1-Para fuqaha sepakat bahwa barang siapa meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja, tidak mengingkari kewajibannya karena adanya udzur…ia wajib mengqadha atau membayar fidyah. Atau, ia wajib melakukan keduanya (mengqadha dan membayar fidyah), sebagaimana akan datang penjelasannya.
2-Bahwa barang siapa meninggalkan puasa karena mengingkari kewajibannya, maka ia murtad lagi kafir, dan hal tersebut menjadikan hukum-hukum yang berlaku bagi orang yang murtad diberlakukan pada orang tersebut ; karena orang tersebut mendustakan Allah dan Rasul-Nya, dan juga mendustakan ijma’ kaum Muslimin.
Ibnu Abidin menukilkan : dari asy-Syarnablaliy bahwasanya kalau orang yang tidak memiliki udzur menyengaja makan dengan terang-terangan, maka ia dibunuh; karena ia seorang yang mengolok-olok agama, atau mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan sebagai bagian dari agama, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehan membunuh orang tersebut dan perintah untuk melakukannya. [1]
Dan, di dalam Mawahib al-Jalil (disebutkan) : (faedah) ummat telah sepakat akan wajibnya puasa Ramadhan. Maka, barang siapa mengingkari akan kewajibannya maka ia murtad, dan barang siapa menolak melakukan puasa padahal ia mengakui akan kewajibannya, maka ia dibunuh sebagai penegakan hukum had, menurut pendapat yang masyhur dari madzhab Malik, Ibnu ‘Arafah mengatakan : puasa Ramadhan wajib (hukumnya), mengingkarinya dan meninggalkannya seperti (hukum meninggalkan) shalat. [2]
Dan di dalam Nihayah al-Muhtaj (disebutkan) : dan hal tersebut merupakan perkara agama yang telah dimaklumi, barang siapa mengingkari kewajibannya maka ia telah kafir selagi ia tidak termasuk orang yang belum lama masuk Islam, atau hidup jauh dari para ulama, dan barang siapa meninggalkan puasanya tanpa mengingkari (kewajibannya), tanpa adanya udzur seperti sakit dan safar, seperti ia mengatakan : puasa wajib atas diriku, akan tetapi aku tidak akan berpuasa, maka ia ditahan dan dilarang makan dan minum di siang hari agar diperoleh bentuk puasa dengan hal tersebut. [3]
Ibu Qudamah mengatakan : dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kafirnya orang yang meninggalkannya -yakni shalat- karena mengingkari kewajibannya apabila ia termasuk orang yang tidak mengerti sepertinya akan hal tersebut…
Dan begitu pula hukum pada bangunan-bangunan Islam semuanya, yaitu, zakat, puasa dan haji. Karena itu merupakan bagunan Islam dan dalil-dalilnya tidak tersamarkan. Di mana al-Qur’an dan sunnah penuh dengan dalil-dalilnya, dan ijma’ pun menetapkannya. Maka tidaklah ada yang mengingkarinya melainkan ia adalah penentang Islam.
Ia enggan untuk bepegang teguh dengan hukum-hukum tersebut, ia tidak menerima kitab Allah, tidak pula sunnah Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tidak pula ijma’ ummatnnya. [4]
3-Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena menyepelekan dan malas, tidak mengingkari (kewajibannya), tanpa adanya udzur, menjadi beberapa pendapat :
Pendapat pertama, Babwa orang tersebut ditahan dan dilarang makan dan minum.
Ini merupakan madzhab Hanafiyah [5] dan dengan pendapat ini pula ‘Iyadh dari kalangan Malikiyah berpendapat [6], dan ini juga merupakan madzhab Syafi’iyyah [7]
Pendapat kedua, Bahwa orang tersebut dididik dengan apa yang dipandang oleh hakim, berupa dipukul, atau dipenjara, atau kedua-duanya.
Ini adalah madzhab Malikiyah [8] satu pendapat di kalangan Syafi’iyyah [9], dan satu riwayat dari imam Ahmad [10]
Dan menurut Malikiyah : Bahwa barang siapa berbuka dalam menunaikan puasa Ramadhan secara sengaja, ia memiliki pilihan, bukan karena takwil yang dekat, ia dididik dengan apa yang dipandang oleh Hakim berupa dipukul, atau dipenjara, atau keduanya secara bersamaan, kemudian jika berbukanya dengan sesuatu yang mewajibkan dikenakan hukuman had, seperti berzina dan minum khamer, maka ia dihukum had disertai dengan dididikan.
Dan jika berbukanya mewajibkan hukuman rajam, maka dikedepankan hukuman yang bersifat mendidik, namun al-Masnawiy memenangkan pendapat yang menyatakan gugurnya hukuman yang bersifat mendidik karena hukuman rajam…
Mafhumnya : bahwa jika hukuman had yang akan dikenakan berupa deraan, maka hukuman tersebut dikedepankan atas hukuman yang bersifat mendidik-seperti kata ad-Dusuqiy-maka jika orang yang berbuka secara sengaja itu datang sebelum ditangkap dalam keadaan bertaubat sebelum tindakannya diungkap, maka ia tidak dihukum dengan hukuman yang mendidik [11]
Dan di dalam Hasyiyah ad-Dusuqiy (disebutkan) : (dan) wajib (memberikan hukuman yang mendidik terhadap orang yang berbuka secara sengaja) walau pun dengan hukuman yang dipandang oleh hakim untuk dikenakan berupa pukulan, atau dipenjara, atau keduanya. Dan kalau tindakannya berbuka dengan sesuatu yang mewajibkannya dikenakan hukuman had, maka ditegakkan hukuman had kepadanya disamping dikenakan pula hukuman yang bersifat mendidik. Dan, hukuman yang bersifat mendidik didahulukan jika hukuman had yang akan diberlakukan terhadap orang tersebut berupa hukuman rajam (kecuali ia datang dalam keadaan bertaubat) sebelum masalahnya diungkap, maka tidak dikenakan hukuman yang bersifat mendidik.
