambukan) darinya!, Tidakkah kalian mendengar firman Allah Ta’ala:
﴿ وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ﴾ النساء: 140.
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Qur’an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam Jahannam.” (QS An-Nisaa’:140)
Maka Umar bin Abdul Aziz menerangkan bahwa Allah Ta’ala menjadikan orang yang berada di tempat kemungkaran (namun tidak melarangnya) sama seperti pelakunya.
(Majmu’Fatawa 217/28)
Jadi, selektiflah dalam memilih tempat berliburan, jangan sampai berada ditempat yang penuh dengan kemungkaran dan engkau tetap duduk disana menikmati suasana sedangkan hukum-hukum Allah Ta’ala dilanggar disekelilingmu.
Dan jadilah pelopor Amar Makruf Nahi Munkar, tegaslah kepada orang-orang yang datang kepadamu dan hendak berbuat kemungkaran didepanmu.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.