عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنّ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىٰ الله عَلَيْهِ وَسَلّم قَالَ : مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Dari Aisyah -semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia sementara ia mempunyai tanggungan puasa wajib, hendaknya walinya memuasakan untuknya.” (HR. Al-Bukhari, 4/192 dan Muslim, 1147)
Dalam riwayat al-Bazzar terdapat tambahan redaksi, إن شاء (jika ia mau), tambahan ini dihasankan oleh Al-Haitsami di dalam Al-Majma’ 3/179. Al-Hafizh di dalam At-Talkhiish (2/221) mengatakan, tambahan tersebut lemah karena berasal dari jalur periwayatan Ibnu Lahai’ah, yakni, Al-Hafizh memaksudkan dengan hal tersebut bahwasanya Ibnu Lahai’ah meriwayatkannya secara menyendiri sementara ia lemah. Wallahu a’lam.
* * *
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa meninggal dunia sementara ia mempunyai tanggungan puasa wajib, maka disyariatkan bagi walinya untuk menunaikan qadha puasa yang ditinggalkan orang tersebut; karena hal demikian itu merupakan bentuk berbuat ihsan kepadanya, berbuat baik kepadanya dan merupakan pula bentuk menyambung hubungan dengannya. Dengan hal tersebut maka orang yang meninggal dunia tersebut telah bebas dari tanggungan, insya Allah.
Hadits ini berlaku umum untuk setiap puasa wajib yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik kewajiban tersebut karena syariat yang mewajibkannya seperti puasa ramadhan, ataupun kewajiban tersebut karena nadzar. Ini menurut salah satu dari dua pendapat ulama. Telah datang riwayat dari Ibnu Abbas, semoga Allah meridhainya- bahwa ia berkata,
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلِ الله صَلّىٰ الله عَلَيْهِ وَسَلّم فَقَالَتْ: “يَا رَسُوْلَ الله، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟”، قَالَ صَلّىٰ الله عَلَيْهِ وَسَلّم: “أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيْهِ أَكَانَ ذَلِكَ يؤدى عَنْهَا؟” قَالَتْ: “نَعَم”، قَالَ صَلّىٰ الله عَلَيْهِ وَسَلّم: “فَصُوْمِيْ عَنْ أُمِّكِ”
“Pernah seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku meninggal dunia sementara ia mempunyai tanggungan puasa nadzar, apakah aku memuasakan untuknya? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, apa pendapatmu kalau saja ibumu mempunyai hutang, lalu engkau melunasi hutangnya bukankah hal tersebut berarti engkau telah menunaikan pembayaran hutang untuknya? wanita tersebut menjawab, “ Ya”, beliau lalu berujar, “Oleh karena itu, berpuasalah untuk ibumu.”
Dan dalam suatu riwayat, Ibnu Abbas berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم فَقَالَ: «يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟» فَقَالَ: «لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟»، قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: «فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى»
Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sementara ia mempunyai tanggungan puasa sebulan, apakah aku melakukan qadha untuknya?” Maka, beliau menjawab, “Kalau ibumu mempunyai tanggungan hutang apakah engkau akan melunasinya?” Lelaki tersebut menjawab, “Ya”. Beliau lalu bersabda, “Jika demikian sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan”.
Dalam suatu riwayat, lelaki tersebut mengatakan, إن أختي ماتت (Sesungguhnya saudara perempuanku meninggal dunia (Hadits Ibnu Abbas disebutkan oleh al-Bukhari 4/192, Muslim, 1148. Sedangkan dalam riwayat Ahmad di dalam Al-Musnad dengan redaksi, وعليها صوم شهر (Sementara ia mempunya tanggungan puasa sebulan) 1/362. Silakan lihat, Fathul Baari 4/194, dan silakan lihat pula : Tahqiiq Ahmad Syakir terhadap Musnad, hadits nomer 3420).
Riwayat-riwayat ini memberikan faedah bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa nadzar dan ditanya tentang puasa sebulan, di mana kemungkinan yang dimaksud adalah puasa ramadhan, dimungkinkan juga yang dimaksud adalah puasa nadzar, sementara kesemuanya nabi memberikan tanggapan “فدين الله أحق أن يقضى” (Oleh kerena itu, hutang kepada Allah adalah lebih berhak untuk ditunaikan), hal ini merupakan petunjuk bahwa hal tersebut terjadi pada beberapa kasus dan bahwa hadits Ibnu Abbas merupakan salah satu kaedah dari kaedah umum yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah bahwasanya hal tersebut berlaku untuk setiap puasa wajib yang ditanggung oleh si mayit yang belum sempat ditunaikan pada saat ia masih hidup padahal ia mampu untuk melakukannya. Adapun kasus dalam hadits ini merupakan salah satu bentuk kejadian yang ditanyakan tentang hal itu. Setiap kasus yang terjadi tersebut jawaban diberikan dengan “Perintah untuk melakukan qadha”.
Imam An-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- berkata, pendapat yang benar yang tidak diragukan adalah bolehnya wali si mayit memuasakan untuknya baik puasa tersebut adalah puasa Ramadhan dan nadzar dan puasa yang wajib lainnya. Berdasarkan hadits-hadits yang shahih yang tidak ada yang menyelisihinya. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/370, dan lihat : Syarh an-Nawawi ‘Ala Muslim, hadits no, 1147, 1148)
Adapun orang yang menjadikan hadits ‘Aisyah perihal puasa nadzar sebagai mengkhusus untuk hadits Ibnu Abbas (وعليها صوم نذر) “dan ia mempunyai tanggungan puasa nadzar”, maka pendapat ini bermasalah secara zhahir karena tidak ada pertentangan di antara kedua riwayat tersebut sehingga makna salah satunya dibawa kepada yang lainnya; karena ‘Aisyah dalam hal penetapan kaedah umum dan hadits Ibnu Abbas merupakan salah satu bentuk dari kaedah umum tersebut. Bahkan dalam hadits Ibnu Abbas terdapat sesutu yang menunjukkan masuknya ke dalam keumuman hadits ‘Aisyah, yaitu sabda beliau, فدين الله أحق أن يقضى (hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan).
Dan telah datang atsar dari sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas dan ‘Aisyah memberikan faedah bahwasanya mayit yang mempunyai tanggungan puasa tidak dipuasakan kecuali bila puasa tersebut adalah puasa nadzar. Adapun bila puasa tersebut adalah puasa Ramadhan, maka cukup menggantinya dengan memberikan makan (kepada orang miskin untuk setiap puasa yang ditanggungnya). Atsar ini tidak dapat lebih diprioritaskan daripada sesuatu yang valid secara marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, yang menjadi patokan adalah apa yang diriwayatkan oleh si perowi bukan apa yang menjadi pendapatnya karena adanya kemungkinan ijtihadnya tesrebut menyelesihi apa yang diriwayatkannya. Dan apa yang menjadi pijakannya dalam masalah tersebut tidak terwujud. Dan hal tersebut tidak berkonsekwensi pada bahwa apa yang diriwayatkan oleh si perowi tersebut adalah lemah. Dan bila telah valid keabsahan hadits tersebut maka seorang peneliti tidak meninggalkannya karena adanya perkara yang disangkakan, sebagaimana hal ini telah ditetapkankan dalam Ushul. (Lihat, Fath-ul Baari 4/194, Nailul Authar 4/236)
Dan ketahuilah bahwasanya hadits ‘Aisyah -semoga Allah meridhainya- yang dimaksud adalah bila mana seseorang memungkinkan baginya untuk mengqadhan puasa wajib yang ditinggalkannya tersebut, semisal karena ia telah sembuh dari sakit yang dideritanya, atau ia telah kembali dari safar yang dilakukannya namun orang tersebut belum melakukan qadha hingga ia meninggal dunia. Karena, hal tersebut merupakan puasa yang wajib dilakukannya, maka diqadhakan untuknya seperti halnya hutang dilunasi.
Sedangkan bila tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya semisal karena sakitnya berlangsung terus, atau ia mengalami haid atau nifas yang terus menerus hingga meninggal dunia. Atau, belum saja ia kembali dari safarnya hingga meninggal dunia. Maka dalam kondisi seperti ini puasa yang ditinggalkan orang tersebut tidak diqadhakan untuknya. Dan, menurut pendpat kebanyakan ahli ilmu meninggalkan puasa yang dilakukannya tersebut tidak mengharuskan untuk diganti dengan “memberi makan” (kepada orang miskin untuk setiap puasa yang ditinggalkannya tersebut) karena kewajiban tersebut telah gugur darinya karena ketidakmampuannya untuk melakukan qadha, oleh karenanya kasus dirinya tidak masuk dalam keumuman firmanNya,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka, barangsiapa di antara kalian yang sakit atau bepergian (lalu tidak berpuasa) hendaknya ia menggantinya pada hari yang lainnya.” (QS. Al-Baqarah : 184)
Adapun yang dimaksud dengan “walinya” di dalam hadits tersebut, yaitu : ahli warisnya atau kerabatnya. Ahli waris adalah kerabat yang paling utama. Dan, perintah dalam hadits ini adalah perintah yang menunjukkan istihbab (anjuran) yang mengarah kepada perintah yang bersifat wajib -menurut jumhur ulama-. Sebab, kalau kita mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini merupakan perintah yang bersifat wajib, maka berkonsekwensi pada berdosanya seorang wali mana kala ia tidak berpuasa untuk si mayit. Ini tentu tidak benar. Berdasarkan firman Allah ta’ala,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Fathir : 18)
Hal ini diperkuat dengan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkiaskan persoalan ini dengan “persoalan hutang”. Telah dimaklumi bahwasanya seorang tidaklah diminta untuk melunasi hutang orag lain, kalaupun hal itu dilakukan maka itu termasuk ke dalam bab berbuat baik dan menyambung hubungan, karena pada asalnya seseorang itu terlepas dari kewajiban orang lain. Oleh karenanya selayaknya kerabatnya memuasakan untuk kerabatnya (yang meninggal dunia sementara ia mempunyai tanggungan puasa wajib). (Meski hal tersebut secara prinsip tidak wajib baginya untuk melakukannya-pen).
Bila beberapa orang memuasakan (untuk si mayit tersebut) sejumlah hari yang ditinggalkannya, maka hal ini sah. Al-Bukhari mengatakan, Al-Hasan berkata, jika 30 orang memuasakan untuknya (yakni, untuk mayit yang mempunyai tanggungan puasa wajib-pen) dalam sehari, maka sah. (Fathul Baari 4/192, dan lihat juga : Syarh al-Muhadzab, 6/371)
Dan bila kerabat si mayit tidak memuasakan untuknya maka ia memberikan makan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya kepada seorang miskin yang diambil dari harta waris si mayit tersebut. Setiap orang miskin jatahnya satu mud burr (gandum) dari jenis gandum yang bagus. Kadar dalam satuan kilo gram adalah 563 kg. Hal tersebut dilakukan karena puasa yang ditanggung si mayit merupakan hutang yang berhubungan dengan harta warisnya, dan hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi. Jika wali si mayit mengumpulkan orang miskin sejumlah hari yang ditanggung oleh si mayit, lalu memberikan mereka makanan yang dapat mengenyangkan mereka, mak hal ini sah. Hal ini berdasarkan atsar Anas bin Malik -semoga Allah meridhainya- bahwasanya ketika ia tidak mampu untuk berpuasa (karena fisiknya melemah karena usianya yang telah menua), beliau membuat tsarid (roti yang dicampur daging dan diberi kuah) dan mengundang orang miskin sebanyak 30 orang kemudian beliau memberi mereka makan tersebut kepada mereka hingga mereka kenyang.
Bila kondisinya, si mayit tidak meninggalkan harta waris yang cukup lalu ada orang lain memberikan makan untuknya, maka hal tersebut sah. Bila ternyata tak seorang pun yang berderma untuknya, maka perkaranya dikembalikan kepada Allah ta’ala. Wallahu a’lam.
Ya Allah, wafatkanlah kami dalam keadaan sebagai seorang muslim, gabungkanlah kami dengan orang-orang shaleh tanpa terhinakan dan tanpa terfitnah. Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami, tutuplah aib-aib kami, jadikanlah puasa kami diterima dan pahala amal-amal kami menjadi banyak. Semoga shalawat dan salam tercurah kepaa Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sumber : Ahaadiitsu Ash Shiyam; Ahkaamun wa Aadaabun, (Pasal 12: Maa Ba’da Ramadhan, Hadits Keempat : من مات وعليه صيام karya : Abdullah bin Sholeh al-Fauzan, Dosen di Al-Imam Muhammad bin Sa’ud Islamic University, Cabang Qosim, KSA.
(Amar Abdullah/hisbah.net)
Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet