Ada tipe istri yang senang membebani suami dengan banyak tuntutan, tanpa memperhatikan kondisi keuangan. Ia ingin mengenakan gaun seperti yang dikenakan temannya si A, atau kerabatnya si B. Ia ingin mengoleksi perhiasan dan perabotan seperti yang dipunyai keluarga C atau keluarga D.
Kemudian, terdapat banyak momentum, setiap momentum pernikahan misalnya ada gaun tersendiri dan mesti baru. Setiap kali mode pakaian berubah, wajib hukumnya mendapatkan mode baru tersebut. Ketika seorang teman atau kerabat mendapat karunia kelahiran anak, ia segera mempersiapkan hadiah mahal. Pada saat kerabat laki-lakinya menikah, tanpa menunda-nunda ia memberi kado mewah kepada istrinya. Ia selalu memandang kalangan masyarakat kaya dan berusaha meniru mereka dalam hal kemewahan dan prestise.
Bila jalan ini yang ia tempuh, maka ada dua kemungkinan kondisi yang ia hadapi.
Pertama, bila ia mendapati suaminya kurang tegas dan kuat pendirian, maka ia akan memaksa suami untuk memenuhi daftar belanja yang ia usulkan. Dampaknya, ia menjadi sebab hilangnya air muka suami karena himpitan hutang. Sebab orang yang berbelanja melebihi kemampuan muaranya adalah bangkrut dan pailit, serta hilangnya air muka (keceriaan wajah).
Kedua, bila suami seorang yang teguh pendirian, ia akan menguatkan diri menghadapi konflik dengan istri, guna menjaga kehormatan diri di tengah masyarakat. Maka, istri bersama suami yang teguh pendirian ini berada dalam situasi yang menurutnya ia tertekan oleh sang suami, sebab suami tidak sejalan dengan dirinya dalam memenuhi segala keinginannya.
Bagaimana pendapat Anda tentang kehidupan dua orang sahabat, di mana salah seorang di antaranya melihat bahwa hubungan persahabatannya hanya mendatangkan kesengsaraan bagi dirinya? apakah keduanya mampu menempuh jarak perjalanan hidup dengan nyaman dan aman?
Penyakit yang merebak pada beberapa kalangan perempuan ini menjadi salah satu sebab mengapa para pemuda enggan menikah. Sebab, seorang pemuda khawatir bila mendapat cobaan berupa istri yang melampoi batas kepatutan dalam menuntut dipenuhinya segala keinginan mereka. Entah istri akan membebaninya dengan berbagai tuntutan menyulitkan , atau pernikahan akan berujung pada perpisahan, atau istri tetap bersamanya tanpa cinta yang tulus.
Dalam kontek ini kita tidak memungkiri ada sebagian suami yang kikir dalam memberi jatah belanja kepada istri, padahal ia dalam kondisi lapang dan mampu. Tetapi, di sini kita tidak sedang membahas mereka. Islam sendiri telah memberikan hak kepada istri untuk mengambil harta suami tanpa izin, bila suami menolak memberi nafkah untuk memenuhi kebutuhan pakaian dan makanan yang layak, padahal suami mampu, sebab memberi nafkah kepada istri hukumnya wajib.
Ibnu Qudamah berkata, “Memberi nafkah kepada istri hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ (al-Mughniy, XI : 347) As-Sarakhsi berkata, “Diwajibkan memberi nafkah yang sekiranya memenuhi kadar kecukupan, tolok ukurnya adalah kepantasan (ma’ruf), yaitu di atas kikir dan di bawah berlebih-lebihan (al-Mabsuth, V : 181)
Di dalam ash-Shahihain disebutkan riwayat dari ‘Aisyah, bahwasanya Hindun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang amat kikir. Ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan cukup untuk anak-anakku, kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuan dirinya. Apakah aku berdosa atas tindakan ini ? Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “Ambillah dari hartanya secara patut yang sekiranya cukup untukmu dan untuk anak-anakmu “ (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 2211 dan Muslim, 1714)
Namun, bila keengganan suami memberi nafkah dikarenakan telah mencapai tingkat berlebih-lebihan dan boros, atau nafkah tersebut terlalu membebaninya dan melebihi batas kemampuannya, maka istri tidak berhak untuk menjerumuskan suami, juga menjerumuskan rumah tangganya ke dalam kefakiran dan kehinaan.
Kesimpulannya, istri mesti memperhatikan kemampuan suami. Ia tidak boleh membebani suami dengan berbagai kesulitan. Ia tidak boleh menghambur-hamburkan hartanya ke sana kemari. Tidak sepantasnya ia meneror suami dengan banyak tuntutan, terlebih untuk sesuatu yang tidak penting. Teror tersebut akan memberatkan dan menyakiti suami, sebab ia tidak mampu memenuhi permintaan istri, padahal sangat berat baginya menunjukkan diri sebagai orang lemah yang tidak mampu menuruti permintaan istri.
Sungguh indah bila istri mendampingi suami dengan sifat qana’ah; tidak mengarahkan pandangan pada kondisi perempuan lain, serta tidak berusaha meniru gaya hidup dan kemewahan mereka. Namun, menjadi kewajiban istri untuk menjaga kehormatan suami. Hendaknya ia meneladani para ummul mukminin, di mana kondisi mereka begitu sederhana, bahkan terkadang tidak tersedia makanan di rumah mereka (lihat, Rasa’il al-Ishlah, I : 176) Akhlaquna al-Ijtima’iyyah, hal. 125; ‘Audah al-Hijab, II : 493)
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “ Min Akhto-i az Zaujaat”, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Indonesia, hal. 49-52)
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,