Meninggalkan Shalat Tanpa Udzur, Apakah Langkah Yang Wajib Ditempuh?

Bahasan kali ini adalah tentang orang yang meninggalkan suatu ibadah yang waktu pelaksanaannya telah ditentukan hingga keluar dari waktu yang telah ditentukan tersebut tanpa ada udzur yang bisa diterima. Misalnya, orang yang meninggalkan shalat dan puasa. Lalu ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya tersebut. Bila demikian adanya, lantas hal-hal apakah yang harus ia lakukan ? Apakah langkah yang wajib ia tempuh ?

Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa ia wajib untuk mengqadhanya (menggantinya). Para ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa ia tidak ada kewajiban mengganti atasnya.

Kita ambil satu contoh :

Seseorang meninggalkan atau menunda shalat secara sengaja sampai akhirnya keluar dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada udzur. Atau seseorang tidak berpuasa Ramadhan secara sengaja hingga keluar waktunya; tanpa ada udzur.

Pendapat pertama :

Terkait masalah ini, sebagian ulama berpendapat bahwa ia wajib mengantinya. Sebab Allah ﷻ telah mewajibkan mengganti (qadha) atas orang yang musafir (tengah bepergian jauh) dan orang sakit. Sehingga, bila Allah ﷻ mewajibkan qadha atas orang yang punya udzur, maka orang yang tidak punya udzur pun lebih-lebih lagi. Yakni, bahwa orang yang tidak punya udzur, lebih punya kewajiban untuk menggantinya.

Dalam sebuah riwayat yang datang dari Nabi ﷺ, beliau ﷺ bersabda

مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Barangsiapa yang tertidur dari shalat, atau ia lupa, maka hendaknya ia melakukan shalat tersebut bila ia telah ingat (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di sini Nabi ﷺ mewajibkan shalat atas orang yang lupa melakukannya sampai keluar waktunya. Dan beliau ﷺ mewajibkan qadha (mengganti) atas orang yang ketiduran hingga waktu shalat telah keluar.

Para ulama yang memegang pendapat di atas mengatakan, bila qadha (mengganti) saja wajib atas orang yang punya udzur, maka orang yang tidak punya udzur pun lebih diwajibkan lagi untuk mengqadha’ (mengganti).

Pendapat kedua :

Ulama lain mengatakan bahwa orang yang meninggalkan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya hingga keluar waktunya tanpa ada udzur, tidak wajib qadha (mengganti) atasnya. Karena, ibadah yang telah ditentukan waktunya itu adalah ibadah yang harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan tersebut. Bila ibadah tersebut dilakukan di luar waktunya yang telah ditentukan, baik dengan dikerjakan sebelum waktunya, atau pun setelah lewat waktunya, maka ibadah itu tidak akan diterima. Sebagaimana bila ada seseorang yang shalat sebelum waktunya, maka shalatnya tersebut tidak diterima sebagai shalat fardhu. Juga bila ia berpuasa sebelum Ramadhan, maka puasanya tersebut tidak diterima sebagai puasa wajib. Demikian pula bila ia mengakhirkan shalat dari waktunya tanpa ada udzur; maka shalatnya tersebut pun tidak diterima. Demikian pula bila ia mengakhirkan puasa Ramadhan tanpa ada udzur, maka puasanya tersebut pun tidak diterima oleh Allah ﷻ.

Pendapat ini adalah pendapat yang rajih (yang lebih kuat). Karena bila seseorang mengeluarkan ibadah dari waktunya, lalu ia mengerjakannya setelah waktunya berlalu, maka ia telah melakukan amalan yang tidak dituntunkan dalam perintah Allah ﷻ dan Rasulnya ﷺ. Padahal telah shahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ﷺ bersabda

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dan bila amalannya tertolak, maka membebankan qadha (mengganti) kepada orang tersebut, merupakan taklif (pembebanan) yang tidak ada gunanya.

Maka orang tersebut haruslah bertaubat kepada Allah ﷻ dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang sebenar-benarnya. Orang tersebut haruslah memperbanyak amalan shalih. Dan taubat itu akan menggugurkan apa-apa (kesalahan dan dosa) yang sebelumnya; sebagaimana hal itu telah sah dinyatakan oleh Rasul ﷺ.

Wallahu A’lam

 

Sumber :

Diadaptasi dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 12/90-91, dengan sedikit penyesuaian.

 

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *