Diantara rahmat Allah subhanahu wata’ala kepada umat ini adalah bahwasanya Ia menutupi aib hambanya walaupun hamba tersebut adalah seorang pelaku maksiat, selama hamba tersebut masih menutupi perbuatannya dari pandangan orang lain. Syariat islam memerintahkan kita untuk saling menutupi aib saudara sesama muslim, dan membenci orang-orang yang suka membuka aib saudaranya atau membuka aibnya sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كل أمتي معافى إلا المجاهرين، وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملا، ثم يصبح وقد ستره الله، فيقول : يا فلان، عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربه، ويصبح يكشف ستر الله عنه). أخرجه البخاري عن أبي هريرة 1 – رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ – رقم 6069 )
“Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujahirun (orang yang terang-terangan berbuat dosa), dan termasauk bentuk Mujaharoh (terang-terangan dalam berbuat dosa) adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian pada pagi hari dosanya telah ditutup oleh Allah, dia berkata: “Wahai fulan semalam aku telah melakukan seperti ini dan ini (menceritakan dosanya).” Allah telah menutupi dosanya di malam hari, tetapi dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” (HR. Imam Bukhari)
Syariat juga mengharamkan kepada kita untuk membuka aib orang lain dan mengancam orang-orang yang suka membuka aib orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإِيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين، ولا تتبعوا عوراتهم، فإِنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته، ومن يتبع اللّه عورته يفضحه في بيته.
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya ! Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin. Jangan pula kalian mencari-cari aib/kesalahan mereka. Karena, sesungguhnya orang yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan cari-cari aib yang ada pada dirinya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, maka Allah akan ungkap aibnya tersebut meskipun dia ada di dalam rumahnya” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4880)
Hal ini adalah yang harus dilakukan oleh seorang muhtasib dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menutupi aib orang yang berbuat maksiat selama ia tidak melakukannya terang-terangan dan tidak terdapat alasan yang syar’i untuk membukanya. Sehingga tidak dibenarkan seorang muhtasib berdakwah kepada orang tertentu tanpa memperhatikan etika dalam berdakwah, misalnya menasehati seseorang yang melakukan kesalahan secara sembunyi-sembunyi dengan terang-terangan didepan umum. Karena hal ini akan menimbulkan kebencian pada diri orang yang didakwahi tersebut sehingga ia menolak ajakannya walaupun ia tahu bahwa itu adalah ajakan yang benar.
Oleh karena itu Imam Syafii berkata.
“Barangsiapa menasehati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi maka ia telah menasehati dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasehati saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mempermalukan dan menghinakannya.”
Alangkah baiknya jika seorang muhtasib benar-benar memahami masalah ini, sehingga ia tidak menasehati seseorang kecuali di tempat yang jauh dari pendengaran dan penglihatan orang lain. Jika hal ini dilaksanakan dengan baik dan ikhlas insyaallah hati orang yang diajak akan mudah terbuka.
Hal ini lebih ditekankan jikalau orang yang diajak adalah orang yang lebih tua darinya atau derajatnya diatasnya, misalnya atasan atau pemerintah dan lain sebagainya.
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya?”. Maka Usamah menjawab : “Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya” (HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989)
Imam Nawawi berkata dalam mengomentari hadits ini, “Dalam hadits ini terdapat pelajaran dalam beretika kepada pemimpin, bersikap lembut terhadap mereka, menasehati mereka secara rahasia, dan menyampaikan kepada mereka apa yang orang-orang bicarakan tentang mereka agar mereka dapat menghindarinya, tapi ini semua jika memungkinkan, dan jika menasehati dan mengingkari dengan cara rahasia (tidak membuahkan hasil), maka hendaklah ia mengingatkannya terang-terangan agar yang haq tidak hilang.” (Syarh Shahih Muslim, Karangan Imam Nawawi 18/118)
Namun perlu diketahui bahwasanya menutupi perbuatan jelek orang lain bukan mutlak dalam seluruh keadaan, ada keadaan-keadaan tertentu yang menjadikan aib seseorang boleh dibuka bahkan wajib. Misalnya ada orang yang berniat untuk berbuat buruk kepada seseorang atau kepada masyarakat, maka sebelum ia melakukannya maka orang yang mengetahui hal tersebut tidak boleh diam, ia harus memberitahu orang sekitar akan bahaya orang tersebut.
Ibnu Katsir menyebutkan 3 macam dosa dan pelaku dosa yang harus ditutupi yaitu:
- Orang yang terjatuh kedalam perbuatan maksiat, maka ia diperintahkan untuk menutupi perbuatannya dan bertaubat kepada Allah.
- Orang yang melihat suatu maksiat dan pelakunya maka ia diperintahkan untuk menutupinya selama tidak ada keperluan darurat yang syar’i untuk membukanya.
- Penguasa atau pemimpin, maka mereka diperintahkan untuk menutupi pelaku maksiat dan menawarkan taubat kepada mereka. Ini berlaku kepada mereka yang patut ditutupi dan tidak terkenal dengan kefasikannya, sedangkan jika kemungkarannya meupakan kemungkaran yang harus dilakukan had atasnya, maka had tersebut wajib dilaksanakan.
Diantara beberapa keadaan yang membolehkan seseorang membuka aib orang lain adalah sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar pada bab “Ghibah yang Dibolehkan” yang telah kami tulis di artikel kami: Jangan Makan Daging Saudaramu! (Bagian 2)
Wallahu ta’ala a’lam.
Referensi :
- http://feqhweb.com/
- Kitab ‘Haqiqah Amar ma’ruf Nahi Mungkar’ karangan Dr. Muhammad Al-Ammar
Penyusun : Arinal Haq
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet