Dari Jabir bin ‘Abdillah -radliyallahu ‘anhu- ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki yang dikerumuni banyak orang dan diberi naungan. Beliau bertanya : “Kenapa dia ?”. Mereka menjawab : “Ia sedang berpuasa”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُوْمُوْا فِي السَّفَرِ
“Kalian berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah kebaikan”. [1]
Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhainya- meriwayatkan bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- keluar ke Makkah pada tahun penaklukan kota Makkah. Beliau dan rombongan bepuasa hingga sampai Kura’ al-Ghamim [2] beliau meminta didatangkan Qadah[3] yang berisi air. Lalu, beliau mengangkatnya hingga orang-orang melihat ke arah beliau, kemudian beliau meminumnya. Setelah itu, dikatakan kepada beliau, “sesungguhnya, sebagian orang tetap berpuasa. Beliau pun bersabda : “mereka para pembangkan, mereka para pembangkang [4]
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami pernah bersama Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– di daerah Marri Zhahraan [5]. Beliau diberi makanan, lalu berkata kepada Abu Bakar dan Umar, mendekatlah kalian berdua lalu makanlah (makanan ini). Maka, keduanya mengatakan : sesungguhnya kami berdua tengah berpuasa. Maka beliau berkata (kepada para sahabat yang kala itu ada) “Lakukanlah sesuatu untuk kedua sahabat kalian ini, beranjaklah pergi kalian untuk kedua sahabat ini “ (dan beliau berkata kepada Abu Bakar dan Umar) : mendekatlah kalian berdua (ke mari) lalu makanlah ! [6]
- Ihtisab di dalam Hadis
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang memberatkan dirinya dengan berpuasa kala bepergian jauh, dan tidak mengambil rukhshah (keringanan) yang diberikan (oleh syariat)
Kedua, Seorang muhtasib hendaknya mengambil rukhshah yang diberikan dan berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap orang yang meninggalkan rukhshah tersebut karena enggan dan memperberat diri.
Penjelasan :
- Berihtisab, amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang memberatkan dirinya dengan berpuasa kala bepergian jauh, dan tidak mengambil rukhshah (keringanan) yang diberikan (oleh syariat)
Para salaf [7]–semoga Allah merahmati mereka- berbeda pendapat tentang puasa saat safar, apakah tetap berpuasa lebih utama ataukah tidak berpuasa yang lebih utama, ataukah kedua hal tersebut sama saja, tidak ada yang lebih utama atas yang lain ?
Mayoritas berpendapat bahwa berpuasa lebih utama bagi orang mampu melakukannya tanpa adanya kesulitan yang tampak dan tidak pula membahayakan. Namun jika berpuasa membahayakannya, maka berbuka (tidak berpuasa) adalah yang lebih utama. Kerena, dengan tetap berpuasa (bagi orang yang mampu tanpa adanya kesulitan), hal tersebut menjadikannya segera bebas dari kewajiban.
Sebagian mereka berpendapat bahwa tidak berpuasa lebih utama secara muthlak, dan tetap berpuasa makruh hukumnya.
Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa tidak berpuasa dan berpuasa sama saja.
Sebagian yang lainnya berpendapat, yang paling utama antara keduanya adalah mana dari keduanya yang mudah, maka dari itu siapa yang mendapati dirinya kekuatan (untuk berpuasa) lalu ia berpuasa, maka hal tersebut adalah baik. Dan, siapa yang mendapati kelemahan pada dirinya lalu ia tidak berpuasa, maka yang demikian itu juga baik. Pendapat ini menguatkan pendapat mayoritas. Wallahu a’lam
Dari beberapa pendapat kalangan ahli ilmu ini menjadi jelaslah bahwa barangsiapa yang mendapati kesulitan untuk berpuasa saat bepergian jauh, ia boleh untuk tidak berpuasa. Inilah yang lebih utama baginya. Dan semua hadis-hadis yang disebutkan menunjukkan disyariatkannya “tidak berpuasa” bagi orang yang mengalami kesulitan atau akan membahayakannya bila mana tetap berpuasa. Hal demikian itu karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepada seorang lelaki yang diberi naungan :
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُوْمُوْا فِي السَّفَرِ
“kalian berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah kebaikan”.
Dan beliau mengingkari terhadap sebagian sahabatnya yang tidak mau berbuka, dengan ucapan beliau : “mereka para pembangkan, mereka para pembangkang. Dan, beliau juga memerintahkan kepada Abu Bakar dan Umar –semoga Allah meridhai keduanya- agar berbuka (membatalkan puasanya) seraya mengatakan : mendekatlah kalian berdua(ke mari), lalu makanlah !
Oleh karena itu, seorang muhtasib hendaknya mengingkari terhadap orang yang berpuasa saat bepergian jauh yang mana hal itu akan menyulitkan dan membahayakannya. Hendaknya, seorang muhtasib memerintahkan orang tersebut untuk mengambil rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa saat itu. Karena Allah telah memberikan uzur dengan firman-Nya :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain [8] dan Allah azza wajalla berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu [9]
Dan Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِرَخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوْهَا
Maka hendakklah kalian mengambil keringanan dari Allah yang Allah berikan kepada kalian, terimalah rukhshah tersebut ! [10]
Beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- juga bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُتْرَكُ مَعْصِيَتُهُ
Sesungguhnya Allah azza wajalla suka rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia suka kemaksiatan kepadaNya ditinggalkan. [11]
- Seorang muhtasib hendaknya mengambil rukhshah yang diberikan dan berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap orang yang meninggalkan rukhshah tersebut karena enggan dan memperberat diri.
Seorang Muhtasib hendaklah menjadi teladan bagi orang lain. Maka, tidaklah layak ia melarang sesuatu sementara dirinya melakukan sesuatu yang dilarangannya tersebut. Tidak layak pula ia memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu namun ia justru meninggalkannya. Hendaknya seorang muhtasib menjadikan Nabi sebagai suri teladannya dalam hal tersebut. Sesungguhnya Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- kala bepergian pada tahun penaklukan kota Makkah dalam kondisi berpuasa dan demikian juga orang-orang yang ikut serta bersama beliau, tampak jelas pada beliau bahwa puasa itu memberatkan para sahabatnya. Maka, beliau minta untuk didatangkan sewadah air, lalu beliau mengangkat wadah yang berisi air tersebut sehingga orang-orang yang bersama dengan beliau melihatnya. Lantas, beliau meminumnya, karena beliau adalah teladan bagi mereka. Kala orang-orang melihat beliau, beliau membatalkan puasanya, maka orang-orang pun membatalkan puasanya. Kemudian, sampai berita kepada beliau bahwa ada sebagian di antara mereka yang tetap berpuasa. Maka, beliau mengingkari (perbuatan) mereka, seraya mengatakan : Mereka itu para pembangkang, mereka itu para pembangkang.
Oleh karenanya, seorang muhtasib dan yang lainnya hendaknya mengambil rukhshah kala membutuhkannya, tidak meninggalkannya karena membebani dan memberatkan diri, sekalipun ia telah berpuasa untuk waktu yang cukup lama [12] . Karena barangsiapa yang memperberat dirinya dengan berpuasa saat bepergian dan berakibat membahayakan dirinya dan ia tidak berbuka (tidak membatalkan puasanya) “maka sungguh ia telah bermaksiat dengan puasanya tersebut [13]
Dan, seorang muhtasib merupakan teladan untuk orang lain dalam melakukan tindakan-tindakan yang disyariatkan. Oleh karenanya, hendaknya ia menjelaskan hukum-hukum syar’i kepada khalayak dengan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatannya; hal itu agar diteladani dan akan menjadikan tenangnya hati di tengah-tengah masyarat umum.
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bsin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.193-195)
[1] HR. al-Bukhari, 4/216, hadis no. 1946, Muslim, 7/233, hadis no. 2607
[2] Kura’ al-Ghamim nama sebuah daerah yang terletak antara Makkah dan Madinah.
[3] Qadah, sebuah wadah yang digunakan untuk makan/minum. An-Nihayah, 4/20
[4] HR. Muslim, 7/323, hadis no. 2605
[5] Marri zhahran adalah sebuah lembah yang terletak antara Makkah dan ‘Ashfaan dan sebuah perkampungan yang ditambahkan kepadanya penyebutan Marrun, dengan huruf mim difathah dan huruf ra ditasydid. (An-Nihayah, 3/167, Mu’jam al-Buldan, 3/63
[6] HR. al-Hakim, 1/433, al-Baihaqi 4/246. Hadis ini dishahihkan isnadnya oleh syaikh al-Albani seperti dalam ta’liqnya terhadap shahih Ibnu Khuzaemah, 3/261
[7] Lihat, Tafsir ath-Thabari, 2/152; Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir 1/222 Syarh Muslim, an-Nawawi 7/230, Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 4/216; Umdatul Qari, al-‘Ainiy 11/43; at-Tamhiid, Ibnu Abdil Baar, 2/171, al-‘Ainiy, al-Mughniy, Ibnu Qudamah, 4/406; Tuhfatul Ahwadzi, al-Mubarakfuri 3/325, ‘Aunul Ma’buud, al-Azhim Aabaadiy, 7/29
[8] Qs. Surat al-Baqarah : 184
[9] Qs. Surat al-Baqarah : 185
[10] HR. Ibnu Khuzaemah, 3/259, hadis no. 2026; Muslim 7/233, hadis no. 2609
[11] HR. Ibnu Khuzaemah, 3/259, hadis no. 2027; Ahmad, 2/162
[12] Lihat : Shahih Ibnu Khuzaemah, 3/261; Sunan al-Baihaqi, 4/246, Subulussalam, ash-Shan’aniy, 2/328
[13] Lihat : al-Mufhim, al-Qurthubi, 3/180; Umdatul Qari, al-‘Ainiy, 11/49, Subulussalam, ash-Shan’aniy, 2/328