Pendapat ketiga, Bahwa orang tersebut dibunuh.
Ini adalah satu pendapat di kalangan Malikiyah, dan al-Hathab menyebutkan bahwa pendapat tersebut merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab, dan pendapat ini merupakan pendapat Madzhab Hanabilah. [12]
Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah : Orang tersebut dibunuh apabila melakukan hal tersebut karena mengolok-olok agama.
Di dalam Minah al-Jalil (disebutakan) : dan Ibnu Arafah menegaskan bahwa orang yang meninggalkan puasa karena malas, diundur (hukumannya) karena dekatnya (waktu) Subuh sekadar niat. Lalu, jika ia tidak berniat maka ia dibunuh dengan pedang.
Dan di dalam Mathalib Uli an-Nuha (disebutkan) : Dan barang siapa meninggalkan zakat karena meremehkan, atau meninggalkan puasa, atau meninggalkan haji, maka ia dibunuh sebagai hukuman had bukan karena ia telah kafir.
Pendapat keempat, Bahwa orang tersebut telah kafir. Dan dengan inilah Sa’id bin Jubair berpendapat.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun amal yang empat, maka mereka berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkannya, dan kita katakan : Ahlu Sunnah sepakat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena dosa, namun yang kami kehendaki dengan dosa tersebut adalah kemaksiatan-kemaksiatan, seperti zina dan minum (khamer). Adapun pondasi-pondasi ini (pondasi bangunan Islam), maka tentang menjadi kafirnya orang yang meninggalkannya terdapat perdebatan yang masyhur (di kalangan para ulama), dan (riwayat) dari imam Ahmad : dalam hal tersebut terdapat perbedaan, dan salah satu dari beberapa riwayat dari beliau : (dikatakan) bahwa menjadi kafir orang yang meninggalkan satu dari bangunan Islam tersebut.
Dan ini adalah pilihan pendapat Abu Bakar dan sekelompok orang dari kalangan para sahabat imam Malik semisal Ibnu Habib. Dan dari imam Ahmad ada riwayat kedua, yaitu : Seseorang tidak menjadi kafir kecuali karena meninggalkan shalat dan zakat saja. Riwayat ketiga dari beliau : Seseorang tidak menjadi kafir kecuali karena meninggalkan shalat dan zakat apabila sang imam memerangi orang yang meninggalkannya. Riwayat keempat : Seseorang tidak menjadi kafir kecuali karena meninggalkan shalat. Riwayat kelima : seseorang tidak menjadi kafir karena meninggalkan sesuatu dari pondasi-pondasi tersebut.
Dan pendapat-pendapat ini dikenal di kalangan salaf, al-Hakam bin Utaibah mengatakan : Barang siapa meninggalkan shalat secara sengaja, maka sungguh ia telah kafir. Barang siapa meninggalkan zakat dengan sengaja, maka sungguh ia telah kafir. Barang siapa meninggalkan haji secara sengaja, maka sungguh ia telah kafir. Barang siapa meninggalkan puasa Ramadhan secara sengaja, maka sungguh ia telah kafir.
Sa’id Ibnu Jubair mengatakan : Barang siapa meninggalkan shalat secara sengaja, maka sungguh ia telah kafir kepada Allah. Barang siapa meninggalkan zakat secara sengaja, maka sungguh ia telah kafir kepada Allah. Barang siapa meninggalkan puasa Ramadhan secara sengaja, maka sungguh ia telah kafir kepada Allah [13]
Barang kali saja argumentasinya adalah menyamakannya dengan shalat.
…
Apa dalil-dalil dari masing-masing pendapat di atas ?
Insya Allah, Anda akan mendapatkan dalil-dalilnya pada bagian kedua tulisan ini.
Wallahu A’lam
Sumber :
Al-Jami’ Li Ahkami ash-Shiyam, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih-حَفِظَهُ اللهُ, hal.51-54
Amar Abdullah bin Syakir
Catatan :
[1] Raddu al-Muhtar, 2/414
[2] Mawahib al-Jalil, 2/378
[3] Nihayatu al-Muhtaj, 3/149
[4] al-Mughni, 10/82
[5] Hasyiyah ath-Thahthawiy ‘Ala Maraqi al-falah, hal.93, Maraqiy al-Falah, 1/189
[6] Hasyiyah ash-Shawiy, 1/407, Mawahib al-Jalil, 2/378
[7] al-Majmu’ 3/17, Raudhatu ath-Thalibin 10/65, Mughniy al-Muhtaj, 1/327, Nihayah al-Muhtaj, 3/149
[8] Jawahir al-Iklil 1/154, Minah al-Jalil, 1/412 dan 413, Syarh az-Zarqaniy Bi-hasyiyah al-Bunaniy, 2/215, Hasyiyah ad-Dusuqiy ‘Ala asy-Syarh al-Kabir karya ad-Dardiir, 1/537
[9] Raudhatu ath-Thalibin, 2/147, al-Majmu’, 3/17
[10] al-Mubdi’ 9/171-172, Majmu’ al-Fatawa, 7/302
[11] Jawahir al-Iklil, 1/154, Minah al-Jalil 1/412 dan 413, Syarh az-Zarqaniy Bi-Hasyiyah al-Bunaniy 2/215, Hasyiyah ad-Dusuqiy ‘Ala asy-Syarh al-Kabir karya ad-Dardiir, 1/537
[12] Mathalib Uli an-Nuha, 1/283
[13] Majmu’ al-Fatawa, 7/302