Pembaca yang budiman…
Tidak diragukan bahwa istri yang shalehah merupakan bagian dari kenikmatan dunia yang menyenangkan. Menjelaskan tentang beberapa kesalahan dan dosa yang mungkin dilakukan merupakan salah satu faktor yang akan membantu mewujudkan keshalehan seorang istri dan kemampuannya untuk memenuhi tugas-tugas yang diembankan kepadanya.
Menyebutkan kesalahan tidak bermaksud agar suami menjadikan kesalahan-kesalahan tersebut sebagai media untuk menghitung-hitung aib istrinya, sehingga mendorongnya untuk menjaga jarak dengan istri, berpaling darinya, atau menuduhkan kesalahan-kesalahan tersebut kepadanya. Bukan. Bukan itu yang diinginkan dari bahasan ini. Tetapi, bahasan ini merupakan seruan untuk menetapi nilai-nilai luhur, serta menjauhkan diri dari berbagai kesalahan dan kehinaan. Siapa yang mengusahakan kebaikan, dia akan mendapatkannya; dan barangsiapa yang menghindarkan diri dari keburukan, dia akan terhindar darinya.
Berlebihan dalam Menuntut Kesempurnaan
Inilah bagian dari kesalahan seorang istri yang ingin kita bahas dalam tulisan ini.
Pembaca yang budiman…
Ada tipe istri yang tenggelam dalam khayalan dan berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Ia menduga bahwa pernikahan adalah Surga Firdaus; tidak ada kesusahan, beban berat ataupun kesulitan. Ia membayangkan bahwa demikianlah seharusnya pernikahan ; tidak ada tantangan, penghalang ataupun problematika. Ketika ia berbenturan dengan realita berikut berbagai tanggungjawab, pengambilan keputusan, melahirkan anak-anak dan menghadapi problematika, ia tidak bisa menerima itu semua. Ia mengira dirinya telah salah dalam memilih pendamping hidup. Bahkan, bisa jadi ia cenderung kepada perceraian guna membebaskan diri dari berbagai ikatan menurut persepsinya.
Yang demikian itu kerapkali terjadi. Penyebabnya adalah lemahnya pendidikan, berlebihan dalam memanjakan anak gadis, dan kurangnya informasi mengenai realita kehidupan rumah tangga. Di antara faktor penyebab besarnya adalah terinspirasi oleh cerita-cerita fiksi, sinetron televisi atau film-film, di mana kehidupan rumah tangga digambarkan terbebas dari segala macam masalah.
Sebagian yang lain malah sebaliknya, di mana kehidupan rumah tangga digambarkan sebagai Neraka Jahannam yang tak tertanggungkan, sehingga menginspirasikan sikap antipati terhadap pernikahan. Dengan demikian tidak ada pandangan realistis dan adil untuk kehidupan rumah tangga.
Ketika seorang istri memasuki ranah pernikahan, ternyata informasi yang satu mendustakan informasi yang lain. Ia dikejutkan oleh situasi yang sama sekali tidak terlintas di benaknya. Maka, seorang istri yang cerdas mesti bersikap adil dalam mengarahkan pandangannya. Jangan sampai ia terlena di alam mimpi, tersesat di belantara imajinasi atau berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Kehidupan pernikahan bukanlah pertunjukkan yang ditampilkan hanya dalam satu periode waktu, bukan juga cerita di mana penulisnya bebas berkelana di dunia khayal. Namun, kehidupan pernikahan adalah realitas nyata. Di dalamnya ada penderitaan dan cita-cita, ada kegembiraan dan kesusahan. Kondisinya sama persis dengan kehidupan besar secara umum. Tidak ada pilihan lain, kecuali menghadapinya dan memperlakukannya dengan baik.
Satu hari milik kita dan satu hari milik mereka
Satu hari kita bahagia, hari yang lain kita berduka
Yang demikian itu bukan berarti kehidupan pernikahan adalah sangkar penuh kezhaliman, atau neraka jahim dengan siksa tak tertanggungkan. Melainkan pernikahan adalah sikap saling menolong, saling berkasih sayang, dan mengakui kekurangan pihak lain. Permasalahan dan kekurangan yang menghadang di tengah perjalanan pernikahan tidaklah menghapus kegembiraannya. Bahkan, terkadang permasalahan itu menjadi penyedap atau rahasia kebahagiaan pernikahan. Maka, memikul tanggung jawab dan menerima beban berat serta berbagai konsekwensi merupakan faktor terbesar bagi terwujudnya kebahagiaan. Orang yang paling nyaman adalah orang yang paling banyak merasakan payah, dan orang yang paling payah adalah orang yang lebih sering hidup nyaman.
Aku melihat kenyamanan besar, tetapi tak kulihat ia bisa teraih
Kecuali dengan menyeberang jembatan rasa lelah
Bahkan, banyak waktu luang dan sering menganggur merupakan sebab terbesar melemahnya tekad, serta munculnya kegelisahan dan kerisauan.
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Dinukil dari, “Min Akhtha az-Zaujaat”, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Bahasa Indonesia), hal. 17-19
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,