Cemburu adalah sikap mulia dan menjadi bagian dari cinta hakiki. Ia mendorong suami untuk menjaga istrinya dan mendorong istri untuk menjaga diri demi suaminya. Dan, cemburu adalah salah satu sifat mulia dari laki-laki. Dalam kondisi apapun sikap ini tidak boleh melemah dalam diri laki-laki, meskipun ia tidak mencintai istrinya. Ia harus tetap menegakkan sikap cemburu selama istri masih berada dalam kesucian pernikahannya.
Sikap cemburu juga menginspirasikan rasa cinta kepada masing-masing suami istri dan mendorong keduanya untuk selalu memperbaharui, mengembangkan dan menjaga cinta tersebut. Bahkan sampai sekarang anda bisa melihat bagaimana seseorang merasa cemburu jika harus menyebutkan istrinya di depan khalayak ramai. Ia pun mengkiaskan istrinya dengan ‘orang rumah’ atau ‘kelompok’. Misalnya ia berkata, “orang rumah tidak menyukai hal ini”. Atau,’sekelompok orang berkata begini, dan begini. “Padahal yang ia maksud adalah istrinya (Lihat, Muhammad Washfi, ar-Rajul Wal Marah Fil Islam, hal. 181)
Semakna dengan ini, al-Baha’ Zuhair berkata,
Aku sucikan namamu agar tidak terdengar
Di telinga teman-teman dudukku tiada lain karena sifat cemburuku
Maka aku sambut dirimu dengan ‘sebagian orang’ sebagai kiasan
Karena khawatir fitnah. Padahal sejatinya kamulah seluruh orang itu
(Diwan Baha’ Zuhair, hal 181)
Sebagaimana ada tipe suami yang selalu ragu kepada istrinya dan berlebihan dalam berburuk sangka kepadanya-seperti telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya-, maka ada juga tipe suami yang telah tebal perasaannya, telah mati sikap cemburunya, telah hilang harga diri dan kelaki-lakiannya. Anda melihatnya tidak memperdulikan istrinya yang bercampur baur dengan laki-laki bukan mahram, baik mereka adalah saudara-saudara iparnya maupun orang lain. Ia tidak mempermasalahkan dampak buruk tindakan amoral dan tercerabutnya rasa malu bagi dirinya dan istrinya. Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.
Bahkan, mungkin Anda melihat istrinya berbuat yang tidak pantas, bertabarruj (memamerkan kecantikan), berjabat tangan dengan laki-laki bukan mahram, duduk-duduk bersama mereka, bertukar canda, mengobrol ke sana ke mari, tapi sang suami justru menutup mata, menganggap semuanya sebagai angin lalu. Sehingga, mengakibatkan sang istri tidak cakap melayani suami dan kurang memperhatikan perkataannya.
Sudah barang tentu, semua ini adalah indikasi hilangnya rasa cemburu (dayyatsah), hilangnya sikap perwira dan lalai dalam memenuhi hak istri. Sebab, hak istri yang paling sederhana adalah suami cemburu kepadanya, tidak mendorongnya kepada syubhat, tidak membiarkannya melakukan tindakan yang menciderai kemuliaan keluarga, atau menjadikannya sebagai bahan omongan orang orang.
Padahal, tidak ada kecantikan tanpa nilai luhur. Dan tidak ada kebebasan kecuali bagi orang yang bertemu manusia dengan kehormatan yang suci.
Menggampangkan masalah ini sangat buruk dan sama sekali tidak disebut memuliakan perempuan. Mengingat sikap toleransi yang berlebih ini akan mendorong kepada penderitaan, keburukan dan kerusakan yang nyata. Umat manusia diberbagai bangsa masih banyak yang menganggap harga diri dan kehormatan mereka akan ternoda oleh perilaku buruk istri. Maka, barangsiapa yang meremehkan urusan cemburu seperti diuraikan di atas, ia telah mengeluarkan dirinya dari golongan laki-laki perwira yang memiliki kemuliaan di dalam jiwa dan kedudukan tinggi di sisi Allah.
Dalam kitab shahihnya imam al-Bukhari membuat satu bab yang ia beri judul, “Bab Ghirah (cemburu). “Warrad meriwayatkan dari Mughirah, Sa’d bin Ubadah berkata, “sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, tentu aku akan menebas leher laki-laki itu dengan mata pedangku. “ Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “ apakah kalian heran atas sikap cemburu Sa’d ? Sungguh aku lebih pencemburu darinya dan Allah lebih pencemburu dariku (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, no, 4846 dan Muslim, no. 1499)
Ketika menjelaskan bab ini, Ibnu Hajar berkata, “perkataan penulis,”Bab Ghirah’. Iyadh dan lainnya berkata,’kata ini berasal dari kata “taghayyurul qalb” (berubahnya suasana hati), dan meledaknya emosi disebabkan keikutsertaan pihak lain dalam menikmati apa yang menjadi kekhususannya.Sikap ini lebih kuat terasa pada hubungan suami-istri (Fathul Bari, IX : 231)
Secara umum, seseorang tidak boleh berlebihan dalam sikap cemburu tanpa ada alasan yang benar, di mana sikap cemburunya mengantarkannya pada keraguan dan buruk sangka. Ia pun tidak boleh membuang sikap cemburu begitu saja, dengan dalih bahwa sikap ini hanya menjadi pengekang bagi kebebasan istri.
Sikap cemburu yang terpuji adalah yang berada pada tempatnya dan dalam batas pertengahan. Adapun sikap cemburu yang melebihi batas, hanya berupa dugaan bathil, dan hanya didasarkan pada bisikan setan, maka ini adalah sikap cemburu yang dibenci dan terhina, yang dilarang oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam sabdanya berikut,
مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ فَأَمَّا الَّتِى يُحِبُّهَا اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِى الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِى يُبْغِضُهَا اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِى غَيْرِ رِيبَةٍ
“ Di antara sikap cemburu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenciNya. Adapun yang dicintai oleh Allah adalah sikap cemburu yang muncul kerena kegelisahan. Sedangkan yang dibenci oleh Allah adalah sikap cemburu yang muncul bukan karena kegelisahan.”
(Diriwayatkan oleh Nasai dalam al-Kubra, no. 2339, dan al-Mujtaba, no. 2558; Abu Dawud, no. 2659; Darimi, no. 2226; Ibnu Hibban dalam shahihnya, no. 295, 4762, dan diriwayatkan pula oleh Ahmad, 5 : 445446,Semuanya dari hadis Jabir bin ‘Atik. Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 5905)
Sumber :
Dinukil dari, “Min Akhtha’il Azwaj”, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Bahasa Indonesia), hal. 30-34
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir