Sungguh, nikmat yang teragung dan terbesar adalah Allah mengutus Rasul-Nya Muhammad kepada ummat ini dengan membawa kebenaran dan petunjuk yang dengan itu ia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya; ia mewajibkan kepada mereka untuk mencintainya dengan kecintaaan yang mengungguli kecintaan kepada seluruh makhluk, sebagaimana sabda beliau :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum aku dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kecintaan kepada Nabi adalah dengan mengikuti beliau dan berjalan di atas jejaknya. Bukan dengan mengadakan perkara baru yang tidak disyariatkan. Allah berfirman, artinya, Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran : 31)
Di antara bentuk perkara baru adalah apa yang diada-adakan oleh sebagian orang di bulan Rabi’ul Awwal, yaitu : merayakan Maulid Nabi; di mana mereka berkumpul pada malam tanggal 12, mereka beramai-ramai bershalawat kepada Nabi dengan bentuk shalawat yang dibuat-buat, membaca sanjungan dan pujian-pujian kepada Nabi yang berlebih-lebihan yang dilarang oleh Nabi. Beliau e bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
Wahai sekalian manusia! jauhilah oleh kalian sikap/tindakan ghuluw (berlebihan) di dalam agama ini, karena ghuluw dalam perkara agama telah menyebabkan orang-orang sebelum kalian binasa. (HR. Ibnu Majah dan an-Nasai)
Perkara bid’ah ini pertama kalinya dilakukan oleh kalangan al-Ubadiyyun pada abad ke-4 Hijriyah. Mereka itu dari kalangan Rafidhah Bathiniyyah yang dikatakan oleh al-Baqilaniy, “mereka kaum yang menampakkan fanatisme dan menyembunyikan pengingkaran”.
Berkata Ibnu Katsir, “al-Qadhi al-Baqilaniy telah mengarang kitab untuk membantah mereka kaum yang menisbatkan dirinya kepada kalangan Fathimiyyun, beliau menamai kitabnya dengan, “ Kasyfu al-Asrar Wa Hatku al-Astar”, di dalamnya beliau menguraikan secara panjang lebar tentang borok dan kejelekan mereka, menjelaskan hakekat ajaran mereka kepada setiap orang sehingga faham akan kecongkakan dan kesombongan perbuatan dan perkataan mereka, beliau mengatakan dalam salah satu ungkapannya, “mereka itu adalah sekelompok kaum yang menampakkan fanatisme dan menyembunyikan pengingkaran” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 15/539-540)
Tidak sedikit kalangan yang merayakan maulid Nabi beranggapan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kesempurnakan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkannya dan menghormatinya. Sejatinya, ini tidaklah benar. Karena, mencintai beliau, mengagungkan dan menghormatinya tidaklah terwujud dengan menyelisihi petunjuknya dan membuat-buat hal baru dalam agama yang telah disempurnakan oleh Allah untuknya dan ummatnya. Mewujudkan rasa cinta kepada beliau, mengagungkan dan menghormatinya adalah dengan senantiasa mentaatinya, mengikuti perintahnya, dan mengambil petunjuknya, menggigit sunnahnya dengan gigi geraham, dan menghidupkan sunnahnya dengan perkataan dan perbuatan, serta menjauhkan diri dari segala bentuk perkara baru yang telah diwanti-wantinya dan telah diberitakan olehnya bahwa hal-hal tersebut merupakan keburukan dan kesesatan. Nabi bersabda,
لَا يٌؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
Tidak beriman seorang di antara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah, no. 15 dari Abdullah bin Umar. Syaikh al-Albani melemahkan sanandnya di dalam Zhilalu al-Jannah (1/12). Akan tetapi maknanya shahih dan didukung dengan firman Allah, yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. An-Nisa : 65))
Jalan inilah yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
Sungguh, para sahabat adalah orang-orang yang sangat mencintai Nabi, paling mengagungkan dan menghormati beliau, dan mereka juga orang-orang yang paling bersemangat melakukan kebaikan dibanding orang-orang yang datang setelah mereka; namun begitu mereka tidak memperingati kelahiran beliau dan tidak pula menjadikannya sebagai sebuah perayaan, kalaulah saja melakukan perayaan maulid merupakan bagian dari rasa cinta kepada Nabi yang paling rendah tingkatannya niscaya mereka akan sedemikian bersemangat melakukan hal tersebut dan telah menjadi orang-orang pertama yang melakukannya.
Maka, cukuplah bagi kita jalan yang pertama, Ibnu Umar berkata, “Barangsiapa ingin mengambil teladan maka hendaklah mengambil teladan orang-orang yang telah meninggal dunia, mereka itulah para sahabat Nabi Muhammad, mereka adalah orang-orang terbaik ummat ini, yang berhati paling bagus, paling mendalam ilmunya, paling sedikit membebani diri, sekelompok orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi shabat Nabi; oleh karenanya, hendaklah kalian berusaha meniru akhlak mereka dan cara beragama mereka, karena mereka para sahabat Muhammad Sallallahu alaihi wa sallam berada di atas petunjuk yang lurus, demi Allah Rabb pemilik Ka’bah. (HR. Abu Nu’aim di dalam Hilyatu al-Auliya 1/305). Berkata Ibnu Mas’ud, “hendaknya kalian mengambil petunjuk yang pertama (as-Sunnah, 80, al-Marwaziy), beliau juga berkata, “ ikutilah, janganlah membuat-buat perkara baru, sungguh telah cukup bagi kalian, dan setiap perkara bid’ah adalah sesat (HR. ad-Darimiy, no. 211)
Mareka adalah para sahabat yang Allah berfirman tentang mereka,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (Qs. Ali Imran : 110)
Nabi bersabda tentang mereka,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي
Sebaik-baik generasi adalah yang hidup di masaku (yakni, para sahabat) (HR. al-Bukhari, no. 3651 dan Muslim, no. 2533).
Sementara mereka tidak mengadakan peringatan atau perayaan maulid Nabi, tidak pula generasi yang mengikuti mereka dengan baik, padahal mereka orang-orang yang paling mencintai Nabi dan paling bersemangat di dalam menerapkan sunnahnya, paling jauh dari melakukan perkara bid’ah dan kemungkaran. Imam Malik berkata, “tidak akan menjadi baik akhir ummat ini kecuali dengan melakukan perkara yang telah menjadikan baik generasi ummat yang pertama (Dinukil oleh al-Qadhi ‘Iyadh di dalam kitabnya, “asy-Syifa bi ta’riifi Huquqi al-mushthafa (2/205).
Baleh jadi ada yang berkata : sesungguhnya orang-orang yang melakukan perayaan atau peringatan maulid tujuannya baik, mereka tidak menginginkan kecuali ridha Allah, menampakkan rasa cinta kepada Nabi dengan melakukan perayaan tersebut.
Kita katakan : bahwa tujuan yang baik harus selaras dengan sunnah Nabi, sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sebuah riwayat bahwa salah seorang sahabat pernah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ied karena ia suka untuk memberi makan Nabi dari sebagian daging kurbannya tersebut seusai beliau melaksankan shalat ied, namun kala Nabi mengetahui hal tersebut, beliau berkata kepadanya,
شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ
“kambing yang kamu sembelih adalah kambing daging biasa” (yakni, kambing yang kamu sembelih tersebut bukan merupakan kurban, kamu tidak mendapatkan pahala kurban, bahkan kambing yang kamu sembelih tersebut sama halnya dengan kambing yang dipotong hanya sekedar untuk dimakan) (HR. al-Bukahri, no. 955 dan Muslim, no. 1961)
Yakni, sembelihannya tersebut bukan sebagai kurban karena ia menyembelihnya diluar waktu yang telah ditentukan untuk menyembelih kurban, maka yang demikian itu menyelisihi sunnah, kebaikan tujuannya tidak memberikan faedah kepadanya karena tindakannya yang menyelisihi sunnah.
Sebagian orang yang membolehkan melakukan bid’ah maulid ini berdalih, “ bila mana ahlu salib (kalangan Nasrani) menjadikan malam kelahiran Nabi mereka sebagai perayaan yang paling besar, maka ahlu islam (ummat Islam) lebih utama dan lebih layak tentunya untuk memuliakan (Nabinya) (Dikatakan oleh as-Sakhawiy di dalam kitabnya, at-Tibr al-Masbuk Fii Dzaili as-Suluk, hal. 14). Ini adalah pengakuannya bahwa dilakukannya perayaan Maulid Nabi untuk menyerupai kalangan Nasrani yang menjadikan kelahiran al-Masih sebagai hari perayaan. Maka, benar sekali apa yang dikatakan oleh Nabi,
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Sungguh kalian akan mengikuti cara, jalan dan tradisi/kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga pun kalau mereka masuk ke dalam lobang Dhabb(binatang sejenis biawak) niscaya kalian akan mengikuti mereka. Kami (para sahabat) berkata : wahai Rasulullah, apakah mereka Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab, “siapa lagi kalau bukan mereka”. (HR. al-Bukhari, no. 3456 dan Muslim, no. 2669)
Dengan demikian, tindakan merayakan atau memperingati Maulid Nabi menyerupai tindakan kalangan Nasrani atas kesaksian sebagian kalangan yang menganggap hal tersebut baik. Padahal, Nabi telah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai (tindakan) suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud, no. 4031)
Maka dari itu, berhati-hatilah Anda dari tertipu oleh semisal ini sehingga Anda tidak terjatuh ke dalamnya. Allah berfirman, yang artinya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Qs. An-Nuur : 63)
Penulis :
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Disarikan dari “ Hukmu al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawiy”, Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Badr.